Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Guru - Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lupa Itu Sulit, Memaafkan Juga Tidak Mudah

15 Agustus 2024   19:02 Diperbarui: 15 Agustus 2024   19:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Ada satu kalimat yang seringkali terdengar tampak bijak di telinga kita, namun menyimpan ambiguitas yang tak jarang membuat hati teriris bagi yang menunggu diterima maafnya: "Saya memaafkan, tapi tidak akan melupakan." Kalimat ini seperti halnya dua sisi mata uang; tampak mulia di satu sisi, namun jika dicermati lebih dalam, bisa jadi penuh dengan kepalsuan. Benarkah kita menjadi pendendam ketika mengucapkan kalimat ini? Ataukah kita hanya sedang berpura-pura agar tidak disebut sebagai pendendam?

Pada saat seseorang berkata, "Saya sudah memaafkan kamu, tetapi saya tidak akan pernah lupa apa yang sudah kamu lakukan," sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan? Apakah ia benar-benar sudah selesai melepaskan beban di hati atau justru masih menggenggam bara api yang siap membakar kapan saja? Sebenarnya, ini semua bukan sekadar soal lupa atau tidak lupa, melainkan soal bagaimana kita memaknai kata memaafkan dan bagaimana kita menjalani prosesnya.

Antara Memaafkan dan Melupakan: Sebuah Kontradiksi?

Memaafkan seringkali dimaknai sebagai tindakan mulia, tindakan yang mendamaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Namun, melupakan? Itu urusan yang lain. Otak manusia memang tidak dirancang untuk melupakan begitu saja, apalagi terhadap hal-hal yang menyakitkan. Maka wajar, kalau ada yang bilang, "Saya bisa memaafkan, tapi tidak bisa melupakan." Tapi apa itu memaafkan jika tidak diikuti dengan melupakan? Bukankah sudah seharusnya keduanya berjalan beriringan?

Memaafkan tanpa melupakan bisa diibaratkan seperti kita membersihkan rumah, tapi meninggalkan sedikit debu di sudut-sudut ruangan. Mungkin saja kita tidak melihatnya setiap saat, tapi kita tahu debu itu ada, dan ia akan selalu mengingatkan kita bahwa rumah ini pernah kotor. Lalu, apakah dengan begitu, kita benar-benar sudah membersihkan rumah? Atau hanya menunda kotoran tersebut untuk dibersihkan di kemudian hari? Ya terlambat!

Di sini letak ironinya. Memaafkan seyogyanya menjadi tindakan yang membawa ketenangan, tapi jika masih ada bagian dari hati kita yang terus mengingat luka itu, apakah kita benar-benar sudah memaafkan? Mungkin disanalah kepura-puraan kita terselip membekas. Kita ingin dianggap sebagai pribadi yang baik dan pemaaf, tapi disisi lain, kita masih memelihara rasa sakit itu. Memaafkan tanpa melupakan bisa jadi hanya ilusi, sebuah upaya untuk tampil baik di mata orang lain, tetapi di dalam hati kecil kita, api kebencian itu masih berkobar. 

Memaafkan atau Melupakan: Haruskah Keduanya Berjalan Bersama?

Sebenarnya, ada nilai bijak dalam kata "tidak akan pernah melupakan." Melupakan bukan berarti kita harus menghapus memori atau pengalaman dari ingatan kita. Sebaliknya, kita bisa menggunakan memori itu sebagai pelajaran hidup. Bayangkan, jika kita benar-benar melupakan setiap kesalahan yang terjadi pada kita, bukankah besar kemungkinan kita akan terus mengulang kesalahan yang sama?

Tapi sebentar, memori ini harus ditempatkan dalam konteks yang tepat. Jika memori itu terus disimpan dalam hati dengan kemarahan dan kebencian, kita justru membebani diri kita sendiri. Maka, cara terbaik adalah menjadikan memori itu sebagai bahan pembelajaran, bukan sebagai bahan bakar kebencian yang sewaktu-waktu tersulut dendam yang tidak berkesudahan. 

Kepura-puraan atau Ketulusan: Di Mana Kita Berdiri?

Di sini, letak tantangan sebenarnya: bagaimana kita bisa memaafkan dengan tulus, tanpa ada niat tersembunyi untuk tetap menyimpan rasa sakit? Memaafkan bukan soal menghapus memori, tetapi bagaimana kita menata hati untuk menerima masa lalu dengan ikhlas. Ketulusan memaafkan tidak memerlukan embel-embel "tapi saya tidak akan melupakan." Sebab, jika kita benar-benar tulus memaafkan, kita tidak lagi terjebak pada kenangan buruk itu. Kita menyadari bahwa apa yang terjadi di masa lalu, baik dan buruknya, adalah bagian dari proses hidup kita.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada orang-orang yang memaafkan tapi menyimpan kenangan buruk sebagai bentuk proteksi diri. Ini bukan sepenuhnya salah. Sebagai manusia, kita memiliki insting untuk melindungi diri dari rasa sakit yang sama. Tetapi, jika kenangan itu terus dibawa dengan perasaan negatif, bukankah kita yang rugi?

Selembar Kertas Putih yang Ternoda

Memaafkan itu ibarat kembali memberikan kertas putih yang sempat ternoda, namun noda itu tetap ada. Apakah kita akan terus memandang noda itu dan meratapi kertas kita yang tak lagi sempurna? Atau kita memilih untuk mulai menulis cerita baru di atasnya? Kalau kita terus melihat noda, kita tidak akan pernah memulai sesuatu yang baru. Begitu juga dengan hidup. Kalau kita terus terjebak pada memori buruk, kapan kita akan melangkah maju?

Memaafkan: Bebaskan Dirimu

Memaafkan itu seperti membebaskan diri dari rantai yang tak terlihat. Saat kita memaafkan, bukan berarti kita membenarkan apa yang dilakukan oleh orang lain, tapi kita membebaskan diri kita dari beban yang tidak perlu. Ingat, memaafkan bukan soal memberi maaf kepada orang lain, tapi lebih kepada diri kita sendiri. Ini tentang bagaimana kita bisa berdamai dengan masa lalu dan memberikan ruang bagi diri kita untuk tumbuh.

Ketika kita mampu memaafkan dengan tulus, kita memberi ruang bagi kebahagiaan dan kedamaian untuk hadir dalam hidup. Memaafkan bukan tentang orang lain, tapi tentang diri kita sendiri. Jadi, saat kita berkata "Saya memaafkan, tapi tidak akan melupakan," tanyakan pada diri sendiri, apakah saya sudah benar-benar memaafkan? Atau saya masih terikat pada masa lalu yang seharusnya sudah saya tinggalkan?

Sang Pendendam: Jangan Tertawa Sendiri!

Bagi mereka yang terus berkata "Saya memaafkan tapi tidak akan melupakan," saya punya satu pesan: jangan sampai tertawa sendiri ketika melihat orang yang pernah menyakiti kita jatuh. Kenapa? Karena mungkin saja suatu saat kita yang akan menjadi bahan tertawaan orang lain. Hidup ini berputar, dan apa yang kita tanam, itu yang kita tuai. Jika kita menanam kebencian, kita juga akan menuai kebencian. Tapi kalau kita menanam ketulusan, mungkin kita akan menuai kebahagiaan yang tak pernah kita duga darimana dan kapan datangnya.

Pilihan Ada di Tangan Kita

Akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin memaafkan dengan sepenuh hati dan membiarkan kenangan buruk itu menjadi bagian dari perjalanan hidup yang tak lagi menyakitkan? Ataukah kita memilih untuk terus memelihara kenangan itu, meski dengan mengatakan "saya memaafkan"? Setiap orang punya caranya masing-masing, tapi satu hal yang pasti: hidup terlalu singkat untuk terus-menerus memendam rasa sakit. 

Mari belajar untuk memaafkan dengan ketulusan dan tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu. Kita boleh saja tidak lupa, tetapi jangan biarkan kenangan itu menjadi beban yang menghalangi langkah kita menuju kebahagiaan hakiki. Dan kalaupun kita memilih untuk mengingat, ingatlah dengan senyuman, bukan dengan kepahitan. Sebab, hidup ini lebih indah jika kita bisa memaafkan dan melepaskan dengan hati yang lapang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun