Jumat malam (05/07/2016) saya mendapat teman baru di tempat gym. Teman saya tipikal ekstrovert person, sehingga dalam sekejap dia bercerita banyak hal tentang hidupnya. Sayangnya kami tidak sempat saling memperkenalkan diri satu sama lain, ketika asyik ngobrol, teman baru saya tersebut mendadak harus menyelesaikan latihannya hari itu, dan pergi terburu-buru. Obrolan singkat kami, menyisakan satu pelajaran berharga tentang konsep pernikahan.
Dari ceritanya, teman baru saya tersebut merupakan operator mesin sebuah kapal dan harus menghabiskan enam bulan perjalanan setiap kali melakukan perjalanan dengan timnya. Ketika mendapat libur dua pekan, teman baru saya yang berasal dari Aceh tersebut mengaku seperti kuda yang lepas dari kandangnya, dengan memuaskan keinginannya untuk jalan-jalan, termasuk yang sedang dia lakukan kemarin. Jauh-jauh dari tempat kerjanya di Lamongan untuk mengunjungi keluarganya di Temanggung, “Lebaran kemarin tidak sempat berkunjung”, akunya.
Saking ekstrovertnya dia, dia bercerita dilematisnya kehidupan asmaranya sebagai pelaut. Dia memang belum menikah, tapi dia sudah sangat siap dengan berbagai resikonya sebagai seorang pelaut, apalagi kalau bukan diselingkuhin pasangannya di darat. Bahkan anekdot umum sangat terkenal dikalangan mereka, “Kami dilaut digoyang ombak, istri kami di rumah digoyang orang”. Hakjleb. Satu pernyataan dia ini, masih sangat terngiang di telingaku, dan mungkin ini satu-satunya kalimat yang sangat penting dari obrolan kami malam itu. Bahkan beberapa waktu lalu saya menuliskannya pada status di akun Facebook saya, dan saya kembangkan menjadi tulisan ini di blog ini.
Mengapa saya sampai mengembangkannya di blog saya? Tentu karena disini saya bisa membagikan pandangan saya dengan lebih luas dan lugas. Pemikiran saya tidak dibatasi oleh Wall Facebook yang begitu sempit.
Berikutnya, Sabtu (06/07/2016) saya kebetulan menghadiri resepsi pernikahan dengan mengajak adik sepupu saya. Di tengah pesta pernikahan, ternyata wedding singer-nya adalah tetangga satu kampung adik sepupu saya. Dia lantas bercerita sedikit yang dia tahu, dan ajaibnya, juga tentang pelaut.
Konon, wedding singer tersebut baru saja diceraikan suaminya yang seorang pelaut, karena kebobolan hamil dengan orang lain. Terlepas benar atau salah kabar tersebut, tapi ini seperti menegaskan anekdot “Kami dilaut digoyang ombak, istri kami di rumah digoyang orang” tersebut. Itu berarti, para pelaut memang menyadari benar resiko tersebut dan sangat siap menghadapinya.
Resiko perselingkuhan ini bisa dikatakan, juga rentan dialami mereka yang berprofesi lain yang mengharuskan mereka tinggal berjauhan dengan pasangannya, seperti para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk jangka waktu tertentu. Saya belum pernah mengalaminya, tetapi bisa membayangkan betapa beratnya LDR Pascanikah dijalani. Saya menganalogikan, saya yang belum menikah saja, ingin segera menikah memiliki isteri, tetapi gitu udah punya isteri malah harus berpisah? Oush, saya tidak mengharapkan itu terjadi kepada saya.
Tapi ini bukan berarti, pasangan suami istri yang setiap hari bersama pun, tidak memiliki resiko perselingkuhan loh. Toh banyak pula yang kedapatan selingkuh padahal setiap hari selalu bersama. Hanya saja, peluang selingkuh bagi pasangan suami isteri yang tinggal berjauhan, lebih besar kemungkinannya daripada yang selalu bersama. Hal ini disebabkan banyak faktor. Dan, saya mohon kesampingkan dulu jawaban klise, “Ini bergantung masing-masing orang yang menjalaninya, ada yang setia, tetapi ada yang tidak setia”. Hidup mendampingi pasangan pascanikah sangat vital untuk menjaga keberlangsungan rumah yang bahagai. Biarkan saya memaparkannya dengan apa yang saya pahami.
Islam menganjurkan setelah menikah, suami-istri tidak tinggal berjauhan
Well, ketika saya bekerja sebagai penyiar radio, hal ini sebenarnya pernah dibahas dalam salah satu kajian siaran kami. Untuk dalilnya, silahkan pembaca browsing internet sendiri ya. Tetapi waktu itu, narasumber kami menegaskan bahwa Islam menganjurkan pasangan suami istri yang sudah menikah, untuk tidak tinggal berjauhan, yang akan memperkecil resiko-resiko permasalahan dalam rumah tangga, yang berujung pada perpisahan keduanya.
Hidup berjauhan berarti resiko perpisahan semakin besar. Memperbesar setan untuk masuk ke dalam biduk rumah tangga. Faktor-faktor penyebab perpisahan berpeluang makin tumbuh subur ketika keduanya tidak tinggal bersama. Bukan hanya masalah kesetiaan, rasa cinta yang barangkali akan luntur, tetapi juga masalah kepercayaan satu sama lain.