Mohon tunggu...
Ario Rafni Kusairi
Ario Rafni Kusairi Mohon Tunggu... Supir - Manusia

Kaum Rebahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Ngaco dengan Sejarah

7 Juli 2022   20:04 Diperbarui: 7 Juli 2022   20:10 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prasasti sebagai salah satu contoh sumber sejarah, sumber: sidesisetiowati.blogspot.com

Akhir-akhir ini ada sebuah berita yang membuat heboh jagat dunia maya, sebuah klaim konyol dari seorang public figure. Dia mengklaim bahwa salah satu pahlawan nasional Indonesia, yang wajahnya pernah menghiasi uang lembar pecahan Rp. 1000,- adalah seorang muslim, bahkan memimpin pesantren yang santrinya diajak berjuang merengkuh kemerdekaan. 

You know lah siapa pahlawan tersebut, dialah Thomas Matulessy yang lebih familiar dengan sebutan Kapitan Pattimura.

Public figur tersebut juga mengatakan jika nama asli Pattimura dalah Ahmad Lusi, bukan Thomas Matulessy. Dugaan ini tentu dibantah oleh keturuan Pattimura, yang mengatakan jika identitas kakek buyut mereka tidak seperti yang diklaim oleh public figur itu, dan menegaskan jika Pattimura adalah penganut Katholik sejak lahir hingga akhir.

Satu lagi, jika pembaca adalah generasi 90-an, atau minimal lahir di tahun 2000, mungkin pembaca tahu sebuah serial bergenre legenda dari daratan china yang mengisahkan seorang Bhiksu yang mengembara ke barat untuk mendapatkan kitab suci, bhiksu itu memiliki dua murit, yang keduanya berfisik bagai kera dan babi, sisanya hanya manusia biasa meski juga memiliki kesaktian.

Yap, tepat sekali serial ini di Indonesia berjudul Kera Sakti, yang mana judulnya diambil dari tokoh utama, yaitu murid bhiksu tadi yang berfisik kera, Sun Go Kong namanya, Raja Kera dari Gua Shuilien.

Apa hubungannya artikel ini dengan Sun Go Kong? Tentu ada, karena dari Guru Go Kong, yakni Bhiksu Tong San Chong juga diklaim sebagai seorang ulama'. Wtf Bro!

Silahkan googling sendiri, Saya jamin muncul di teratas!

Fenomena ngaco dalam membahas sejarah ini sudah sering terjadi, salah satunya adalah klaim Gajah Mada adalah seorang muslim dengan nama asli Gaj Ahmada, Buddha Gautama adalah seorang Nabi, dan Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman, dan Nabi Sulaiman berasal dari Sleman. Mantep Cuy.

Tulisan ini adalah respon dari pembahasan ngaco yang kembali booming ini, sebuah tulisan sebagai bentuk perlawanan terhadap orang-orang yang dengan seenak jidat merubah sejarah. Dan di tulisan ini, tidak akan mengungkap fakta sejarah, namun akan mengungkap proses dalam sebuah penelitian sejarah yang tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, di BAB 6 yang membahas tentang penelitian sejarah, Kuntowijoyo (1943-2005) memaparkan lima tahap dalam proses penelitian sejarah, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) heuristik (pengumpulan sumber), (3) verifikasi (kritik sejarah/keabsahan sumber, (4) interpretasi (analisis data) dan (5) historiografi (penulisan sejarah). Aduh apaan tuh? Tenang, akan dijelaskan dengan singkat.

Oh ya, siapa Kuntowijoyo? Beliau, adalah Guru Besar bidang sejarah di Universitas Gajah Mada, yang bukunya menjadi rujukan wajib para mahasiswa sejarah yang tengah melakukan penelitian, seperti penulis yang lagi garap skripsi. (semangat para pejuang skripsi)

Ok, kali ini akan dijelaskan secara singkat tentang tahapan-tahapan dalam penelitian sejarah, yang Kita mulai dari pemilihan topik. Pemilihan topik adalah tahapan pertama dari semua kepenulisan, jenis apapun itu. Untuk penelitian sejarah, kita ambil contoh ingin menulis biografi seorang tokoh, anggap saja Beliau adalah Kiai Salam, seorang tokoh agama di Desa Konoha.

Kenapa memilih Kiai Salam? Karena beliaulah orang yang mengubah desa ini menjadi desa agamis yang sebelumnya menjadi tempat maksiat.

Kedua, peneliti mencari sumber sejarah, sumbernya apa saja? Bisa berupa dokumen, naskah, artefak, dan sumber lisan untuk diwawancarai. Sumber ini terbagi menjadi dua, yakni sumber utama dan pendukung, sumber utama harus sumber yang berasal dari satu zaman dengan topik penelitian. 

Contohnya, buku catatan Kiai Salam, dokumen pribadi Kiai Salam seperti KTP mungkin, untuk sumber lisan harus se zaman pula, seperti keluarga, teman, murid. Sumber pendukung, adalah sumber yang berasal dari mana saja asal berhubungan dengan topik pembahasan.

Prasasti sebagai salah satu contoh sumber sejarah, sumber: sidesisetiowati.blogspot.com
Prasasti sebagai salah satu contoh sumber sejarah, sumber: sidesisetiowati.blogspot.com

Ketiga, interpretasi atau kritik. Dalam tahapan ini, peneliti melakukan keaslian atau kesesuaian sumber, contohnya peneliti menemukan sebuah sebuah catatan yang berisi informasi tentang Kiai Salam, tapi catatan tersebut masih bagus, dan terlihat baru, setelah dilakukan pengecekan lebih dalam, ternyata catatan itu ditulis setelah Kiai Salam wafat, maka sumber ini tidak bisa dijadikan rujukan.

 Contoh kedua adalah sumber lisan, ada orang yang mengaku sebagai seorang santri Kiai Salam, dan memberikan informasi-informasi terkait Kiai Salam, tapi setelah diteliti lebih dalam, orang itu bukan santri, tapi hanya orang yang sering bertamu, dan rekam jejak orang itu tidak baik. Maka sumber ini tidak bisa dipakai sebagai rujukan.

Keempat, interpretasi. Tahap keempat ini lumayan gampang, kenapa? Karena peneliti tinggal menyesuaikan tahapan waktu dan peristiwa dari sumber yang sudah melewati tahapan verifikasi. Dan terakhir adalah historiografi, menulis hasil penelitian sesuai dengan urutan waktu.

Bagi sebagian peneliti, tahapan paling susah itu di tahap kedua, yakni pengumpulan sumber. Seperti yang dijelaskan tadi, sumber sejarah itu harus dari sumber yang se zaman, karena sumber sezaman memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Kendala para peneliti dalam mencari sumber sezaman itu dua, sedikit dan tidak ada, dan bagaimana kalau tidak ada? 

Maka penelitian tidak bisa dilanjutkan. Dan, banyak mahasiswa yang mengganti judul penelitiannya karena tidak dapat menemukan sumber yang sezaman. Dan ada beberapa zaman yang sudah tidak diberi lampu hijau untuk diteliti, seperti zaman Pra Kolonial ke belakang. Kenapa? Alasannya sangat jelas, selain semuanya sudah ditulis, sumbernya pun sudah tidak ada.

Jika kembali ke kasus Ahmad Lusi dan Syaikh Tong Sam Chong? Apakah klaim ini sudah sesuai dengan metode penelitian sejarah? Yang dalam prosesnya, sumber primer menjadi nyawa.

Ada kok sumbernya, ada di sini di sana. Nah, kalau ada, tolong publikasikan agar klaim ini tidak mengada-ngada. Tapi apakah memang ada? Nothing!

Ok, teman-teman. Mungkin ini saja tulisan kali ini, semoga bermanfaat dan salam literasi.

Jika ada mahasiswa sejarah yang sedang menggarap skripsi membaca tulisan ini, penulis ucapkan, semangat bestie!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun