Sudah sewajarnya apabila Hideyoshi disebut sebagai tokoh sentral di antara ketiga tokoh tersebut, karena hanya dengan menggunakan kecerdikan otaknya dan sifat yang pantang menyerah, Hideyoshi dapat disejajarkan dengan Nobunaga dan Ieyasu, dan akhirnya menjadi sosok Taiko, penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.
Novel Taiko ini memiliki gaya penceritaan yang cenderung pelan dan tidak terburu-buru. Sosok Hideyoshi pun diceritakan sejak ia berumur enam tahun, ia hanyalah anak miskin dengan masa depan yang tidak pasti. Ia juga sering diolok-olok karena wajahnya yang mirip monyet. Hingga ia beranjak remaja, Hideyoshi merasa bahwa ia harus mengubah nasib keluarganya yang malang, dan satu-satunya cara agar keinginannya terwujud adalah dengan menjadi seorang samurai.Â
Hideyoshi sempat beganti-ganti junjungan sebelum akhirnya bertemu Nobunaga dan mengabdi padanya. Nobunaga sendiri saat itu merupakan seorang daimyou atau seorang penguasa provinsi. Setelah bertemu Nobunaga pun, Hideyoshi tidak serta-merta menjadi seorang samurai. Ia hanya dipekerjakan sebagai pelayan dan penjaga kandang kuda, namun lambat laun Nobunaga sendiri merasa ada sesuatu yang istimewa dari diri Hideyoshi, ia lalu mengangkat Hideyoshi sebagai pelayan pribadi sampai akhirnya ia berhasil menjadi seorang samurai yang ikut berperang bersama pasukan Nobunaga Oda.
Novel Bermuatan Sejarah yang Tidak Membosankan
Eiji Yoshikawa merupakan novelis Jepang yang terkenal dengan karya-karya yang berlatar sejarah. Selain Taiko, ia juga menulis buku lain yang tak kalah terkenal, seperti Musashi (1935) dan The Heike Story (1956). Selain dua judul tersebut, masih banyak buku yang lain. Saya sendiri baru sempat membaca Taiko saja, dan saya sangat suka dengan kisah yang ditulis oleh Yoshikawa ini.
Dalam ilmu sejarah pun, terkadang ada peristiwa yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Begitu banyak pendapat dari ahli sejarah yang berseberangan, tak terkecuali sejarah dari Zaman Peperangan Jepang itu sendiri.Â
Meskipun demikian, Yoshikawa nampaknya tidak terganggu oleh hal itu, entah apa yang ia lakukan dalam menggali sejarah yang ada, saya hanya merasa bahwa saat saya membaca buku ini, Yoshikawa memiliki sudut pandangnya sendiri. Lubang-lubang dalam suatu alur peristiwa sejarah yang panjang dapat ditutupi dengan imajinasi penulis dengan sangat terus terang sehingga pembaca awam seperti saya ini dapat merasa bahwa kisah tersebut terjadi apa adanya.
Melalui novel Taiko ini saya juga mendapat gambaran lain dari kisah samurai yang tidak melulu soal pertarungan berpedang sampai mati. Dalam novel ini tidak seperti itu, justru di balik kisah pertarungan para samurai yang rela mati demi junjungannya, terdapat permainan politik besar yang sangat berpengaruh pada kehidupan di masa itu. Tiga tokoh utama di dalam novel ini pun tidak diceritakan sebagai seorang petarung, melainkan politisi dengan segala strateginya menyatukan perpecahan marga-marga penguasa seantero Jepang.
Jika ada yang menyukai sejarah Jepang terutama kisah para samurai di Zaman Peperangan, novel Taiko ini menjadi buku yang sayang untuk dilewatkan karena menyajikan sisi lain dari kehidupan samurai, yaitu keadaan politik Jepang yang penuh dengan drama kesetiaan dan pengkhianatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H