Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Guru - Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

2045, Akankah Muncul Generasi Emas atau Generasi Lemas dan Cemas?

10 Juli 2024   18:06 Diperbarui: 11 Juli 2024   15:38 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita sedang berada di persimpangan jalan."

Begitu kata salah seorang kawan saya yang sedang berdiskusi tentang generasi bangsa Indonesia.

"Di satu sisi, kita melihat potensi besar generasi muda. Di sisi lain, kita juga melihat tantangan yang tidak kalah besar. Apakah 2045 akan membawa kita kepada generasi emas yang penuh prestasi, atau malah generasi lemas dan cemas yang penuh frustasi?"

Inilah realitas Indonesia saat ini, dimana-mana harapan dan ketakutan berdansa bersama dalam simfoni yang kadang-kadang terdengar merdu, tapi lebih sering memekakkan telinga.

Kita punya Generasi Z (Gen Z) yang cerdas, kreatif, dan melek teknologi. Namun, disisi lain, mereka juga menghadapi tekanan yang luar biasa dari berbagai arah.

Sejenak saya mencoba menggali apa yang harus kita siapkan agar mimpi tentang generasi emas di 2045 tidak sekadar menjadi angan-angan.

Gen Z adalah generasi yang lahir dengan gawai di tangan. Mereka adalah digital natives atau penduduk asli dari dunia digital yang terhubung dengan dunia maya sejak lahir.

Mereka kreatif, inovatif, dan sangat adaptif terhadap perubahan teknologi. Mereka adalah calon pemimpin yang bisa membawa Indonesia ke puncak kejayaan.

Namun, potensi besar ini juga datang dengan setumpuk tantangan.

Bagaimana tidak? Dunia mereka penuh dengan distraksi, informasi berlimpah yang seringkali sulit dicerna, serta tekanan sosial yang terus mengintai.

Jika tidak diarahkan dengan benar, potensi ini bisa berubah menjadi bumerang.

Kalau tidak hati-hati, bukannya jadi generasi emas, malah jadi generasi lemas.

Kenapa? Ya karena lelah mengikuti tren tanpa arah.

Salah satu tantangan terbesar bagi Gen Z adalah overexposure terhadap teknologi dan informasi. Mereka tumbuh di era media sosial, di mana segala hal tampak begitu sempurna dan instan.

Hal ini bisa menciptakan tekanan yang luar biasa, membuat mereka merasa harus selalu tampil sempurna dan sukses di mata orang lain. Akibatnya, muncul fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang berujung pada kecemasan berlebih.

Belum lagi tekanan akademis dan karir yang terus meningkat. Bayangkan, di usia yang masih muda, mereka harus memikirkan bagaimana caranya bersaing di dunia yang semakin kompetitif. Tidak heran banyak dari mereka yang akhirnya merasa terjebak dalam pusaran stres dan kebingungan.

Bayangkan ada seorang anak muda yang berusaha menulis esai tentang dampak teknologi. Dia membuka laptop, lalu memutuskan untuk mencari inspirasi di YouTube. Lima jam kemudian, dia malah terjebak menonton video kucing lucu dan tutorial make-up. Esainya? Belum selesai sebaris pun.

Ini adalah ironi yang lucu sekaligus menyedihkan. Saya seringkali mengingatkan bahwa Gen Z selalu dan terlalu tergoda oleh distraksi hingga lupa pada tujuan awal. Gen Z akan selalu menghadapi tantangan yang sama, hanya saja mungkin dalam skala yang lebih besar.

Tidak ada perubahan tanpa persiapan, tidak ada hasil tanpa usaha. Kalau mau generasi emas, ya kita harus siap-siap dari sekarang. Sebagai bangsa, kita harus mengambil langkah strategis untuk mendukung perkembangan positif Gen Z.

Pendidikan harus mampu mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum harus diperbarui secara berkala agar relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat. Diperbarui bukan berarti membuat repot semua pihak, apalagi para orang tua dan guru.

Pendidikan karakter juga harus diperkuat agar generasi muda tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas dan moral yang baik.

Literasi Digital 

Literasi digital bukan hanya tentang bagaimana menggunakan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana mengelola informasi dengan bijak.

Gen Z harus diajarkan untuk menjadi pengguna teknologi yang kritis, mampu memilah mana informasi yang benar dan mana yang salah alias hoaks. 

Kesehatan mental adalah aspek yang sering terabaikan. Padahal, tekanan yang dihadapi Gen Z sangat besar. 

Program-program yang mendukung kesehatan mental, seperti konseling dan workshop tentang manajemen stres, harus diperbanyak.

Sudah seharusnya kita menciptakan ekosistem yang mendukung kreativitas dan inovasi mereka. Peluang untuk berwirausaha, akses kepada modal, serta dukungan dari pemerintah dan swasta sangat penting.

Tentu saja semua Ini akan membantu Gen Z untuk mewujudkan ide-ide kreatif mereka menjadi kenyataan.

Kurikulum Kuda Gigit Besi

Sistem pendidikan kita seringkali terlalu kaku dan tidak adaptif. Kurikulum yang ada masih terlalu teoritis dan kurang aplikatif, sehingga seringkali membuat siswa merasa bosan dan tidak tertarik. Padahal, mereka punya potensi besar yang harus digali dan dikembangkan.

Kalau kita terus-terusan mengandalkan kurikulum zaman kuda gigit besi, ya jangan heran kalau nanti generasi kita malah jadi kuda lumping. 

Kita perlu melakukan reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan kita. Kurikulum harus diperbarui secara berkala agar selalu relevan dengan perkembangan zaman. Tapi sekali lagi perubahan bukan untuk menyusahkan banyak pihak, terutama siswa, guru dan juga orang tua.

Selain itu, pendidikan karakter juga harus menjadi fokus utama agar generasi muda tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas dan standar moral yang selalu menjunjung tinggi etika.

Bonus Demografi Jangan Jadi Bencana Populasi 

Belakangan ini saya melihat banyak yang selalu berbicara berbusa-busa soal bonus demografi, tapi kalau hanya di bibir saja tanpa tindakan, ya nanti bonusnya cuma jadi angka di atas kertas.

Bonus demografi harus dimanfaatkan dengan bijak. Kita tidak bisa hanya berharap pada angka-angka tanpa ada upaya nyata untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan perluasan lapangan kerja harus menjadi prioritas utama.

Bonus demografi jangan sampai menjadi bencana populasi jika tidak dibarengi langkah strategis untuk para Gen Z.

Akhir dari semua yang paling utama adalah peran orang tua dan keluarga menjadi faktor sangat penting dalam membentuk generasi emas.

Orang tua harus menjadi panutan dan pendukung utama bagi anak-anak mereka. Keluarga harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Orang tua harus terlibat aktif dalam pendidikan anak-anak mereka dan memberikan dukungan moral yang kuat.

Mimpi Kita Bersama

2045 adalah mimpi kita bersama. Apakah akan menjadi generasi emas atau malah generasi lemas dan cemas, itu tergantung pada apa yang kita lakukan sekarang.

Gen Z adalah aset berharga yang harus kita jaga dan tingkatkan kapasitasnya. Tantangan yang mereka hadapi memang besar, tetapi dengan dukungan yang tepat, mereka bisa menjadi pilar utama dalam membangun Indonesia yang lebih baik.

Kita harus siap beradaptasi, berinovasi, dan terus belajar. Karena di tangan merekalah masa depan Indonesia berada. Jangan sampai mimpi kita tentang generasi emas di 2045 hanya menjadi sekadar mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun