Mohon tunggu...
Muhammad Ariqy Raihan
Muhammad Ariqy Raihan Mohon Tunggu... Penulis -

Lelaki sederhana dan penikmat sastra. Hanya ingin mencari kata-kata untuk disambung menjadi sebuah cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda Republik Bangkit

11 Februari 2016   19:38 Diperbarui: 11 Februari 2016   22:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jika kau percaya bahwa perubahan itu ada, berbahagialah. Tak banyak orang yang pikirannya terbuka. Tak banyak orang yang bisa melihat pelangi dibalik awan pekat hitam yang meghujamkan bulir-bulir hujan ke tanah keringmu.

Jika kau mau sebentar saja bermain dengan awan maka alihkan pandanganmu ke arah barat. Pejamkan matamu, dan rasakan tubuhmu berjalan di udara. Tujukan pikiranmu pada sebuah kota kecil, pusat persinggahan daripada sebuah negara republik yang indah. Sebut saja, Republik Bangkit. Negara kecil yang dahulunya menawarkan keceriaan. Di negara itu ada sebuah kota kecil bernama Kota Tua. Di tempat inilah Republik Bangkit terkenal dengan pemudanya. Negara dengan ribuan pemuda yang siap mengguncang dengan semangat murni mereka yang tak pernah padam.

Namun, sudah lama kota itu diselimuti oleh kabut tebal. Awan hitam pekat mengunci tiap semangat yang dimiliki penduduk kota itu. Pasar-pasar tak lagi berdenyut. Remahan kertas tinggalah menjadi sampah tak bermakna. Kota ini berubah muram, semenjak para penguasa memutuskan untuk tak lagi peduli pada kehidupan ekonomi kota kecil itu. Para pemuda tak lagi seperti dulu. Mereka semua hilang harapan. Bertahun-tahun, bukan, mungkin puluhan tahun kota kecil itu bersemayam di balik awan hitam pekat bernama kegelapan.

Namun, lihatlah hari ini. Semua orang beranjak dari santainya. Pasar-pasar kembali berdenyut. Para penjaja bangkit kembali dari mati mereka. Mereka semua turun ke aspal dan berbagi keceriaan. Mereka semua merayakan terpilihnya sosok pemimpin baru negeri yang perlahan menyingkap kabut pekat itu.

***

“Selamat pagi, Pak Presiden.” Salam seorang gadis, sembari meletakkan beberapa dokumen yang menunggu untuk ditandatangani.

“Terima kasih, Rosie. Panggil saja, Revan,” jawabku pelan, senyum terulas di bibirku.

Dia adalah orang ke-sekian yang kuminta untuk tak memanggilku selain dari nama yang sudah repot-repot diberikan padaku. Aku tak pernah terbiasa dengan sebutan yang seolah memastikan perbedaan kasta dalam kehidupan. Mungkin, aku berbeda dengan para pendahulu. Bahwa, menjadi lumbung harapan masyarakat tak akan pernah bisa tercapai jika kau masih saja mengenakan pakaian kebesaranmu. Aku tidak ingin dihormati karena “seragam besarku” tapi karena apa yang bisa kulakukan untuk mereka.

“Rosie, kamu mau temenin blusukan sekarang?” tanyaku pada gadis itu, tepat sebelum menekan kenop pintu untuk keluar. Aku tak mau pergi sendirian. Aku tak mau pergi dengan para penjaga. Memangnya hewan, apa.

“Baik, mas Revan, aku mau,” jawab singkat gadis berambut merah itu.

***

Aku dan dia berjalan menyusuri tiap sudut-sudut kota. Setelah berkunjung ke Kota Tua beberapa hari lalu, bertemu dengan Paman Alfred, ada yang mengganjal di pikiranku. Satu-satunya yang bisa membangun harapan negara ini adalah para pemudanya. Sosok yang membawa semangat membara untuk melakukan yang terbaik bagi negerinya, Republik Bangkit.

Pernah, beberapa hari lalu seorang wartawan asing menertawai nama republik ini. Saat itu ia sedang mewawancaraiku mengenai hasil pemilu pertama di negeri ini. Sepertinya, dia lebih tertarik menganggap nama ini sebagai sebuah lelucon daripada mencercaku dengan jutaan pertanyaan yang barangkali menguntungkan negara asalnya. Negeri ini adalah negeri filosofi. Dinamai Republik Bangkit karena para leluhurnya adalah mereka yang siap berdarah-darah demi memperjuangkan tanah ini dari sergapan para negara bodoh, yang dipikir dengan mudah bisa memerintah seenaknya sendiri. Nama negeri ini diukir dari tiap hembusan nafas terakhir para pemuda, pejuang yang ingin merdeka menjadi bagian dari takdir tanah ini.

Di salah satu sudut sempit di pinggiran kota, aku melihat sekumpulan pemuda yang sedang berjalan terhuyung-huyung, mencari tembok kumuh sebagai penyangga tubuhnya. Aku bisa mencium bau alkohol dari jarak sejauh ini. Ah, seperti ini rupanya pemuda zaman sekarang. Rosie tak nyaman berada disana, dia memberi isyarat untuk segera melanjutkan blusukan.

Di sudut lainnya, aku melihat sekumpulan pemuda berpakaian putih abu-abu membawa beberapa peralatan tajam. Bahkan, ada yang membawa beberapa galah bambu runcing, dan di seberang mereka juga ada sekumpulan pemuda berpakaian sama, juga membawa peralatan yang sama. Kalian pikir ini zaman penjajahan? Batinku.

Akupun kembali melanjutkan perjalananku. Rosie sepertinya jauh lebih tahu kota ini daripadaku. Kami bertemu dengan beberapa pemuda yang sedang bersantai di salah satu taman terindah kota ini. Tampak tangannya dengan semangat menggurat sebuah kanvas putih kosong yang kini sudah terisi berbagai macam garis yang saling menyambung menjadi sebuah desain bangunan yang indah.

Dia pasti calon pembuat gedung terhebat di negeri ini, pikirku.

Di seberang taman, kami bertemu beberapa orang pemuda yang sedang menawarkan sebuah dus cokelat, untuk diiisi oleh beberapa lembar kertas bertuliskan angka atau koin-koin sekedarnya. Mereka menembus terik matahari dengan peluh keikhlasan. Aku bisa membaca tulisan yang melekat pada dus itu, Bantuan Sosial Republik Bangkit. Harupun jatuh di wajah ini. Masih ada semangat menempel pada jiwa mereka, rupanya.

Rosie tersenyum ke arahku. Kini dia sudah berjarak beberapa meter di hadapanku. Jari telunjuk nya mengarah pada sisi kiriku. Pada sebuah gerai risoles yang banyak dikunjungi oleh para pelanggan. Bahkan, ada antrian yang cukup panjang di depan gerai itu. Aku mengajak Rosie untuk berkunjung ke tempat itu.

“Selamat pagi, Pak Presiden...,” ucap pemilik gerai ketika aku dan Rosie perlahan masuk ke dalam. Semua orang tersentak oleh kehadiranku dan mulai menunjukkan senyum bahagia mereka.

“Jangan, panggil namaku saja, Revan.” Usiaku mungkin jauh lebih muda dari pemuda ini, tunjukku pada pemilik gerai. Ya, lelaki itu masih muda walaupun sepertinya dia berjarak beberapa tahun lebih tua.

Pemuda itu mengajakku dan Rosie untuk berkunjung ke kantornya, di atas gerai itu. Ivan, nama lelaki itu. Ia menarik beberapa kursi, dan kamipun terlibat obrolan santai dengan teh hangat yang diseduhnya itu. Pemuda inilah yang masih menyimpan rapi semangat juang di jiwa nya. Bahwa, di antara harapan yang dulu pernah hilang, tak terbesit untuk menyerah, pikirnya.

Dia bercerita banyak hari ini. Terlebih, kekecewaannya pada pemimpin yang dulu. Menurutnya, orang-orang itu yang memadamkan api semangat yang selama ini terjaga kehangatannya dalam jiwa para pemuda. Tak ada kepedulian yang mereka berikan. Hanya janji mulut yang ada. Namun, memang begitu banyak wajah muram yang muncul kemudian selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tapi pemuda bernama Ivan ini tak pernah mau menyerah begitu saja. Menurutnya, walaupun keterpurukan itu ada, jika terjatuh terus tanpa mau berusaha, sama saja seperti bodoh yang tak beralasan.

Tak terasa, senja sudah mengetuk pelan jendela. Aku dan Rosie kembali ke kantor, tepat ketika senja sampai pada puncaknya di ambang langit. Banyak pelajaran hari ini. Banyak pekerjaan rumah hari ini. Mereka percaya, bahwa pada suatu hari nanti akan ada seorang pemuda yang akan membawa harapan baru di Republik Bangkit. Mereka tak berhenti memanjatkannya, hingga doa itu sampai pada langit ke-tujuh dan menjawabnya melalui aku.

“Rosie, besok umumkan pada seluruh negeri, Bahwa aku siap mengemban tugas ini. Aku tidak akan mengecewakan mereka.”

Pada akhirnya, aku sudah memutuskan siapa saja yang bisa menduduki kursi hangat di sekitarku di ruangan sakral ini. Ruangan yang hanya akan digunakan ketika pemimpin Republik Bangkit hendak memutuskan tiap harapan yang ditunggu-tunggu oleh rakyat.

Berikan aku tujuh pemuda untuk bersamaku di ruangan ini. Akan kubangun kembali semangat juang yang sudah hampir punah untuk menyertaiku bersama republik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun