Mohon tunggu...
Ari Aprilis
Ari Aprilis Mohon Tunggu... Perencana Keuangan - Aparatur Sipil Negara

Seorang ASN Perencana yang bertugas di perbatasan negara Pulau Natuna.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemerintah Legalkan Kembali Ekspor Pasir Laut, Benarkah?

13 Juni 2023   14:33 Diperbarui: 14 Juni 2023   15:42 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Milik Pribadi

Oleh : Ari Aprilis,S.Pi

(Anggota Ikatan Sarjana Ilmu Kelautan Indonesia)

Sedimen jadi komoditas Ekonomi

Saat ini sedang hangat perbincangan dikalangan aktifis dan akademisi lingkungan khususnya  mereka para pakar disektor  lingkungan pesisir dan kelautan.  Tentu yang jadi topik perbicangan adalah substansi dari kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Dalam diskusi yang digelar Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO), yang menghadirkan narasumber dari berbagai unsur akademisi dan lingkunan menilai terbitnya kebijakan PP 26/2023 ini cendrung bersifat politis. Pemerintah sebagai policy maker dinilai minim melakukan ruang diskusi yang melibatkan para ahli dalam merumuskan kebijakan ini. Hal ini terlihat dari adanya beberapa dari isi PP 26/2023 yang jadi ruang perdebatan dalam sebuah diskursus. Artinya bawah banyak point point penting yang seharusnya menjadi arah dari kebijakan ini justru masih belum terlihat dan masih penuh tanda tanya dan menjadi perdebatan diberbagai kalangan.

Diantara yang menjadi pertanyaan banyak kalangan terkait isi dari PP 26 tahun 2023 ini adalah perihal pemanfaatan hasil sedimentasi laut. Hasil sedimentasi laut yang dapat dimanfaatkan adalah berupa pasir laut dan atau material sediman berupa lumpur. Disini terlihat adanya legal standing untuk penambangan pasir laut yang berasal dari sedimen.

Kemudian yang juga dipertanyakan berbagai pihak adalah terkait peruntukkan pasir laut. Dalam peraturan ini disebutkan akan dipergunakan untuk reklamasai dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Sederhananya adalah apabila kebutuhan dalam negeri terpenuhi maka ekspor pasir laut di bolehkan. Publik menilai ini sebagai celah untuk melegalkan penambangan dan ekspor pasir laut.

Betul memang dari Peraturan Pemerintah ini akan ada turunannya dalam bentuk Peraturan Menteri. Namun setikdanya jika konsep dari PP 26/2023 ini matang kita bisa lihat arah fokus pengelolaan, mekanisme pengelolaan serta wilayah yang akan jadi lokus pengelolaan harusnya sudah tergambar. Namun justru sebaliknya, fokus dari kebijakan ini sulit dibedakan, apakah hanya berfokus pada pengelolaan sedimentasi pasir laut atau penambangan pasir laut.

Misal lokasi wilayah yang akan menjadi titk pemanfaatan hasil sediemntasi laut itu dimana, seberapa besar kebutuhan reklamasi dalam negeri, dan berapa sebaran wilayah yang sudah mengalami tingkat sedimentasi tinggi, sehingga pemerintah merasa perlu diangkat dan dimanfaatkan melalui kegiatan pertambangan. Data data seperti ini harusnya disampaikan sebalum menerbitkan kebijakan. Sehingga kebijakan tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut itu benar dibutuhkan dan bermanfaatkan bagi lingkungan.

Akibat minimnya ruang diskusi publik dalam perumusan kebijakan ini, justru yang terlihat dari PP 26/2023 ini adalah menjadikan sedimen sebagai komoditi ekonomi. Ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, menjadi legal standing dalam eksploitasi pasir laut yang berdalih pengambilan hasil sediemntasi laut.

Salahsatu studi kasus di daerah Kepualan Bangka Belitung yaitu terjadi pendangkalan pada alur pelayaran. Dan bahkan menurut informasinya akibat dari pendangkalan alur pelayaran, menelan korban jiwa akibat terjadinya arus bawah laut pada sedimen yang  menggulung salah seorang nelayan dan berakibat cidera fisik.

Kasus diatas merupakan salah satu bentuk perlunya pengerukan alur dengan cara pengambilan sedimen dan memanfaatkan hasil sedimen berupa pasir dan lumpur . Dalam situasi seperti itu ada kalanya pendangkalan akibat sedimentasi ini perlu dilakukan pemanfataan dan pengelolaan dalam rangka normalisasi kembali ruang laut dan ekosistemnya. Nah konsep seperti ini yang mesti kita dukung. Dimana titik wilayah yang betul betul dibutuhkan pengelolaan sedimen mesti jelas dan didukung data akurat.

Sedimen tidak selamanya berakibat buruk bagi lingkungan. Disis lain penumpukkan sedimen ini juga dapat memberikan dampak positif bagi ekosistem. Ada dibeberapa daerah yang mengalami sedimentasi justru menumbuhkan ekosistem baru seperti mangrove. Karena sedimen ini tinggi subsrat dan subur,sehingga memudahkan organisme baru. Kondisi seperti ini tentu tidak mungkin kita lakukan penambangan sedimen, justru harus dijaga agar ekosistem tetap berlangsung. 

Pengelolaan Sedimentasi vs Penambangan Pasir Laut

Menurut salah satu  akadeimis sedimentologi dari Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Unversitas Riau, bahwa sedimen itu sendiri tidak memberikan dampak buruk bagi ekosistem karena ia bersifat mengendap.  Yang dapat memberikan dampak buruk bagi ekosistem itu adalah sedimentasi atau resedimentasi. Kita harus membedakan antara sedimen dan sedimentasi. Sedimen itu adalah endapan dari partikel yang berasal dari sumbernya yang terbawa oleh aliran dan arus . Dan sedimen itu bisa berupa pasir, lumpur, dan subsrat jenis lainnya. Justru yang berpengaruh terhadap lingkungan itu adalah sedimentasinya atau proses terbentuknya sedimen yang berakibat terjadinya degradasi ekosistem diwilayah pesisir.

Persoalan yang muncul saat ini adalah ketika pendangkalan wilayah akibat sedimentasi dan akan dilakukan pengambilan kembali untuk dimanfaatkan secara besar besaran, maka akan menyebabkan yang namanya resedimentasi, inilah yang memberikan dampak bagi lingkungan. Jadi yang perlu kita minimalisir adalah proses sedimentasinya. Jika tingkat sedimentasi disutau wilayah itu satu centi meter per tahun, maka apabila dilakukan pengerukan satu meter, dibutuhkan waktu 100 tahun untuk mengembalikan kekondisi semula. Oleh karenya untuk memperbaiki kualitas lingkungan yang sudah tereksploitasi butuh waktu yang panjang.

Menurut Profesor Agung yang merupakan seorang akademisi menyampaikan didalam sebuah forum diskusi ISKINDO, bahwa pandangan masyarakat dalam hal kebijakan ini adalah pengelolaan sedimen sama dengan penambangan pasir dimana komposisi sedimen yang juga terdiri dari pasir, bisa lumpur, bisa kerikil dsb. Sehingga memang kebijakan baru pemerintah ini ada potensi rawan penyelewengan dalam aktifitas pengelolaan sedimen, terutama dalam bentuk penambangan pasir atau mineral lainnya yang berkedok penambangan sedimen.

Oleh karena itu sangat diperlukan pengawasan ketat serta pemetaan dan zonasi sedimen yang akan dilakukan pengelolaan. Karena sejatinya subtansi daalam PP ini jika kita lihat adalah bagaimana potensi sedimentasi yang ada diwilayah perairan kita untuk dilakukan pemanfaatan dan pengolahan yang bernilai ekonomi. Jadi Pemerintah melirik sedimen ini sebagai komoditi ekonomi baru bagi Negara

Pemerintah dalam menerbitkan kebijakan ini kesannya  hanya untuk kepentingan tertentu. Publik menduga naiknya permintaan ekspor pasir dan tingginya harga pasir laut saat ini menjadi asbab pemerintah melirik hasil sedimentasi laut sebagai komoditi ekonomi.  Dan kita tahu salah satu negera impor pasir terbersar adalah Singapura yang diekspor melalui Negara tentangganya termasuk Indonesia. Dikutip dari CNN Indonesia1) , bahwa Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara 1997 hingga 2002.

Untuk menjawab kekhawatiran publik, pemerintah harus bisa menjelaskan secara utuh dan jelas kepada masyarakat fokus dari kebijakan pengelolaan sedimen ini seperti apa. Dan publik masih sangat menunggu peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah ini. Sebelum kebijakan implementasi dalam bentuk peraturan menteri dikeluarkan, maka diharapkan pemerintah membuka ruang diskusi selebar lebarnya, untuk menerima masukan dari para akademisi, peneliti dan pengamat lingkungan. Sehingga fokus dan arah pengelolaan sedimentasi ini jelas dan tidak menambah bebean ekosistem wilayah pesisir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun