Mohon tunggu...
Dimas Wibisono
Dimas Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Akademisi di salah satu universitas di Riyadh, Arab Saudi

Lahir, membesar dan sekolah di Yogyakarta. Sampai kini masih belajar sambil mengajar di lingkungan pendidikan tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pulang Kampung Paling Bingung

19 Desember 2020   12:09 Diperbarui: 19 Desember 2020   12:12 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontrak kerja saya di Arab Saudi akhirnya habis dan tidak dapat diperpanjang (lebih tepatnya universitas tempat saya bekerja tidak mau memperpanjang kontrak) karena faktor usia (diatas 60 tahun). Jadi saya harus segera pulang ke tanah air. 

Kurun waktunya sekitar merebaknya virus Covid-19. Yang jadi masalah: 1) setengah gaji saya selama 3 tahun belum dibayar dan 2) tidak ada pesawat komersial terbang antara Arab Saudi (Riyadh atau Jeddah) dan Indonesia (Jakarta). Sementara kalau harus bertahan di Arab Saudi hingga beberapa bulan sambil menunggu gaji dibayar penuh dan ketersediaan pesawat biayanya sangat mahal, terutama karena sudah tidak bekerja lagi.

Institusi di Arab Saudi ternyata sama sekali tidak mau bertanggung-jawab atas keterlambatan pembayaran gaji saya. Saya dibiarkan menunggu tanpa kepastian sampai 3 tahun bahkan lebih. Terakhir mereka berjanji akan membayar lunas 2 minggu setelah saya selesai 'clearance'. Buktinya sampai saya menulis artikel ini, 3 bulan setelah saya sampai di Indonesia, belum ada penyelesaian. 

Jelas sangat tidak 'fair' ketika saya harus membuat 'clearance' (menyelesaikan urusan administrasi dan lain-lain), tapi mereka tidak mau menyelesaikan urusan gaji saya. Tapi saya tidak punya pilihan, sisa gaji dibayar atau tidak saya dan keluarga tetap harus pulang ke tanah air. Persoalan selanjutnya bagaimana caranya pulang kampung, karena semua penerbangan komersial antar negara dibekukan akibat merebaknya virus Covid-19, sampai batas waktu yang belum diketahui.

Bulan Juni 2020 sama sekali tidak ada pesawat komersial menerbangi rute Riyadh-Jakarta atau sebaliknya. Kalau kita intip jadwal penerbangan Saudia atau Oman Air misalnya (langganan saya selama tinggal di Saudi), kosong. Awal Juli ada beberapa perusahaan penerbangan (Etihad, Emirates, dll) mengeluarkan jadwal terbang Riyadh-Jakarta pp. Tapi biasanya seminggu sebelum hari H jadwal itu lenyap. 

Artinya rencana terbang batal, begitu seterusnya. Teman saya sekeluarga yang akan bermigrasi ke Kanada, sudah membeli tiket salah satu maskapai negara Timur Tengah dan telah membayar lunas, jadwal terbangnya ditunda sampai 5 kali dan masih belum jelas apakah akan terbang pada hari yang dijanjikan. 

Akhirnya tiket itu dibatalkan, proses pengembalian uangnya paling cepat 2 bulan (bayangkan bagaimana kesalnya). Syukurlah, akhirnya mereka berhasil keluar dari Saudi menuju Kanada dengan pesawat Lufthansa, meskipun harus memperpanjang kontrak sewa apartemen sebulan lebih.

Saya sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada pesawat komersial terjadwal yang bisa diandalkan untuk pulang ke Indonesia. Satu-satunya jalan harus ikut 'penerbangan repatriasi', biasanya menggunakan pesawat charter, dan ongkosnya pasti lebih tinggi. Saya pun mulai mencari info tentang Saudia, Garuda dan Lion Air yang melayani penerbangan repatriasi antara Riyadh-Jakarta atau Jeddah-Jakarta. Hanya ada beberapa penerbangan, rata-rata seminggu sekali, dan hampir semuanya sudah penuh. 

Kami harus mendaftar melalui whatsapp, kemudian membayar lunas, namun statusnya masih 'waiting list' dan tidak dapat dibatalkan. Kepastian berangkat bisa diberikan 2 hari sebelumnya, atau kurang, bisa dari Riyadh atau Jeddah yang terpisah jarak 1000 km. 

Sementara itu dalam kondisi negara sedang 'lockdown' perjalanan antar kota perlu ijin khusus yang juga perlu waktu untuk mengurusnya. Perlu diingat juga bahwa semua bus antar kota berhenti beroperasi, sehingga harus ada teman yang siap mengantar ke airport di Riyadh atau Jeddah. Bisa dibayangkan betapa repotnya kami untuk urusan pulang kampung kali ini.

Antara Saudia dan Garuda ada beberapa perbedaan prosedur yang membuat kami menjatuhkan pilihan ke Garuda. Pertama soal test swab (PCR), Saudia minta laporan hasil test PCR sebelum terbang, sedang Garuda tidak (test PCR dilaksanakan di Jakarta). Kedua, harga tiket Saudia lebih mahal (SAR3800 per orang) dibandingkan dengan Garuda (SAR2800). Sekedar catatan, harga tiket pesawat Riyadh-Jakarta pergi-pulang pada kondisi normal antara 2000-3000 riyal. 

Tentang test PCR itu pun ada kendala tersendiri, karena prosedurnya cukup rumit bagi kami pendatang yang tidak faham Bahasa Arab. Belum lagi nanti kalau laporannya dalam Bahasa Arab tidak akan diakui sesampainya di Jakarta. Sebetulnya ada juga test PCR yang prosedurnya sederhana, laporan dalam Bahasa Inggris, tapi biayanya selangit (SAR1200 = hampir 5 juta rupiah per orang). Yang jelas kami tak sanggup membayarnya.

Saya segera menyelesaikan urusan 'clearance' dan 'final exit' untuk isteri dan anak, kemudian mencari tiket secepatnya. Kami berhasil mendapatkan tempat untuk penerbangan ke Jakarta pada 10 September 2020 dari Riyadh. Sebelum berangkat kami harus mengemas barang-barang untuk dikirim ke kampung halaman menggunakan kapal laut (yang biayanya lebih murah), tidak mungkin ditenteng semua karena banyak sekali dan berat. 

Seminggu terakhir di Riyadh kami sangat sibuk dengan berbagai urusan dan rasanya sangat capek. Tapi alhamdulillah tetap sehat dan gembira karena masih bisa pulang dalam kondisi pandemi global yang cukup mengkhawatirkan.

Teorinya kita harus disiplin menjaga jarak (social distancing) untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Tapi dalam kenyataan tidak mungkin dilaksanakan. Bayangkan, kapasitas pesawat 391 penumpang dan terisi penuh. Begitu pun di bandara Riyadh, tempat duduk di ruang tunggu tidak cukup kalau jarak antar penumpang harus dijaga. 

Praktis sejak dari ruang tunggu bandara sampai naik pesawat dan mendarat di Jakarta, paling sedikit 13-14 jam lamanya (karena harus transit di Banda Aceh) kami semua duduk berdekatan (tanpa jarak) seperti kondisi normal sebelum ada pandemi. 

Ya, kami semua hanya bisa pasrah seandainya ada diantara penumpang yang tanpa sengaja 'membawa' virus Covid-19 dan diantara kami mungkin akan ada yang ikut terpapar. Apa boleh buat. Yang penting bisa sampai ke kampung halaman, daripada terlantar di negeri orang, tanpa pekerjaan, dan tentu saja tanpa gaji, entah sampai kapan.

Akhirnya perasaan kami lega (sebagian) begitu pesawat benar-benar mengangkasa pukul 00:50 waktu Saudi pada Kamis 10 September 2020. Setengahnya terus terang kami masih berdebar-debar menghadapi test swab (PCR) di Jakarta nanti (bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun