Apa yang membuat orang kehilangan arah? Salah satunya karena memudarnya harapan. Rasa kecewa, patah hati, kegagalan yang berulang membuat orang menjadi patah semangat. Hilang harapan. Segalanya terasa hampa. Tak ada tujuan hidup. Seperti itulah kehidupan Elizabeth Gilbert penulis buku Eat, Pray, and Love di masa kelamnya bertahun-tahun silam.
Gilbert pernah mengalami patah hati yang teramat sangat. Menjadikan ia kehilangan semangat. Trauma karena percintaan yang gagal dan kehilangan orang yang dicintai teramat menyakitkan, bukan? Perlahan-lahan, monster ini menggerus mimpi-mimpi, membilah sayatan yang dalam dan menggores pilu di hati.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Gilbert memutuskan untuk melakukan perjalanan di 3 negara, salah satunya Indonesia. “This is a good sign, having a broken heart. It means we have tried for something,” tulis Gilbert dalam bukunya. Healing, menemukan orang-orang atau kisah-kisah menarik dalam perjalanan, barangkali bisa menyembuhkan luka, depresi, dan trauma.
Di Italia, Gilbert tak bisa melupakan kulinernya yang membuat lidahnya berdecak. Di India, Gilbert mendapat pencerahan dan menemukan ketenangan batin. Di Bali, Gilbert bertemu Ketut Liyer, seorang guru spiritual yang bertutur mengenai keseimbangan jiwa, sugesti positif, dan harmoni kehidupan. Gilbert pun belajar meditasi dari sang guru. Dari perjalanan, secercah harapan merekah, menyemai energi positif yang meruah.
Traveling is healing. Dalam artikelnya yang berjudul “Elizabeth Gilbert’s Life Changing Story From Indonesia (That You Haven’t heard)," Gilbert menuliskan kisahnya saat bertandang di pulau terpencil yang letaknya di sebelah timur Bali.
Di sana Gilbert menyewa rumah bambu dan menikmati hari-harinya berjalan kaki di sebuah desa nelayan pada pagi dan sore hari. Gilbert menemukan keramahan penduduk di sana meskipun mereka tak bisa berkomunikasi dengan Bahasa Inggris.
Suatu ketika Gilbert jatuh sakit. Di rumah bambunya Gilbert merasakan kesendirian dan kehampaan. Namun semua itu sirna ketika seorang istri nelayan datang mengetuk pintu, memberikan Gilbert obat dan makanan. Perempuan itu tak bisa berbahasa Inggris memang, tapi dia mendekap Gilbert dan memberikan kehangatan. Dari sini Gilbert menemukan ketulusan. Dan ketulusan itu menyembuhkan.
Sekali lagi, traveling is healing. Dari kisah Elizabeth Gilbert saya menemukan konsep Wellness Tourism di mana kita melakukan perjalanan tidak hanya untuk mendapatkan pengalaman baru, tetapi juga memulihkan jiwa dan raga.
Setiap orang pasti pernah mengalami patah hati dan kegagalan. Jika saya menjadi Gilbert saya akan melakukan hal yang sama, melakukan healing sekaligus menentukan sebuah perjalanan. Mencari surga yang tersembunyi dan bertualangan. Sesekali menggalau seharian di tepi pantai, menangis, terisak, berteriak. Lalu keesokan harinya menikmati aroma ikan bakar, menyaksikan anak-anak tertawa lepas berkejaran di sepanjang bibir pantai. Lusa dan hari-hari selanjutnya memacu adrenalin dengan paralayang, mendaki perbukitan, menjelajah hutan, atau melakukan diving sembari menyaksikan keindahan terumbu karang.
Pertanyaannya, selain Bali, di manakah kita bisa menemukan surga yang indah itu? Jawabannya jatuh pada Likupang.