Mohon tunggu...
Aris Yeimo
Aris Yeimo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Alumnus STFT Fajar Timur Abepura - Jayapura

Mengembara dan berkelana.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebebasan Menurut Albert Camus

10 Oktober 2023   08:53 Diperbarui: 10 Oktober 2023   09:22 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Albert Camus dikenal sebagai sastrawan sekaligus filsuf Prancis non-metropolitan. Sahabat Jean Paul Sartre ini lahir di Mondovi Aljazair, 7 November 1913. 

Ia berasal dari keluarga sederhana yang sangat khas dengan lingkaran intelektual dengan kecenderungan yang mengarah pada tindakan revolusioner (Bertens, 1987:38).

Tiga puluhan tahun perjumpaan dengan kehidupan buruh di kota kelahirannya mendominasi pemikiran dan karya-karyanya.

Camus menamatkan pendidikannya pada jurusan filsafat di Universitas Aljazair pada 1935. Setelah itu, dari 1937-1939, ia bekerja sebagai wartawan untuk La NRF. 

Pada 1939 itu juga ia pindah ke Prancis untuk melanjutkan kariernya sebagai wartawan. Di Prancis, ia bekerja untuk L'Express dan empat surat kabar harian lainnya yang diterbitkan di Paris.

Kala itu, ia banyak bergulat dengan isu-isu sosial dan politik dalam kegiatan jurnalismenya.

Karya-karyanya dalam bidang sastra antara lain: Caligula (1944), Le Mythe de Sisyphe (1942), L'tranger (1942), La Paste (1947), La Chute (1956), L'exil et le royaume (1957), Les Justes (1950), La Malentendu (1944) dan beberapa lainnya. 

Atas dedikasinya itu, ia berhasil menerima Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1957. Ia meninggal dunia pada 4 Januari 1960 dalam kecelakaan mobil di Villeliben.

Makna Kebebasan

Konsep kebebasan yang digagas Camus lahir dari pergumulannya terhadap penindasan kaum minoritas dan buruh. 

Kebebasan dalam pikirannya adalah kebebasan yang berguna hanya bila dimaksudkan untuk menghasilkan keadilan (Apsanti, 1999:28). Pandangan kebebasan ini mengarah pada situasi yang dapat mendistribusikan keadilan dan melindungi hak dari setiap individu. 

Konsekuensinya, kebebasan hanya bisa dimaknai oleh manusia saat mengalami ketidak-bebasan.

Isi filsafat kebebasan Camus adalah upaya menihilkan keadaan fundamental manusia. Ia menilai bahwa manusia sebetulnya disiksa oleh konstruksi penjara kebebasan.

Untuk mengembalikan kemerdekaan atas jalan pikiran fundamental yang unitas, manusia harus mengalami keadaan tidak bebas (Martin, 2003:40). 

Melalui pengalaman tersebut manusia akan membangun cita-cita dan kerinduannya akan kebebasan.

Camus menganggap bahwa kehidupan dunia sebetulnya sangat totaliter dan represif dan penuh dengan teori fundamentalis yang menyebabkan manusia mengalami surplus moral namun defisit kebebasan (Veeger, 1988:61). 

Hal ini nampak dalam penjajahan kapitalis Perancis kepada kaum buruh di mana para buruh dipaksakan berpikir dalam suatu konstruksi pemikiran yang unitaris tanpa boleh memiliki jalan pikiran lain.

Selain itu, Camus menambahkan bahwa kebebasan harus dilihat dari relasi yang paling individual, yaitu cara setiap manusia menikmati eksistensinya. Kebebasan "yang diatur" belum cukup untuk mengenali pengalaman eksistensial setiap individu. 

Pada tataran ini, Camus berusaha menghantar manusia keluar dari apa yang disebutnya sebagai doktrinasi teori fundamentalis sebab, baginya, kebebasan merupakan udara yang tanpanya manusia tidak bisa bernafas (Martono, 1998:138)  

Krisis Kebebasan

Koleganya, Jean Paul Sartre, percaya bahwa manusia itu bebas. Ia mengatakan, "manusia dikutuk untuk bebas" (Martono, 1998:49).

Pandangan ini mengartikan tidak adanya batasan bagi seseorang dalam kebebasan. Melalui kebebasan manusia dapat menyatakan eksistensinya. Bahkan, ketika manusia mencoba untuk menolak kebebasan, dia masih membuat keputusan yang sadar dan bebas.

Meskipun demikian, ada keadaan yang menghalangi manusia untuk mencapai kebebasan. Bagaimanapun juga, manusia yang bebas tidak akan terlepas dari pengalaman absurdnya. 

Dalam novel Krisis Kebebasan, Camus menggambarkan hilangnya eksistensi manusia, kemiskinan, dan keterasingan sebagai bentuk dari krisis kebebasan.

Menurut Camus, ketika manusia mulai mempertanyakan keberadaanya, maka manusia sepenuhnya dapat menyadari dan menemukan sesuatu yang tidak jelas dalam hidupnya. 

Namun, ketika manusia tidak atau berhenti mempertanyakan keberadaannya, maka pada saat itu ia kehilangan keberadaannya. Manusia yang tidak mempersoalkan keberadaanya adalah manusia hampa. Bagi Camus, perceraian antara manusia dan hidupnya persis merupakan hidup yang absurd (Martono, 1998:159).

Selanjutnya, Camus melihat bahwa krisis kebebasan diakibatkan pula oleh kondisi kemiskinan. Dalam hal ini, Ia berpangkal pada pengalamannya hidup di tengah dominasi kaum kapitalis Perancis yang menindas para buruh di Aljazair (Martono, 1998:163).

Realitas kaum buruh yang tertindas dan miskin membuat mereka seperti hidup sebagai eksistensi yang nyaris tanpa nama. Mereka menjalani kehidupan yang hampir sepenuhnya anonim.

Camus mencoba mengidentifikasi keterasingan sebagai penyebab krisis kebebasan. Menurutnya, tindakan menjajah kaum buruh oleh kapitalis Perancis, tidak sama sekali melahirkan suatu hidup ideal yang adil. 

Malah sikap demikian terus membuat kaum buruh menjadi semakin terasing dari kehidupannya sebagai manusia yang bebas. Keterasingan mengakibatkan hilangnya toleransi dan solidaritas untuk berbagai kebenaran dan cita-cita manusia.  

Jalan Menuju Kebebasan

Camus menawarkan jalan menuju kebebasan melalui tiga poin penting yang diutarakannya, yaitu: perjuangan terus menerus-menerus, menyampaikan aspirasi dan kritik kepada penindas, dan memiliki keberanian.

Melalui pengalaman penderitaan yang dialaminya sendiri, Camus dihantar menemukan makna eksistensial dalam kondisi penderitaan manusia. 

Menurutnya, penderitaan yang dialami manusia merupakan bentuk ketidakmampuan manusia dalam mengatasi setiap keterasingan dan ketidak-berartian hidup. 

Oleh karena itu, yang terpenting adalah kemampuan manusia untuk menyadari bahwa ia sedang menderita atau sedang menyebabkan penderitaan bagi orang lain.

Melalui kemampuan untuk sadar akan penderitaannya, setiap individu kembali memegang kendali hidupnya. Pengalaman manusia atas penderitaan dihadapkan pada kemampuan akal untuk mengasosiasikan makna (Sachari, 2002:25). 

Pada titik ini, Camus mengajarkan manusia menemukan hasil yang eksistensial dan mengajak setiap individu untuk keluar dari keadaan yang tidak berarti.

Bagi Camus, untuk bebas, manusia harus berjuang terus-menerus. Perjuangan untuk bebas menunjukkan sebuah keterlibatan untuk berusaha memahami apa yang membatasi keberadaannya.

Keterlibatan ini menawarkan cara bagi manusia untuk hidup secara ideal. Meskipun penderitaan menyebabkan rasa 'tidak ada', manusia setidaknya bertanggungjawab atas keberadaannya.

Perjuangan untuk bebas harus dinyatakan melalui penyampaian aspirasi dan kritik terhadap kaum penindas. Penyampaian aspirasi dan kritik merupakan bagian dari kecerdasan manusia untuk memperbaiki nilai fundamental hidupnya. 

Keduanya mengekspresikan sebuah kebebasan eksistensial untuk menanggapi penderitaan. Dengan demikian, manusia membuka sebuah kebebasan bagi dirinya secara ontologis.

Untuk menyampaikan aspirasi dan kritik dibutuhkan sebuah keberanian. Manusia harus berani. Keberanian, menurut Camus, adalah sifat penegasan terhadap nilai-nilai fundamental dalam kondisi manusia. 

Setiap nilai fundamental dalam hidup manusia harus diapresiasikan secara baik, benar dan berlaku adil bagi setiap orang. Keberanian dalam menawarkan paradigma merupakan pertarungan tanpa akhir (Wirodono, 1999:72). Lawan!    

Referensi

Bertens, K. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: Gramedia. 1987.

Camus, Albert. Apsanti (ptj). Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1999.

Camus, Albert. Edhi Martono (ptj). Krisis Kebebasan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 1998.

Martin, Vincent. Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard. Sartre. Camus). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.

Leenhouwers, K.J Veeger (ptj). Manusia dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat tentang Manusia. Jakarta: Gramedia. 1988.

Sachari, Agus. Estetika. Bandung: Penerbit ITB.2002.

Wiradono, Sunardian. Menemui Dunia: Sepuluh yang Berkarya. Yogyakarta: Rumah Budaya Semesta. 1999.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun