Tidak hanya itu, kelucuan lainnya karena M. Nuh mengeliminasi orang-orang hebat, bahkan berhasil melampaui politisi dari partai penguasa Maruar Sirait meski kini setelah diadakan pelelangan ulang, motor tersebut dimenangkan oleh Warren Tanoe Soedibjo atau putra bungsu konglomerat (bos MNC Group) Hary Tanoe Soedibjo yang membayar sesuai harga lelang.
Jika ditotal secara keseluruhan, jumlah dana yang terkumpul kurang dari 5 milyar, padahal acara meriah yang melibatkan sejumlah artis papan atas tanah air itu dikabarkan memakan biaya yang jauh lebih fantastis dari dana yang dikumpulkan, yaitu mencapai 6,7 milyar.
Setelah kabar tentang dirinya viral, beragam komentar dari netizen bermunculan. Ada yang menilai bahwa itu merupakan azab, sebab ditengah umat islam sedang memburu malam "Lailatul Qadar" tetapi atas nama disiplin protokol kesehatan (social distancing), pemerintah melarang agar tidak shalat berjamaah, sementara konser yang melanggar protokol kesehatan justru diijinkan. Ini dirasa sungguh tidak adil.
Yang lebih menohok, bahkan sebagian netizen menganggap aksi kocak itu merupakan prank karena sejumlah kebijakan pemerintah di nilai tak lebih dari seorang youtuber yang memerankan aksi prank. Sebagaimana  diketahui bahwa pemerintah kerap membuat kebijakan yang inkonsisten, baru dinyatakan sah (mulai berlaku) nya suatu kebijakan, namun beberapa saat kemudian muncul klarifikasi alias diralat, dan sebagainya.
Entah lah. Mungkin kejadian itu di sengaja atukah itu sebagai hukum alam, karena kejadian tak lazim tersebut merupakan cerminan dari seorang rakyat biasa yang mengikuti suri tauladannya, sehingga tak berlebihan jika kita asumsikan sebagai apa yang dilakukan oleh pemimpinnya itu jua lah yang dilakukan rakyatnya.
Artinya jika terbiasa prank, maka suatu waktu akan kena prank. Kali ini Lord Nuh Year of the Prank berhasil mengalahkan King of the Prank. Itulah julukan netizen. Sudah tekor karena dana yang terkumpul tak sebanding dengan pengeluaran, kena prank pula. Apes! Akan tetapi, semoga dengan kejadian ini pemerintah lebih teliti dan berhati-hati lagi agar mempertimbangkan suatu kebijakan secara matang sebelum diputuskan.
Kebijakan Naik, Ekonomi Lesu, Daya Kritis Ikut Menurun
Ditengah situasi yang serba sulit seperti sekarang ini, sesungguhnya kita sedang dihadapkan dengan posisi yang ambivalen, karena di satu sisi pemerintah mengakui daya beli masyarakat menurun.
Hal itu disampaikan langsung oleh presiden Jokowi dalam arahannya kepada seluruh gubernur se-Indonesia lewat telekonferensi pada Selasa, 24 Maret lalu. Pada kesempatan yang lain dalam rapat terbatas virtual, Rabu 13 Mei 2020, presiden Jokowi mengaku daya beli menurun.
Namun disisi lain kebijakan yang diambil pemerintah justru menjadi naik. Hal demikian di nilai asimetris dengan kondisi yang ada, bahkan sebagian kalangan menilai kebijakan tersebut dianggap kurang tepat karena bagaimana mungkin rakyat mampu membayar iuran BPJS, untuk kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit. Ini sungguh diluar logika akal sehat. Dibalik kebijakan kontroversial itu, setidaknya ada dua isu strategis yang di naikkan:
Pertama, di tataran kebijakan, yaitu iuran BPJS telah resmi dinaikkan yang awalnya Rp. 25.000 menjadi Rp. 42.000 untuk kelas III, Rp. 51.000 menjadi Rp. 110.000 untuk kelas II, dan Rp. Rp. 80.000 menjadi 160.000 untuk kelas I, padahal sebelumnya kebijakan itu pernah di tolak oleh Mahkamah Agung (MA) atau MA mengembalikan iuran BPJS ke posisi semula.