Penguntit misterius. Itu adalah julukan untuk orang yang terus menatapku dengan mata yang penuh aura jahat saat ini. Aku berpura-pura meniadakan kehadirannya dan berbaur dengan banyak orang. Dia terus mengikutiku sejak di stasiun sebelumnya. Sial, hanya tersisa aku di stasiun ini. Aku pergi ke toilet untuk memikirkan rencana dengan tenang. Pria itu masih mengikutiku. Aku tetap berusaha tenang dan menyelinap keluar dengan perlahan.Â
Aku berhasil keluar. Awalnya dia hanya berjalan lambat. Kukira dia telah menyadari bahwa aku merasa diikuti. Padahal aku berhasil menjauh dari stasiun itu. Lalu, aku tidak memiliki tempat untuk kabur lagi. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap ada seseorang yang bisa menolong ku dari kejaran orang tersebut.Â
Saat kusipitkan kedua mataku, dari kejauhan kulihat terdapat sebuah kedai yang masih buka. Aku berlari ke arah kedai itu. Sesekali aku menoleh, namun tidak kujumpai pria itu mengejarku. Karena ketakutanku, aku tetap menuju ke kedai itu.
Saat kaki kananku akan masuk ke kedai itu tiba-tiba tangannya merangkul pinggulku. Aku berteriak sekeras mungkin sembari berharap seseorang dari dalam kedai keluar menolongku. Tak lama kemudian ada seorang pria keluar dari kedai itu.Â
Dia cukup tampan, perawakannya pun lumayan. Hal itu membuatku lupa bahwa aku sedang dalam bahaya. Namun pria itu dengan cepat memahami kondisi, tanpa basa-basi dia mengayunkan tangannya ke arah pria yang dari tadi mengejarku.
Pukulannya mengenai lehernya, aku terkejut. Dengan perawakannya yang tidak lebih besar dari pria yang mengejarku, dia menumbangkannya dengan sekali pukul.
Kami berbincang, ya. Pria yang menolongku itu adalah pemilik kedai. Dia meneruskan kedai yang diwariskan oleh ayahnya. Dia bahkan memberiku makanan dan minuman secara cuma-cuma. Aku tidak tahu dengan apa harus kubayar hal ini, bukan untuk makanan dan minumannya. Akan tetapi jasanya yang telah menyelamatkanku.
Dia berkata bahwa tidak mudah untuk menjadi wanita karir, terlebih yang harus pulang larut malam setiap harinya. Meskipun dia telah menyelamatkanku aku tetap berhati-hati dalam memberikan informasi pribadiku. Dia pun dengan cepat juga menyadari hal tersebut dan mulai mengganti topik pembicaraan.
Seingatku, waktu menunjukkan pukul 01.30 AM AWST. Ya, aku harus kejar-kejaran dengan pria yang pingsan itu selama 30 menit. Aku juga ketinggalan kereta. Meskipun begitu, aku bukanlah wanita yang tidak tahu diri dan tidak tahu cara membalas budi. Aku meninggalkan beberapa dolar di samping makanan yang telah aku habiskan dan pergi.
Pada awalnya, kupikir menjadi wanita karir di Indonesia dan di Australia itu sama saja. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Aku tidak tahu mengapa aku harus mengalami kemalangan ini. Ini adalah peristiwa yang pertama kali ku alami selama hidupku.Â
Kupikir ini berhubungan. Suara-suara yang kudengar saat malam hari di apartemen. Seseorang yang berlari dalam bayang-bayang. Aku berasumsi bahwa itu adalah orang yang sama dengan orang yang mengejarku baru saja. Pemilik kedai itu mengatakan aku harus pindah tempat kerja dan kota.Â
Dia khawatir, bahwa mungkin saja dia adalah bagian suatu kelompok berbahaya yang menghilang beberapa tahun lalu. Mereka pasti tidak akan diam saja dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Pekerjaan yang kudapatkan mungkin adalah keberuntungan sekali dalam hidupku. Kebanyakkan seorang wanita lulusan sekolah menengah akhir (SMA) hanya bisa di dapur, daripada bisa bekerja di luar negeri dan memiliki gaji 5 kali lipat dari lulusan sarjana dalam negeri.
Kucoba untuk merubah rute ku, dan akan kuajukan juga shift kerja yang baru. Di keesokkan harinya, aku tidak mengetahui bagaimana teman kantorku mengetahui peristiwa yang ku alami semalam. Barangkali hari ini, dini hari tepatnya. Seorang teman kantor menghampiriku, dia memberiku selembar kertas. Ku perhatikan kertas itu dengan baik. Setelah kuamati, kertas itu berisi foto dan pesan ancaman yang ditujukan untukku.Â
Aku mulai memikirkan kembali, tentang apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu. Tanpa berpikir panjang, selepas kerja ku hampiri kedai itu. Setibanya di kedai itu, kulihat banyak polisi berjaga di sana. Aku menanyakan kepada polisi, tentang apa yang sebenarnya terjadi di sana. Aku juga menanyakan tentang pemilik kedai itu.Â
Dari penjelasan yang kudapatkan dari polisi. Pemilik kedai itu bertarung dengan 10 orang, dia menewaskan 4 diantaranya. Sekarang dia dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan 6 lainnya dibuat babak belur oleh pemilik kedai itu.
Aku menjadi semakin penasaran dengan latar belakangnya. Mulai dengan membuat pingsan si penguntit misterius sekali pukul, berkelahi dengan 10 orang, dan dia masih hidup. Siapa sebenarnya pemilik kedai itu?
Aku menceritakan kisah itu di media sosial. Tidak ada seorangpun yang mempercayaiku. Bahwasanya mereka yang tidak mempercayaiku, kemungkinan bagian dari orang yang mengejarku pada dini hari itu. Aku percaya semua akan baik-baik saja.
Tidak lama kemudian ponselku berdering. Kulihat dengan seksama, nomor itu tidak ada dalam daftar kontakku. Aku mencoba berbaik sangka, bahwa itu berasal dari pemilik kedai dan mengangkatnya.Â
Dugaanku benar, panggilan itu berasal dari pemilik kedai itu. Dia yang sedang berada di rumah sakit dan bisa mengetahui nomorku. Pikiranku benar, dia bukan orang biasa. Dia berpesan singkat, isinya adalah tidak memperbolehkanku meninggalkan kota ini. Lalu sambungan terputus. Apa yang harus kulakukan saat ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H