Mohon tunggu...
Ari Rosandi
Ari Rosandi Mohon Tunggu... Guru - Pemungut Semangat

Menulis adalah keterampilan, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah keniscayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pemalsuan Data untuk PPDB: Sekolah Favorit dan Ironi "Kejujuran"

29 Juni 2024   20:37 Diperbarui: 1 Juli 2024   13:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita hidup di era yang penuh ironi, dimana kejujuran sering kali jadi barang langka di tengah kesempitan. Salah satu ironi tersebut saat ini adalah praktik pemalsuan data untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Seolah ada benang merah yang kusut di antara niat baik pemerintah untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan realitas di lapangan yang penuh tipu muslihat.

Kejujuran di Tengah Zona Palsu

Saya coba ilustrasikan ada seorang anak bernama Budi yang tinggal di pinggiran kota. Budi adalah anak yang cerdas dan penuh semangat untuk belajar. Ia bercita-cita masuk ke sekolah favorit yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Namun, sistem zonasi menutup peluang itu.

Di sisi lain, ada Susi, anak dari keluarga kaya yang rumahnya dekat dengan sekolah favorit tersebut. Tapi, bukan kepintaran Susi yang membawa dia ke sana, melainkan alamat palsu yang dibuat oleh orang tuanya.

Inilah kenyataan yang terjadi di berbagai tempat. Sistem zonasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan pendidikan, justru dijadikan celah bagi mereka yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan keadilan dan kesetaraan. 

Zona 'Putih' dan Zona 'Abu-Abu'

Praktik pemalsuan data ini seolah-olah menciptakan dua jenis zona dalam masyarakat: zona 'putih' bagi mereka yang mengikuti aturan dengan jujur, dan zona 'abu-abu' bagi mereka yang mencari jalan pintas agar mendapatkan fasilitas. Ironisnya, zona 'abu-abu' ini sering kali diisi oleh mereka yang justru memiliki akses lebih baik terhadap informasi dan sumber daya.

Kita mungkin bisa bertanya, apakah ini salah sistem atau manusianya?

Sistem zonasi dirancang untuk memastikan setiap anak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Namun, ketika kejujuran menjadi barang langka, sistem sebaik apa pun akan selalu punya celah untuk disiasati.

Alamat Palsu, Prestasi Palsu, Menjadi Masa Depan Palsu

Alamat palsu ini bukan sekadar baris di KTP, tapi juga simbol dari sikap mental yang menghalalkan segala cara. Kalau alamat bisa dipalsukan, bagaimana dengan nilai? Bagaimana dengan prestasi? Apakah kelak anak-anak kita akan terbiasa dengan kebohongan sejak dini, menganggap bahwa semuanya bisa diatur asal ada uang atau koneksi?

Pepatah lama mengatakan, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Jika orang tua mengajarkan anak-anaknya untuk memalsukan alamat demi masuk sekolah favorit, jangan heran jika di masa depan mereka akan memalsukan lebih banyak hal untuk mencapai tujuan mereka.

Ketika Tetangga Tiba-tiba Jadi Saudara

Masa-masa PPDB bisa dipastikan fenomena tentang keluarga yang tiba-tiba memiliki banyak saudara? "Eh, Bu, itu kok alamat kamu di sekolah bisa dekat banget sama sekolah favorit ya?" tanya seorang ibu kepada tetangganya. "Oh, itu sih alamat rumah sepupu saya yang kebetulan sedang kosong," jawab si ibu dengan senyum.

Ironisnya, sistem zonasi malah menciptakan fenomena baru: keluarga dadakan yang tiba-tiba muncul demi sebuah alamat. "Cinta dalam Zona", ironi tentang perjuangan keluarga-keluarga palsu demi mendapatkan pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka.

Pendidikan sebagai Cermin Bangsa

Kalau kita mau sedikit berpikir lebih dalam, sistem pendidikan adalah cermin dari sebuah bangsa. Ketika sistem pendidikan dipenuhi dengan kecurangan, itu menunjukkan ada yang salah dengan moralitas masyarakat kita.

Pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai kejujuran, kerja keras, meritokrasi dan integritas ditanamkan sejak dini. Namun, praktik pemalsuan data ini justru menanamkan nilai-nilai sebaliknya.

Sebagai bangsa, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah ini jenis pendidikan yang kita inginkan untuk anak-anak kita? Pendidikan yang penuh dengan kebohongan dan tipu muslihat? Atau kita ingin menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar adil dan jujur, di mana setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk berhasil berdasarkan kemampuan dan usaha mereka? Anak-anak yang sebenarnya punya potensi besar namun tersingkir karena mereka tidak memiliki 'alamat yang benar'? Inilah kisah-kisah yang kita dengar, nyata di sekitar kita.

Menggugat Sistem dan Manusia

Kejujuran adalah modal utama dalam pendidikan. Tanpa kejujuran, pendidikan hanyalah ilusi. Sebagaimana halnya dengan ungkapan yang satu ini: Sistem yang baik membutuhkan manusia yang baik, tapi manusia yang dikatakan baik bisa juga menghancurkan sistem yang buruk.

Sistem zonasi, dengan segala niat baiknya, telah menjadi korban dari mentalitas curang di masyarakat kita. Dan ini bukan hanya masalah pemerintah atau sekolah, tapi masalah kita semua sebagai bagian dari masyarakat. Kita perlu mengubah cara kita berpikir dan bertindak, agar kejujuran tidak lagi menjadi barang langka, dan agar pendidikan benar-benar menjadi alat untuk memajukan bangsa, bukan sekadar ilusi dalam zona abu-abu.

Refleksi untuk Masa Depan

Praktik pemalsuan data untuk PPDB sistem zonasi adalah cermin dari masalah yang lebih besar dalam masyarakat kita. Jika kita ingin melihat perubahan nyata, harus mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari kejujuran dalam hal-hal kecil, yang akan melahirkan integritas dalam hal-hal besar.

Hanya dengan begitu, kita bisa menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar adil dan merata, di mana setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan yang cerah.

Semoga hal ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal karakter dan nilai-nilai yang kita tanamkan sejak dini. Mari kita ciptakan pendidikan yang bukan hanya cerdas, tapi juga berintegritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun