Di Jakarta belum lama ini diperkenalkan sistem ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement), terjemahan bebasnya; penegakan aturan lalu-lintas secara electronik.
Contohnya kalau ada yang melanggar batas kecepatan maksimum atau menerobos lampu merah, maka otomatis terambil gambarnya oleh kamera pemantau. Kemudian pemilik kendaraan akan didenda. Di banyak negara lain sistem itu sudah lama dipakai.Â
Mobil saya pernah tertangkap kamera seperti ini di Malaysia, karena istri saya ngebut 30 km/jam di atas batas kecepatan maksimum.Â
Beberapa hari kemudian saya menerima surat denda, lengkap dengan foto yang jelas menunjukkan posisi mobil di (nama jalan), kilometer sekian. pada tanggal, bulan, tahun, dan jam saat kejadian, termasuk kecepatan mobil pada saat itu. Plat nomor mobil pun terbaca sangat jelas, sehingga kita tidak mungkin mengelak lagi.
Di Saudi sistem ini sudah mulai diterapkan mungkin sejak setahun terakhir ini. Dalam perjalanan umrah antara Riyadh-Makkah saya banyak melihat kamera pemantau tersebar di beberapa tempat. Di sini batas kecepatan maksimum 140 km/jam, tapi masih saja banyak mobil yang melaju melebihi batas kecepatan itu.Â
Sesekali saya melihat lampu kilat kamera menyala, pertanda ada yang tertangkap basah melanggar batas kecepatan maksimum. Saya sendiri selalu mengemudi dengan kecapatan konstan antara 100-120 km/jam supaya aman. Maklum dendanya lumayan berat.
Antara awal Juni sampai dengan akhir Agustus 2019 (hampir 3 bulan) kami cuti pulang kampung ke Indonesia. Mobil di Saudi saya titip ke teman supaya bisa dihidupkan mesinnya setiap beberapa hari sekali agar battery tetap berfungsi.Â
Paling jauh teman saya itu bawa mobil ke Carrefour untuk berbelanja, tidak lebih. Karena sebenarnya beliau juga punya mobil sendiri, untuk perjalanan jauh tentu akan lebih percaya diri kalau membawa mobil sendiri.
Di Saudi ini layanan bank, imigrasi, kepemilikan kendaraan, dan lain-lain, saling terhubung dengan jaringan telepon dan internet. Beberapa hari yang lalu ada sms masuk dari MOI (Ministry of Interior = Kementerian Dalam Negeri), memberitahukan kalau masa berlaku iqama (surat izin tinggal di Arab Saudi) saya tinggal sebulan lagi.Â
Sebelum mengajukan perpanjangan iqama saya harus membayar dulu 500 riyal melalui sistem online. Tapi proses ini ditolak karena ternyata ada denda pelanggaran lalu-lintas yang belum diselesaikan.
Saya merasa tidak pernah melanggar aturan lalu-lintas, kalaupun ada seharusnya ada sms masuk ke nomor hp saya terkait pelanggaran itu. Karena penasaran, saya check di website MOI, Ternyata memang ada tercatat satu pelanggaran, lokasinya di Dammam, 400 km dari Riyadh, pada 27 Juli 2019.Â
Pada tanggal itu saya masih di Indonesia, dan ketika saya tanyakan ke teman saya, dia tidak pernah membawa mobil saya ke Dammam. Jadi pasti itu bukan mobil saya (salah tangkap). Sayang tidak ada fotonya untuk membuktikan alibi saya.
Kata teman saya yang orang Arab, saya bisa melihat foto pelanggaran itu tapi harus datang ke kantor polisi lalu-lintas di Nasiriyah, sekitar 20 km dari tempat tinggal saya. Apa boleh buat, saya pun menyempatkan datang ke Nasiriyah, berangkat dari kantor sehabis shalat dhuhur (khusus pulang awal untuk urusan ini).Â
Ketika sampai di depan loket, foto mobil saya di lokasi pelanggaran tidak bisa ditampilkan karena TKP (tempat kejadian perkara) ada di Dammam, bukan di Riyadh.Â
Kemudian saya diminta datang ke Gedung 3 yang mungkin bisa melayani keperluan saya. Sayangnya pada saat itu Gedung 3 sudah tutup. Maklum kantor-kantor di Saudi hanya buka sampai jam jam 2 siang.
Saya belum punya waktu untuk datang ke Nasiriyah lagi. Lalu saya curhat ke teman yang kebetulan punya saudara yang bekerja sebagai polisi di Riyadh.Â
Saudaranya ini bisa membantu cek foto kasus mobil saya. Ternyata memang benar, yang tertangkap gambarnya di Dammam itu bukan mobil saya. Mungkin nomornya mirip atau kurang jelas sehingga komputer atau petugasnya salah baca, jatuhlah tilangnya ke mobil saya.Â
Pak Polisi itu membantu saya membuat pengaduan (banding) supaya catatan pelanggaran bisa dihapus, tapi prosesnya perlu waktu kira-kira dua minggu. Sementara itu saya harus segera mengurus perpanjangan iqama, khawatir kalau terlambat urusannya menjadi rumit.Â
Iseng-iseng saya tanya, kalau denda yang 500 riyal (hampir dua juta rupiah) itu saya bayar dulu bagaimana, apakah nanti bisa dikembalikan uangnya kalau permohonan banding disetujui.Â
Sayang sekali jawabannya tidak mungkin uangnya kembali, jadinya saya merasa tersandera. Hanya bisa berharap catatan pelanggaran dihapus sebelum batas waktu untuk perpanjangan iqama habis.
Begitulah, sistem ETLE atau petugas yang salah, kita yang harus menanggung akibatnya. Saya sudah 'jadi korban tilang salah alamat'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H