Mohon tunggu...
aries lailiyah
aries lailiyah Mohon Tunggu... Freelancer - pengamat budaya

Tertarik sosial budaya, sastra, studi Islam, pendidikan dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mertua Maut

29 September 2024   11:26 Diperbarui: 29 September 2024   11:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MERTUA MAUT

Kisah ini kutulis dari curhatan netizen di media sosial, kisahnya terjadi sebelum Corona, sekitar tahun 2017. Kita sebut namanya Aini, usianya 35 tahun, ia menikah dengan laki-laki yang dua tahun lebih muda darinya, namanya Hisyam. Mereka menikah setelah sama-sama selesai S2 dan tinggal di Jakarta, di rumah keluarga Hisyam. Sebenarnya ia bukan asli Jakarta, namun keluarganya sudah lama menetap di ibu kota sejak ia masih kecil.

Sudah banyak cerita bahwa mertua tidak akur dengan menantu, maka Aini ingin cerita sebaliknya, ia berusaha menjadi menantu yang baik. Kebetulan keluarga Hisyam cukup berada, di rumahnya ada 1 pembantu untuk mengerjakan sehari-hari. 6 bulan pertama, kehidupan pernikahan mereka aman, meskipun ada sedikit keanehan yang bagi Aini dinormalisasi, hitung-hitung bantu suami. Uang mahar yang diberikan saat pernikahan, perlahan diambil sedikit-demi sedikit untuk keperluan suami dan keluarganya. Iya, mereka memiliki tradisi lokal, yang membutuhkan uang yang tidak sedikit, terutama Aini bukanlah orang kaya, tapi ia orang cukup.

Ia masih punya tabungan, jadi ketika uangnya dibuat kebutuhan keluarga dan suaminya, ia masih bisa menggunakan uang tabungan tersebut, namun karena setelah menikah Aini tidak bekerja lagi, lama-lama simpanan uangnya menipis dan habis. Ia berusaha mengumpulkan emas dikala itu, tapi kebutuhan mendesak harus menjual emas tersebut. Ia tidak menjadi masalah dengan itu, karena juga dibuat modal, namun saat mendapatkan hasilnya suaminya dengan bangga bilang,
"Ini hasil kerja kerasku, ini uangku...," ucapan sederhana suaminya membuat Aini berkenying jidat, dalam hati ia marah namun ia diam saja, karena suaminya laki-laki yang tidak paham agama dan memang dari keluarga yang tidak memahami agama dengan baik. Jadi, saat protes atau lebih tepatnya diskusi, suaminya akan bilang,
"Kamu jadi perempuan tidak bersyukur, harusnya banyakin bersyukur" begitulah kata suaminya jika diajak diskusi.

"kalau kamu ingin hidup mewah, maaf aku tidak sanggup," jawaban suaminya juga kalau diminta untuk pindah ngontrak jauh dari keluarga suaminya. Padahal, Aini sehari-hari makan sederhana, dia tidak lagi melakukan perawatan seperti zaman ia belum menikah, dia tidak menuntut suaminya untuk beli baju baru, make up dan lain-lain, bahkan uang mahar, tabungan dan emasnya, dijual untuk memenuhi tradisi suaminya, tradisi masyarakatnya untuk gengsi-gengsian. Begitu mudahnya ia dicap sebagai perempuan yang suka bermewah-mewah.

Heheheh... Aini selalu mbatin, pola pikir suaminya memang cenderung mencintai keluarganya, sampai dia buta, dia rela mengeluarkan uang banyak untuk bagi-bagi ke keluarganya, tapi istrinya kekurangan. secara makanan, Aini memang tidak pernah kurang, suaminya membelikannya makanan yang banyak, misal Aini bilang ingin donat, maka suaminya akan pergi ke penjual kue dan memborong banyak kue, selain donat. kalau ditanya, mana donatnya? suaminya akan bilang "Loh, kok kamu gak bilang".

Selain suaminya yang aneh, keluarga suaminya gak kalah jauh, pada pernikahan 1 tahun, Aini hamil anak kembar, karena ia mengalami muntah yang parah, ia pulang ke rumah orang tuanya, setelah usia 4 bulan ia sudah bisa makan, ia diminta suami dan mertuanya balik ke jakarta, akhirnya dengan berat hati ia balik. karena, dirumah orang tuanya, ia sangat dijaga, sedangkan bersama suami dan mertuanya, dia seperti wanita kuat yang siap disuruh-suruh. Apalagi kamarnya ada dilantai 2, dalam kondisi hamil 4 bulan, ia naik turun tangga, disuruh jaga toko mertuanya dengan kursi yang tidak ada penyangga punggungnya, meladeni banyak pembeli, asap rokok terhirup begitu banyak. apalagi kondisi kehamilannya kembar dan beresiko, tapi suami dan keluarganya menganggap itu biasa saja.

"DI kampung saya, habis melahirkan sudah disuruh ke sungai," cerita mertua perempuannya.

Aini hanya mbatin, ya kali zamans sekarang, apalagi sesar.

cek cok dengan suami tak terhindarkan, belum lagi perlakuan suaminya sangat tidak manusiawi, Aini sering ditinggal sendirian dikamar, dan dia ngobrol dengan tetangga-tetangga, entah ngomongin apa, kalau sudah jam 11 malam dia baru ke kamar, alasannya karena di kamar ngobrol dengan Aini bikin bosen. Jadi dia mencari hiburan dengan tetangga-tetangganya. 

Saat hamilpun Aini sama dengan perempuan lainnya, menginginkan makanan tertentu, namun suaminya hampir tidak pernah membelikan sesuai dengan yang diinginkan. Jika Aini ingin makan donat, suaminya benar akan ke penjual kue, tapi ia tidak membeli donat, melainkan membeli kue talam, kukus dan roti2 lain selain donat. begitupun ketika Aini ingin makan pepaya, maka suaminya akan pergi ke penjual buah namun tidak membeli pepaya, yang dibeli semangka, melon jeruk dll. Begitulah sikap suaminya, yang membuat Aini geleng-geleng kepala.

"Saya tahu itu hal sepele, tapi tahukan, donat dan pepaya itu adalah yg kutunggu-tunggu, tapi tidak dibelikan alasannya lupa" ia sangat sedih, apalag hamil memikirkan hal-hal konyol yang membuatnya ingin segera pergi dari keluarga yang Toxic.

Sampai usia 5 bulan, ketika dirumah suaminya pada keluar kota, dia ditinggal bersama suami dan saudara lain yg masih kecil, ia naik turun tangga karena gak ada orng dirumah utama, akhirnya ia sangat kelelahan dan pecahlah ketuban. Ia masuk RS dan esoknya, dua bayi kembarnya dinyatakan meninggal.

Dia mau menyalahkan siapa? keadaan?

belum lagi sepupu dari suaminya, mulutnya tajam-tajam, ada si Janda yang malah tertawa-tawa saat menunggu Aini di bad RS, ia bercertita di telfon dengan ibunya dan saudara-saudaranya seakan-seakan menunggu acara ulang tahun, ia mengomentari yang bukan privasinya. bahkan saat upacara kematian 5 hari, Aini tidak tahan dirumah, karena kesedihannya yang mendalam, ia berusaha keluar rumah ke tempat sahabatnya, si Janda dengan entengnya bilang "Anaknya mati kok kelaypan"

Aini diam, tapi dia mengingat, ia akan terus ingat kalimat itu. Ia dirumah tidak mendapatkan dukungan hatinya, mereka seperti biasa aja, tapi bagi seorang ibu ditinggal mati anaknya, seperti kiamat. dunianya runtuh, suaminya juga menganggap itu takdir. Tapi, hingga saat ini menceritakan disini, hatinya masih sangat sakit jika mengingat kejadian itu.

"IA sangat sakit hati dengan mertuanya, jika tidak sanggup menjaga, jangan memaksa Aini untuk pulang ke Jakarta, dengan alasan lahiran dan tinggal disana aja, toh disana dijadiin babu, tidak dijaga kandungannya, semoga kelas kalian merasakan kehilangan spertii yang kurasakan dengan cara yang hampir sama, kalian punya anak perempuan, diantara anak perempuan kalian, akan mengalami kehilangan anak sepertiku yang disebabkan mertua maut,"

"Ia juga sakit hati dengan suaminya, sudah tau kondisi kehamilannya beresiko, diam aja tidak membelanya, padahal itu anak darah dagingnya"

"Ia juga sakit hati dengan sepupunya, katanya kegugurannya karena Aini salah makan, Busyet dah, itu karena keluargamu, bibimu super nyuruh2, mulutnya dan sikapnya menganggap orng lain BABU, bukan karena makanan, semoga kelak kau merasakan kehilangan anak,"

Meskipun ia berusaha belajar memaafkan, tapi melukapan bukanlah hal mudah, apalagi kejadian itu tidak mengurangi Toxic pda mereka. 

Sebegitu sakitnya kehilangan dengan cara seperti itu?

Siapapun yang membaca, saya doakan kalian sehat, panjang umur dan bahagia.

jika kalian adalah menantu, jadilah meanntu yang bahagia, lindungi anak-anak kalian dari mertua maut, jangan jd ibu gagal sepertiku yang tidak bisa melindungi anak-anakku, harusnya aku bisa memberontak, mungkin saja, jika aku sedikit memberontak saat itu, anak kembarku masih bisa selamat.

jika kalian mertua, anggaplah menantu kalian anak kalian sendiri, karena anak kalian sendiri nanti juga menjadi menantu, jika tidak sanggup, hargai dia sebagai anak orang lain yang rela pergi meninggalkan keluarganya untu anakmu.

jika kalian sepupu, hal-hal yang bukan urusanmu, tidak perlu menjadi hal yang membuatmu dibenci orang lain.

HMMm... mendengar kisahnya, aku ikut menangis, menjadi istri, menantu dan ibu memang bukan hal yang mudah, butuh perjuangan.. mari kita saling menyayngi.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun