Ketika mendengar pernyataan "kuliah tidak penting," ada yang merasa terlecut semangatnya, ada yang merasa panas telinganya. Saat ini kita hidup pada zaman dimana informasi melimpah ruah dan opini menjadi bagian dari keseharian kita. Tapi mari kita coba membedah pernyataan di atas, dengan tulisan yang ringan untuk ditelaah.
Penting Tak PentingÂ
Satu sisi yang perlu dicamkan adalah anggapan bahwa kuliah masih dianggap sebagai jalan tol menuju kesuksesan. Sejak jaman dulu, pendidikan dianggap sebagai alat untuk mengangkat derajat seseorang, dari zaman Socrates sampai zaman sekarang. Tapi disisi lain, akhirnya ada narasi yang semakin nyaring belakangan tentang pendidikan tinggi, bahwa "kuliah tidak penting". Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Realita Ekonomi dan Sosial
Mari kita lihat realita ekonomi dan sosial di tengah-tengah masyarakat saat ini. Banyak dari kita menganggap kuliah sebagai investasi. Layaknya investasi lainnya, kita berharap ada return yang signifikan. Namun, sayangnya, tak sedikit lulusan perguruan tinggi yang akhirnya menambah panjang daftar pengangguran. Mereka memiliki gelar, tapi tidak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan harapan atau bahkan tidak bekerja sama sekali.
Fakta yang banyak terjadi adalah, ada banyak mahasiswa yang menghabiskan bertahun-tahun belajar teori yang dalam, seperti hukum termodinamika atau struktur sastra, tetapi akhirnya  bekerja di bidang yang jauh dari apa yang  dipelajari. Misalnya, seorang lulusan fisika yang berakhir menjadi barista. Bukan berarti menjadi barista tidak terhormat, tapi bukankah ironi jika segala pengetahuan tentang hukum Newton digunakan untuk mengukur busa susu pada cappucino? Ini yang saya bisa menyebutnya sebagai "pendidikan satirikal."
Apa yang Sebenarnya Penting?
Jika kuliah dianggap tidak penting, lalu apa yang penting? Jawabannya mungkin tidak sederhana. Yang jelas, ada beberapa hal yang semakin dianggap esensial di zaman sekarang. Keahlian praktis seperti kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dalam tim, berpikir kritis, dan kemampuan adaptasi adalah keahlian yang sangat penting. Ini adalah soft skills yang hampir tidak diajarkan di bangku kuliah.
Banyak perusahaan lebih menghargai pengalaman praktis daripada sekadar teori. Magang, kerja part-time, atau proyek-proyek mandiri dapat memberikan nilai lebih dibandingkan hanya duduk di ruang kelas. Dalam banyak kasus, siapa yang Anda kenal lebih penting daripada apa yang Anda ketahui. Kuliah memang bisa menjadi tempat untuk membangun jaringan, tapi ini bisa juga dilakukan di luar lingkungan akademis.
Saya bawakan satu potongan cerita tentang seorang pemuda lulusan teknik mesin yang menganggur, akhirnya memilih menjadi tukang ojek online. Suatu hari saat hendak mengambil penumpang di tengah perjalanan, ia bertemu penumpang yang ternyata adalah dosennya dulu. Sang dosen heran, "Loh, kamu kan dulu mahasiswa pintar, kok sekarang jadi tukang ojek?" Si pemuda dengan santai menjawab, "Pak, ini namanya beradaptasi dengan pasar. Sekarang, skill komunikasi dan navigasi lebih dibutuhkan daripada teori mesin." Sang dosen pun hanya bisa terdiam, mengakui betapa fleksibelnya dunia ini.
Mari kita coba merenung sedikit lebih dalam. Pendidikan itu sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Namun, apakah sistem pendidikan kita saat ini benar-benar memanusiakan, atau justru membuat manusia menjadi robot yang hanya bisa mengikuti perintah? Jika pendidikan hanya berorientasi pada nilai dan gelar, bukankah kita sedang membangun pabrik robot yang siap dilepas ke pasar kerja?