Gagasan Rousseau dan Herder tentang tanggungjawab moral individual ini memiliki pengaruh sangat kuat dalam kesadara masyarakat moderen. Dalam penelitiannya, Taylor melihat bahwa kesadaran akan otentisitas tampak menjadi suatu gerakan kesadaran sekaligus cita-cita manusia moderen. Masyarakat moderen berjuang menampilkan diri mereka yang otentik. Setiap orang berhak menentukan cara hidupnya tersendiri dan menjadi dirinya yang otentik, jujur pada orisinalitas diri.
Gagasan otentisitas moderen ini di satu sisi diterima, tetapi di lain sisi dikritisi oleh Taylor. Menurut Taylor, upaya mencapai otentisitas tidak hanya perpusat pada aspek individual, tetapi juda pada konteks sosial. Artinya, keberadaan suatu identitas individu atau kultural tidak terlepas dari pengaruh kehadiran identitas individu atau kultural dari luar dirinya. Keberadaan dan perkembangan identitas suatu individua tau entitas kultural dibentuk melalui relasi dialogal atau dalam istilah Taylor disebut 'pengakuan' dari yang lain (Taylor, 1994:32).
Lebih lanjut, menurut Taylor, sebagaimana berlaku pada level individual, setiap entitas masyarakat perlu menjadi otentik dengan dirinya sendiri. Taylor, pada konteks ini, menekankan bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai intrinsik yang membuatnya berarti.Â
Dengan mengutip apa yang telah diutarakan oleh Harder bahwa setiap kebudayaan dengan keunikannya masing-masing, bisa ada pertama-tama karena suatu alasan, dan bukan karena sebuah kebetulan (Wattimena, 2011:17). Alasan inilah yang dipandang sebagai nilai intrinsik yang telah memperkaya kehidupan manusia itu sendiri.
Taylor mengatakan, "kita dapat berargumen bahwa adalah masuk akal bahwa kebudayaan yang telah menyediakan horizon makna bagi sejumlah besar manusia, dari berbagai karakter dan temperamen, dalam jangka waktu yang lama -- yang telah, dengan kata lain, mengartikulasikan konsep mereka tentang yang baik, yang kudus, yang layak dihormati -- adalah hampir pasti layak mendapat penghormatan dari kita, walaupun itu seringkali disertai oleh hal-hal yang kita benci atau tolak" (Taylor, 1994:73).
Ungkapan Taylor ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi krisis identitas yang dialami oleh pelaku-pelaku budaya yang memandang rendah terhadap nilai-nilai budayanya sendiri, khususnya budaya minoritas atau budaya bekas hegemoni negara imperialis. Tidak adanya pengakuan atau pengakuan yang negatif terhadap budaya atau jajahan atau minoritas, mengakibatkan pelaku-pelaku budaya jajahan memandang rendah nilai-nilai budayanya sendiri dan berusaha mengidentifikasikan nilai-nilai budaya kolonial sebagai patokan nilai yang dikejar atau dicita-citakan.Â
Taylor berusaha mengatasi krisis ini dan mendorong agar setiap pelaku budaya menghayati budayanya sendiri secara otentik. Menurutnya, setiap budaya memiliki nilai-nilai intrinsik tersendiri dan yang membuatnya berarti dan bermakna. Atas dasar inilah, maka setiap pelaku budaya harus jujur dan setia pada kultur yang dimiliki.
Bagi Taylor, kesadaran otentisitas baik level individu maupun kultural-kolektif adalah suatu tuntutan. Setiap orang dituntut untuk hidup secara otentik. Idealism otentisitas mendorong setiap individu atau pelaku budaya untuk merealisasikan diri menjadi dirinya yang sejati.
Menjadi jujur pada diri sendiri berarti jujur pada originalitas saya sendiri, dan itu adalah sesuatu yang hanya dapat saya artikan. Demikian halnya dengan konteks budaya. Ini yang disebut Taylor sebagai realisasi atau pemenuhan diri (self-fulfillment or self realization) (Taylor, 1991:29).
Referensi
Taylor, Charles. 1991. The Etics of Authenticity, Reading Sartre: On Phenomenologi and Existentialism, Cambridge, Massachusetts, and London, England: Harvard University Press.