Meskipun hanya dianggap sebagai mesin pekerja, namun rasa sakit dan penderitaan tetaplah ada, karena sejatinya mereka memiliki hati yang sama. Perasaan saat terpisah dari keluarga karena diculik, perasaan saat disiksa dan dipaksa bekerja tanpa henti, betapa salahnya saat perasaan tersebut dianggap tiada karena mereka diperlakukan bukan sebagai manusia melainkan sekadar mesin yang kebetulan memiliki nyawa.
Tidak hanya sampai di situ saja, Oda juga memasukkan sisi-sisi gelap lain dari praktik perbudakan yang memang ada di dunia nyata, seperti adanya rumah lelang khusus untuk melelang berbagai ras manusia yang diculik—tentu saja manusia ikan merupakan barang primadona. Bahkan yang lebih menarik adalah, praktik perbudakan tersebut diketahui oleh pemerintah dunia, namun mereka menganggap seakan-akan tidak ada yang namanya bisnis jual-beli manusia.
Jangan lupa, praktik perbudakan pernah ada karena pemerintah pernah melegalkan kegiatan tersebut. Ya, bahkan terdapat beberapa Presiden AS di masa lalu yang tercatat memiliki budak kulit hitam, dengan jumlah mulai dari puluhan hingga ratusan budak.
Melalui petualangan di pulau manusia ikan inilah Oda mencoba mengajak para pembacanya untuk mengingat kembali tentang bagaimana buruknya rasialisme yang melahirkan perbudakan.Â
Meskipun begitu, bukan One Piece namanya kalau tidak ada unsur komedi yang menggelitik di setiap cerita. Isu serius tentang rasialisme dapat dibawakan dengan sangat dramatis namun tidak begitu kelam akibat kekonyolan Luffy dkk yang menjadi poros utama cerita. Dan dengan berbagai aksi pertempuran yang seru, membuat isu tersebut terasa ringan namun tidak berkurang esensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H