Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Guru - Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghindari Lelahnya Belajar Sama dengan Memeluk Kebodohan Selamanya

31 Agustus 2024   07:29 Diperbarui: 31 Agustus 2024   07:34 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pertanyaan sederhana sebelum lanjut membaca tulisan ini, kamu ingin rebahan atau masa depan yang cerah? Begitu kira-kira pertanyaan  yang bisa kita lontarkan kepada generasi muda masa kini, terutama yang lebih suka berselancar di media sosial ketimbang berselancar di samudera ilmu. Sebelum mereka sempat menjawab, kita lemparkan lagi satu pernyataan dari Imam Syafi'i: "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."

Ini bukan sekadar kalimat untuk dikutip di Instagram atau dijadikan status WhatsApp, tapi juga petunjuk hidup yang dalam sekali maknanya. Bukan cuma soal lelah atau kebodohan yang kita bicarakan di sini, tapi soal pilihan-pilihan hidup, yang mau tak mau, harus kita hadapi.

Ketidaknyamanan: Harga yang Harus Dibayar

Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini seperti kenyataan pahit yang jarang disadari oleh kebanyakan orang. Belajar itu melelahkan, butuh usaha, fokus, dan sering kali menguras energi fisik maupun mental. Tetapi, di balik lelahnya belajar, tersimpan hasil yang berharga: kebijaksanaan, kecerdasan, dan kemampuan untuk menghadapi dunia dengan lebih baik.

Sebaliknya, kebodohan itu seperti utang tanpa batas. kamu tidak sadar bahwa kamu membayar bunganya tiap harinya. Mungkin tidak sakit hari ini, tapi nanti ketika realitas menghantam, barulah terasa "perihnya kebodohan." Dan perihnya bukan cuma di hati, tapi juga di dompet, karir, dan bahkan sampai menghampiri hubungan sosial kita.

Pertanyaan dari saya, kenapa belajar itu melelahkan? Jawabannya jelas, karena belajar bukan sekadar menghafal buku atau memahami teori. Belajar itu seperti proses mengubah cara kita berpikir, memperluas wawasan, dan pada akhirnya, mengubah diri kita. Perubahan, sekecil apapun, selalu mengandung unsur ketidaknyamanan. Seperti otot yang perlu dipecah terlebih dahulu supaya bisa tumbuh lebih kuat, otak kita juga perlu "diregangkan" melalui proses belajar supaya bisa bekerja lebih efektif.

Generasi Rebahan vs Generasi Maju

Apakah kita bisa menyalahkan generasi muda yang lebih memilih rebahan ketimbang belajar? Mungkin tidak sepenuhnya juga bisa kita salahkan. Mereka dibesarkan di era digital, di mana segalanya serba instan dan mudah. Informasi bisa didapatkan dengan satu klik, hiburan tersedia 24 jam tanpa jeda sesuai permintaan. Kalau dulu orang-orang harus pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi, sekarang cukup buka Google, Bing, bahkan dengan perkembangan teknologi kecerdasan buatan seperti Chat GPT dan lainnya, mereka bisa mencari informasi sebanyak-banyaknya. Masalahnya, semua kemudahan ini justru seringkali membuat kita malas berusaha lebih. Kebiasaan instan membuat generasi sekarang enggan menghadapi proses belajar yang membutuhkan waktu dan ketekunan.

Nah, disinilah tantangan terbesar muncul. Mereka yang tak tahan dengan lelahnya belajar, malah jadi gampang menyerah. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam lingkaran kebodohan modern. Kebodohan modern ini bukan karena mereka tak tahu apa-apa, tapi karena mereka merasa tahu banyak hal tanpa pernah mendalami satu hal pun. Seolah-olah dengan membaca headline saja sudah cukup untuk dianggap pintar. Ini adalah jebakan zaman modern. Kebodohan tidak selalu berbentuk "tidak tahu", tapi lebih kepada ilusi bahwa kita sudah tahu semuanya hanya karena kita terbiasa mendapat informasi dengan instan dan mudah.

Seorang siswa SMA yang selama ini selalu berada di posisi paling bawah di kelas, tiba-tiba menjadi juara setelah mengalami satu momen pencerahan. Selama ini dia selalu berpikir, "Belajar itu susah, lebih enak main game." Tapi, suatu ketika, saat keluarganya sedang kesulitan ekonomi, dia menyadari satu hal: "Jika aku tetap malas belajar, aku mungkin akan menjalani hidup seperti ini selamanya." Dari situ, dia mulai belajar, bukan karena disuruh guru atau orang tua, tapi karena sadar bahwa masa depannya ada di tangannya sendiri.

Momen ini seperti sebuah titik balik. Dia mulai mengatur waktu, menahan godaan untuk bermain game, dan mulai menekuni pelajaran-pelajaran yang sebelumnya dianggap membosankan. Akhirnya, dalam beberapa bulan saja, dia berhasil melesat dari siswa terburuk menjadi salah satu siswa terbaik di sekolah. Apa yang mengubahnya? Kesadaran bahwa menahan lelahnya belajar lebih baik daripada menahan perihnya kebodohan seumur hidup.

Lelah Itu Sementara, Bodoh Itu Selamanya

Kata-kata Imam Syafii mengingatkan kita bahwa ketidaknyamanan adalah harga kecil yang harus dibayar untuk sesuatu yang jauh lebih berharga. Jika kita memilih jalan yang nyaman sekarang, kemungkinan besar kita akan mengalami ketidaknyamanan yang lebih besar di masa depan. Sebaliknya, jika kita bersedia untuk mengalami sedikit ketidaknyamanan sekarang (misalnya dengan belajar), maka kita mungkin bisa merasakan kenyamanan yang lebih besar di kemudian hari.

Ini adalah sebuah prinsip yang berlaku di hampir semua aspek kehidupan. Ingin tubuh yang sehat? kamu harus rajin berolahraga dan menjaga pola makan, meskipun kadang terasa menyiksa. Ingin sukses dalam karir? kamu harus bekerja keras dan terus belajar, meskipun ada saat-saat di mana kamu merasa lelah. Ingin hidup bahagia? kamu harus belajar bersyukur dan berusaha, meskipun tidak selalu mudah.

Dalam konteks pendidikan, belajar memang melelahkan, terutama jika kita harus berhadapan dengan mata pelajaran yang sulit. Namun, rasa lelah itu sementara. Setelah kita memahami sesuatu, ada rasa kepuasan yang luar biasa. Sebaliknya, kebodohan---ketidakmampuan untuk memahami atau melakukan sesuatu---itu menyakitkan, dan sering kali efeknya bertahan lama.

Kepada anak-anak muda, penting untuk memahami bahwa kehidupan ini penuh dengan pilihan. kamu bisa memilih untuk bersenang-senang sekarang dan menghadapi konsekuensinya di masa depan, atau kamu bisa memilih untuk bekerja keras sekarang dan menikmati hasilnya di kemudian hari. Kata Imam Syafii seolah menantang kita untuk berpikir lebih dalam tentang pilihan-pilihan ini. Jika kita ingin menghindari rasa sakit di masa depan, kita harus bersedia untuk menahan sedikit ketidaknyamanan sekarang.

Belajar tidak harus selalu tentang buku dan teori. Belajar bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan dari siapa saja. Jangan sampai kemudahan teknologi membuat kita lupa bagaimana caranya belajar dengan sungguh-sungguh. Gunakan teknologi untuk memperkaya pengetahuan, bukan sekadar mencari hiburan.

Mungkin ada yang bertanya, "Kalau begitu, belajar terus-terusan saja dong, jangan pernah berhenti?" Bukan begitu juga konsepnya. Belajar itu perlu diimbangi dengan istirahat. Tetapi ingat, istirahat bukan berarti berhenti. Istirahat adalah bagian dari proses belajar. Setelah belajar dengan keras, berikan waktu untuk otak kita mencerna informasi. Setelah itu, lanjutkan lagi. Begitulah caranya kita terus tumbuh dan berkembang.

Kebodohan Bukan Takdir

Pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa kebodohan bukanlah takdir. Kita semua memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Namun, untuk mewujudkan potensi itu, kita harus bersedia menghadapi ketidaknyamanan yang datang bersamanya. Jangan biarkan kebodohan menguasai hidup kita hanya karena kita tidak tahan dengan sedikit rasa lelah. Seperti yang dikatakan Imam Syafii, pilihan ada di tangan kita: Menahan lelahnya belajar, atau menahan perihnya kebodohan.

Belajar itu ibarat naik gunung, memang capek, tapi pemandangan di puncaknya bikin kita lupa sama capeknya. Sebaliknya, kalau kamu memilih jalan malas, kamu hanya akan berputar-putar di lembah yang sama di antara hutan dan bahkan jurang yang dalam, dengan pemandangan yang itu-itu saja."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun