Mohon tunggu...
Ari Prabowo
Ari Prabowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa hukum

Mahasiswa fakultas hukum universitas lampung

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kajian Kriminologi terhadap Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menengah Atas

19 Mei 2021   06:41 Diperbarui: 19 Mei 2021   06:46 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama     : Ari Prabowo 1812011188

Dosen    : Rini Fathonah, S.H.,M.H

Masa remaja merupakan masa di masa seseorang banyak sekali mengalami perubahan atau suatu masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, sehubungan dengan perubahan-perubahan tersebut para remaja akan mengalami banyak sekali permasalahan-permasalahan.

Menurut Stanley Hall masa remaja adalah masa "stress and stain" (masa kegoncangan dan kebimbangan). Akibatnya para pemuda-pemudi melakukan penolakan-penolakan pada kebiasaan di rumah, sekolah dan mengasingkan diri dari kehidupan umum, membentuk suatu geng. Mereka bersifat senitimentil, mudah tergoncang dan bingung. Mereka menganggap, bahwa dunia sudah berubah, mereka hidup dalam dunia lain. Pribadi mereka bersifat plastis.

Istilah remaja bukanlah istilah resmi, dan tidak ada pengertian konkrit mengenai remaja. Hukum positif mengenal istilah anak, sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) menyebutkan "Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin", sementara Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak pada Pasal 1 ayat (3) undang-undang a quo menyatakan "Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut sebagai anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana". 

Undang-Undang a quo mengkategorikan anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Menurut Pasal 330 KUH Perdata, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1ayat (1) menyatakan "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".

Meskipun undang-undang hanya menentukan batas usia anak dan batas usia dewasa, beberapa ahli juga menentukan batas usia remaja. M.A. Priyatno sebagaimana dikutip oleh Panut Panuju dan Ida Umami, yang membahas masalah kenakalan remaja dari agama islam menyebutkan rentangan usia 13-21 tahun sebagai remaja. Singgih Gunarsa dan Gunarsa, walaupun menyatakan bahwa ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia remaja di Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai masa remaja.

Masa remaja yang rentan terhadap pengaruh lingkungan, dapat mengakibatkan gangguan pada masa remaja dan anak-anak, yang disebut sebagai childhood disorders dan menimbulkan penderitaan emosional minor serta gangguan kejiwaan pada pelakunya, dikemudian hari bisa berkembang jadi bentuk kejahatan remaja (juvenile deliquncy) Umumnya, remaja yang rentan terhadap gangguan berusia 14 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun atau pada saat remaja tersebut berstatus sebagai pelajar pada tingkat menengah pertama maupun menegah atas.

Menurut Van Bemmelen sebagaimana yang dikutip B. Simandjuntak, kejahatan adalah tiap kelakukan yang bersifat tidak susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyaraat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakukan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Van Bemmelan melihat kejahatan dari segi kriminologi, bagi dia tidak jadi soal apakah perbuatan itu melangar ketentuan pidana. 

Menurut Van Hamel sebagaimana dikuti Eddy. O.S. Hiariej bahwa kejahatan tidak hanya suatu perbuatan pidana menurut hukum, tetapi terutama kelakuan manusia dan suatu perwujudan dalam masyarakat yang merupakan suatu hal yang tidak patut yang mengancam masyarakat; jadi perwujudan sosial patalogis.

Mengenai istilah kenakalan remaja atau kejahatan remaja, para sarjana memiliki pendapat tersendiri. Wagiati Soetedjo mengemukakan pendapat mengenai kenakalan anak bahwa: hal tersebut cenderung dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, terlalu ekstrem rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan masa menjelang kedewasaannya, sementara Yasmil Anwar Adang juga berpendapat bahwa penyimpangan terhadap norma hukum atau norma sosial yang berlaku di masyarakat yang dilakukan oleh anak tidak dikatakan sebagai kejahatan melainkan kenakalan, karena hal ini berkaitan dengan cap atau label (labeling) terhadap anak tersebut.

Apabila kita berbicara mengenai masalah kenakalan remaja, tentunya harus terlebih dahulu diketahui apa yang dimaksud dengan kenakalan remaja yang dalam hal ini, menurut Romli Atmasasmita bahwa setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang di bawah umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak.

 M. Gold dan J. Petrino memberikan definisi tentang penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) yaitu sebagai berikut, kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.

Tawuran dari sudut pasal 170 dan pasal 358 KUHP

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana cakupan Pasal 170 dan Pasal 358 KUHP berkenaan dengan peristiwa tawuran (perkelahian beramai-ramai) dan bagaimana ketentuan tentang penyertaan tindak pidana dalam kaitannya dengan Pasal 170 dan Pasal 358 KUHP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, dapat disimpulkan: 

1. Penuntutan terhadap peristiwa tawuran (perkelahian beramai-ramai) yang mengganggu ketertiban umum/meresahkan masyarakat, baik yang mengakibatkan terjadinya korban (luka, luka berat, mati, atau kerusakan barang) maupun yang tidak mengakibatkan korban, lebih tepat dikenakan Pasal 170 KUHP.  Jika tawuran menimbulkan korban luka berat atau mati barulah dapat dituntut berdasarkan Pasal 358 KUHP. 2. Peristiwa tawuran pada umumnya melibatkan cukup banyak orang sehingga akan selalu dikaitkan dengan ketentuan tentang penyertaan melakukan tindak pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun