Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Otentisitas dan Aktualisasi Identitas Menurut Charles Taylor

2 November 2023   04:22 Diperbarui: 2 November 2023   06:55 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gagasan otentisitas muncul sejak akhir abad 18. Gagasan ini muncul atas dasar gagasan individualisme moderen, yakni gagasan berpikir sendiri secara bertanggungjawab yang dicetus oleh Rene Descartes (1596-1650) dan gagasan hak-hak politis individu yang dicetuskan oleh John Locke (1632-1704) (Taylor, 1991:25). Konsep otentisitas kemudian semakin berkembang setelah filsafat eksistensialis menjadi wacana filsafat yang dominan di pertengahan abad 19 dan 20.

Bagi seorang Charles Taylor, identitas itu berkaitan dengan siapa dan dari mana sesuatu itu berasal (Taylor, 1994:33). Otentisitas digambarakan sebagai keadaan asali yang unik dari suatu individu atau entitas tertentu. Identitas otentik berbicara tentang aspek jati diri asali, unik, khas dari identitas tersebut. 

Jika dikaitkan dengan manusia, maka identitas otentik dipahami sebagai jati diri asali, unik, yang khusus bagi saya, dan yang saya temukan dalam diri saya. Dengan demikian, manusia otentik menurut Taylor adalah manusia yang jujur dan setia dengan keadaan asalinya atau jati dirinya (Taylor, 1994:28).

Gagasan otentisitas memberikan alasan fundamental pentingnya penghargaan atas hak individu atau kelompok sosial untuk menghayati identitas mereka secara otentik. Taylor dalam hal ini, dari sendirinya menaruh prasangka positif terhadap otentisitas nilai setiap individua atau kebudayaan. Menurut Taylor, konsep otentisitas mencakup otentisitas individu dan kelompok sosial atau kultur.

Pada konteks individual, Taylor menegaskan bahwa gagasan otentisitas dibangun atas dasar keyakinan bahwa setiap individu dianugerahi perasaan atau intuisi moral untuk menentukan yang benar dan salah. Taylor menekankan adanya perubahan preferensi moral. Sumber moralitas pertama-tama bukan terletak pada apa yang ada di luar diri individu. Sebaliknya, setiap individu (an sich), memiliki intuisi moral yang menjadi penuntun baginya untuk menemukan atau menentukan yang baik dan benar.

Setiap manusia memiliki kapasitas melakukan evaluasi secara reflektif untuk mengidentifikasikan keinginan, motif, nilai, dan komitmen tentang apa yang baik. Setiap orang dianugerahi dasar-dasar moralitas yang menjadi pegangan setiap tindakan yang dilakukan (Taylor, 1991:26-27). Dengan lain kata, setiap individu memiliki tanggungjawab moral. Untuk itu, setiap orang dituntut hidup secara otentik dengan jujur terhadap dorongan moral dalam dirinya.

 Gagasan tanggungjawab moral individual Taylor mengacu pada Jean Jacques Rousseau dan Johann Gottfried Herder. Rousseau menegaskan bahwa suara kodrati invidu adalah sumber moralitas. Moralitas bukanlah soal sosial, tetapi sesuatu yang tertanam kuat di dalam diri setiap individu. Di dalam setiap individu ada kekuatan kodrati untuk menentukan yang baik atau buruk. Oleh karena preferensi moral melekat kuat dalam tiap individu, maka bagi Rousseau, amatlah penting melakukan kontak personal dengan diri sendiri.

Otentisitas moral lahir ketika setiap orang melakukan kontak personal dengan dirinya sendiri. Kontak personal dalam hal ini dipahami sebagai upaya refleksi, permenungan, dan panggilan yang melibatkan kemampuan intuitif rasional dan bermuara pada suara hati nurani. Baginya, kontak yang mendalam dengan diri sendiri menjadi hal yang paling fundamental dan melebihi tuntutan moral manapun dan merupakan sumber kegembiraan dan kepuasan (le sentiment de l'existence) (Wattimena, 2011:8)

Selain mengacu pada Rousseau, Taylor juga mengacu pada gagasan Johann Gottfried Herder yang menekankan masing-masing dari individu memiliki cara asli untuk menjadi manusia: setiap individu memiliki "ukuran" sendiri. Herder menekankan pentingnya originalitas hidup individu, menghayati cara hidup yang khas tanpa harus mengimitasi cara hidup orang lain. Herder mendasari argumentasinya ini pada gagasannya tentang self sebagai tolak ukur moralitas.

Dengan mengacu pada Herder, Taylor menekankan pentingnya kontak dengan diri sendiri dengan memperkenalkan prinsip keaslian, bahwa setiap orang atau budaya memiliki sesuatu yang unik untuk disampaikan (Taylor, 1994:30). Dalam pengertian ini, maka tidak tepat apabila terjadi penyesuaian sosial yang berlebihan tanpa berkontak dengan diri sendiri. Konformitas atau penyesuaian sosial yang berlebihan malah membuat seseorang atau suatu budaya kehilangan jati dirinya (Wattimena: 2011:9)

Gagasan Rousseau dan Herder tentang tanggungjawab moral individual ini memiliki pengaruh sangat kuat dalam kesadara masyarakat moderen. Dalam penelitiannya, Taylor melihat bahwa kesadaran akan otentisitas tampak menjadi suatu gerakan kesadaran sekaligus cita-cita manusia moderen. Masyarakat moderen berjuang menampilkan diri mereka yang otentik. Setiap orang berhak menentukan cara hidupnya tersendiri dan menjadi dirinya yang otentik, jujur pada orisinalitas diri.

Gagasan otentisitas moderen ini di satu sisi diterima, tetapi di lain sisi dikritisi oleh Taylor. Menurut Taylor, upaya mencapai otentisitas tidak hanya perpusat pada aspek individual, tetapi juda pada konteks sosial. Artinya, keberadaan suatu identitas individu atau kultural tidak terlepas dari pengaruh kehadiran identitas individu atau kultural dari luar dirinya. Keberadaan dan perkembangan identitas suatu individua tau entitas kultural dibentuk melalui relasi dialogal atau dalam istilah Taylor disebut 'pengakuan' dari yang lain (Taylor, 1994:32).

Lebih lanjut, menurut Taylor, sebagaimana berlaku pada level individual, setiap entitas masyarakat perlu menjadi otentik dengan dirinya sendiri. Taylor, pada konteks ini, menekankan bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai intrinsik yang membuatnya berarti. 

Dengan mengutip apa yang telah diutarakan oleh Harder bahwa setiap kebudayaan dengan keunikannya masing-masing, bisa ada pertama-tama karena suatu alasan, dan bukan karena sebuah kebetulan (Wattimena, 2011:17). Alasan inilah yang dipandang sebagai nilai intrinsik yang telah memperkaya kehidupan manusia itu sendiri.

Taylor mengatakan, "kita dapat berargumen bahwa adalah masuk akal bahwa kebudayaan yang telah menyediakan horizon makna bagi sejumlah besar manusia, dari berbagai karakter dan temperamen, dalam jangka waktu yang lama -- yang telah, dengan kata lain, mengartikulasikan konsep mereka tentang yang baik, yang kudus, yang layak dihormati -- adalah hampir pasti layak mendapat penghormatan dari kita, walaupun itu seringkali disertai oleh hal-hal yang kita benci atau tolak" (Taylor, 1994:73).

Ungkapan Taylor ini adalah sebuah upaya untuk mengatasi krisis identitas yang dialami oleh pelaku-pelaku budaya yang memandang rendah terhadap nilai-nilai budayanya sendiri, khususnya budaya minoritas atau budaya bekas hegemoni negara imperialis. Tidak adanya pengakuan atau pengakuan yang negatif terhadap budaya atau jajahan atau minoritas, mengakibatkan pelaku-pelaku budaya jajahan memandang rendah nilai-nilai budayanya sendiri dan berusaha mengidentifikasikan nilai-nilai budaya kolonial sebagai patokan nilai yang dikejar atau dicita-citakan. 

Taylor berusaha mengatasi krisis ini dan mendorong agar setiap pelaku budaya menghayati budayanya sendiri secara otentik. Menurutnya, setiap budaya memiliki nilai-nilai intrinsik tersendiri dan yang membuatnya berarti dan bermakna. Atas dasar inilah, maka setiap pelaku budaya harus jujur dan setia pada kultur yang dimiliki.

Bagi Taylor, kesadaran otentisitas baik level individu maupun kultural-kolektif adalah suatu tuntutan. Setiap orang dituntut untuk hidup secara otentik. Idealism otentisitas mendorong setiap individu atau pelaku budaya untuk merealisasikan diri menjadi dirinya yang sejati.

Menjadi jujur pada diri sendiri berarti jujur pada originalitas saya sendiri, dan itu adalah sesuatu yang hanya dapat saya artikan. Demikian halnya dengan konteks budaya. Ini yang disebut Taylor sebagai realisasi atau pemenuhan diri (self-fulfillment or self realization) (Taylor, 1991:29).

Referensi

Taylor, Charles. 1991. The Etics of Authenticity, Reading Sartre: On Phenomenologi and Existentialism, Cambridge, Massachusetts, and London, England: Harvard University Press.

Taylor, Charles. 1994. The Politics of Recognition in Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, ed. Amy Gutmann. New Jersey: Princeton University Press.

Wattimena, Reza A.A. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan Dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan Penerapannya Di Indonesia, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol.11, No.1.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun