Mohon tunggu...
Ario Aldi L
Ario Aldi L Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Menulis ketika senggang, semakin banyak belajar semakin tidak tau apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Komplek

11 Juni 2022   13:15 Diperbarui: 28 Juni 2022   00:37 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Pixabay

Mungkin saja hari ini dapat pulang lebih cepat, gumulnya dalam hati. Setelah ini pasti abang tukang bakso lewat dengan gerobaknya yang khas.

Semoga saja abang jual es juga lewat, jadi aku tidak perlu repot-repot mengelilingi komplek untuk memuaskan perutku yang makin hari tidak karuan bentuknya.

Sesuai perkiraannya kedua hal yang diharapkannya hadir di tempat semestinya.

Baca juga: Rumah Komplek

"Bang, bakso biasanya"

Ia melangkahkan kakinya.

"Bang esnya ya!"

Ia bawa kedua makanan tersebut kerumah kediamannya. Ia tinggal sendirian disana. Ia memutuskan untuk membeli tempat tinggal dengan alasan agar bisa mandiri secepatnya. Ia memiliki beberapa adik dan seorang kakak. Tiap bulannya, uang dari gaji ia sisihkan untuk membantu biaya pendidikan adik-adiknya.

Di kediamannya tidak ada yang mengenalnya karena rumah tersebut dibelinya dengan harga miring. Bukan karena bangunannya sudah tua, melainkan banyak kejadian tidak mengenakkan menimpa setiap penghuni yang menempati tempat tersebut. Hanya saja ia memikirkan hal lain dan tetap membeli rumah tersebut.

Baca juga: Fia Kaum Moderat

Tetangga rumahnya jarang sekali berada di tempat. Ia mulai terbiasa dengan suasana di komplek. Para penjual juga nampaknya tidak melihat hal-hal seperti apa yang diperbincangkan kebanyakkan orang soal rumah itu.

Ya mungkin saja hari ini sedang terjadi kebakaran. Maksudnya pemadaman karena perbaikan. Tidak ada abang penjual makanan di tempat biasanya. Ia berbesar hati, dan melangkahkan kakinya menuju kediamannya. Ia memasak makanan dari kulkas, pembelian dari bulan lalu.

Saat ia tiba di dapur, bebunyian terjadi. Ia mencoba menghampiri asal bebunyian itu berasal. Ternyata hanya seekor kucing yang masuk entah dari mana. Ia mencoba mengelus kucing itu. Tiba-tiba saja kucing itu menunjukkan cakarnya. Seperti ingin meloncatkan cakar-cakarnya, ia pun dengan cepat mengibaskan tangannya.

Kucing itu tidak sadarkan diri. Karena merasa bersalah, keesokkan harinya ia mulai memelihara kucing itu. Usut punya usut. Kucing itu adalah peliharaan dari komplek seberang yang ditinggal pemiliknya ke luar negeri selama beberapa bulan.

Kembali pada kehidupan biasanya. Ia semakin terbiasa, dengan lingkungan tempat ia tinggal. Sesekali dalam beberapa bulan keluarganya mendatangi kediamannya.

"Ini memangnya kamu saja yang menghuni tempat seluas ini?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Tau gini semuanya disini saja!"

"Memangnya kenapa?"

"Kasian kamu sendirian terus disini"

"Toh ya yang penting bisa istirahat seusai pulang kerja"

"Kalau itu alasannya mending dijual saja"

"Baru aja beli masa mau dijual"

"Daripada kamu sendirian"

"Mending gini, jarak dari kantor juga dekat aku memang suka kayak gini"

"Kamu ini jangan macem-macem, ibuk ini sudah dapat banyak masukkan. Kalau rumah dulunya itu angker. Waktu ibuk masuk aja udah ada benarnya saja omongan orang-orang"

"Ibuk ini gimana, masa hari gini masih percaya katanya?"

"Yaudah kalau kamu tetap ngeyel kayak gini"

Ia terus saja bergumul, di rumah seperti ini masa angker?

Tidak lama kemudian ia menoleh ke belakang.

"Ibuk?"

Ia mencari-cari dimana orang tuanya berada.

Ia menelusuri lorong-lorong rumah. Dari ujung ke ujung. Dari ruangan ke ruangan lainnya. Namun ia tetap saja tidak dapat menemui ibunya. Ia berhenti dan menangis di tempatnya. Tak lama kemudian bunyi perut kelaparan dari peliharaannya yang sambil mengeong meminta makan.

Ia memberi kucingnya makanan yang belum ia tanyakan pada pemiliknya. Apa benar ia diizinkan untuk memeliharanya.

Karena di daerah tersebut memang tidak ada bedanya dengan perumahan lainnya. Hanya saja kebanyakkan dari penghuni di sana adalah pendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun