Dia bercerita banyak hari ini. Terlebih, kekecewaannya pada pemimpin yang dulu. Menurutnya, orang-orang itu yang memadamkan api semangat yang selama ini terjaga kehangatannya dalam jiwa para pemuda. Tak ada kepedulian yang mereka berikan. Hanya janji mulut yang ada. Namun, memang begitu banyak wajah muram yang muncul kemudian selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tapi pemuda bernama Ivan ini tak pernah mau menyerah begitu saja. Menurutnya, walaupun keterpurukan itu ada, jika terjatuh terus tanpa mau berusaha, sama saja seperti bodoh yang tak beralasan.
Tak terasa, senja sudah mengetuk pelan jendela. Aku dan Rosie kembali ke kantor, tepat ketika senja sampai pada puncaknya di ambang langit. Banyak pelajaran hari ini. Banyak pekerjaan rumah hari ini. Mereka percaya, bahwa pada suatu hari nanti akan ada seorang pemuda yang akan membawa harapan baru di Republik Bangkit. Mereka tak berhenti memanjatkannya, hingga doa itu sampai pada langit ke-tujuh dan menjawabnya melalui aku.
“Rosie, besok umumkan pada seluruh negeri, Bahwa aku siap mengemban tugas ini. Aku tidak akan mengecewakan mereka.”
Pada akhirnya, aku sudah memutuskan siapa saja yang bisa menduduki kursi hangat di sekitarku di ruangan sakral ini. Ruangan yang hanya akan digunakan ketika pemimpin Republik Bangkit hendak memutuskan tiap harapan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat.
Berikan aku tujuh pemuda untuk bersamaku di ruangan ini. Akan kubangun kembali semangat juang yang sudah hampir punah untuk menyertaiku bersama republik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H