Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Donat

2 Juni 2022   08:23 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:24 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jika ada pisau, pisau harus lebih dahulu kalian cuci, baru garpu-garpu, sendok, pisin-pisin, piring-piring sedang, baru piring-piring besar. Jika ada piring retak, dahulukan juga. Hidup harus pandai menyingkirkan segala yang mengandung bahaya, dan memulai tahap berikutnya dari urutan yang sederhana, yang kecil-kecil sebelum menyelesaikan hal-hal besar. Mengerti?”

“Mengertiii!”

Luar biasa, bukan, guruku yang satu itu?

Bermacam sudah pelajaran yang kami terima, dan di satu hari sampailah kami pada pelajaran paling intim buatku. Ya, ini pelajaran buatku saja, karena hanya aku yang memiliki “jari”!

Inilah pelajaran membuat donat!

Tapi ada apa dengan “jari”?

Begini. Ketika kelompok-kelompok kecil mengaduk adonan donat itu, akulah satu-satunya yang tidak punya pasangan sehingga dengan dia sendirilah aku mengaduk adonan itu. Kami mengaduk adonan di meja paling belakang, berdiri berhadap-hadapan, dan pada bagian akhir pengadukan, dia menarik jari telunjuk kananku, meluruskan jariku itu dan mengatakan “Jangan sampai lemah, harus kuat, tegak, aduk, putar! Dan…”

Saat itulah dia menciptakan lubang kecil dengan jari-jari tangannya sendiri yang menggenggam sedikit adonan. Lalu jariku yang tegang tadi ditariknya masuk ke lubang tangannya itu. Suaranya mulai memelan dan berat: “Tekan, tekan, terus, terus, tancapkan, ya, kurang, tancapkan, ya…” Suaranya bagiku sangat hot, erotis. Entah benar entah tidak kejadian ini pernah kualami, tapi aku menderitakan kegelisahan yang parah sejak itu.

Saat aku menekan jariku hingga sangat dalam, dia berkata “Ah, luar biasa memang kamu! Benar, begitu, benar sekali,” sambil ia memegang erat jariku itu, “Seperti itulah cita-citamu harus ditancapkan hingga menciptakan lubang kehidupan!” Lalu dilepaskanlah jariku itu pelan-pelan dan badanku bergetar, jantungku bergeluduk-geluduk, dan kedua lututku seakan terkena siraman air es. Ya, entah benar entah tidak, aku hanya merasa itu semua terjadi tanpa tercampur khayalanku.

Suatu hari, kakak keduaku menikah dengan perempuan Sumatra, dan orang tua kami yang mau resepsi lagi di kampung kami di Bandung, disebutnya mulung mantu. Guru tatabogaku sangat dikenal hingga ke kampungku dan ibuku ingin sekali kakakku dirias olehnya. Ibuku beruntung, guruku itu sedang tidak ada job lain.

Sore itu ia datang ke rumah kami untuk memastikan segala sesuatunya. Saat aku datang menyalaminya, dia memelukku dengan erat seakan aku adalah anaknya sendiri yang sudah lama dia titipkan di pondok pesantren. Pelukan yang penuh rasa kangen hingga wajahku tenggelam di antara payudaranya itu. (Rasanya adegan ini tidak tercampur khayalan sama sekali). Dia pun mencium-cium kepalaku tanpa rasa sungkan dilihat ibuku dan seorang laki-laki yang mengantarnya ke rumah kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun