"Sial! Kenapa dia datang saat aku berpenampilan seperti babu begini?" batinku.
Pria itu keluar dari mobilnya, kemudian menghampiriku yang berdiri terpaku di depan pintu dapur. Diulurkannya tangan kanan untuk menyalamiku.
"Ehm ..." Pria tampan yang berdiri di depanku ini tampak kikuk karena salamnya tak mendapat respon. Ah, akting santaiku gagal. Aku justru mematung karena terpukau dengan penampilannya kini.
"Gimana kabarmu?" tanyanya selang beberapa lama. Bertahun-tahun tak bertemu membuat hubungan kami agak kaku.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja." jawabku.
"Kamu nggak mempersilakan aku duduk?" tanyanya.
Belum sempat kujawab, ibu muncul sambil menenteng plastik berisi bawang merah.
"Siapa, Nduk?" tanyanya. Tapi pertanyaan itu tidak perlu kujawab karena ibu segera menyadari sosok tampan di depannya.
"Ya Allah, Nak... Apa kabar? Ayo, ayo, masuk!"
Aku heran. Tadi, ibu menyebut pria ini pengamen dengan intonasi tinggi. Tapi kini, ibu malah terlihat paling bahagia dibanding kami.
"Itu tadi mobilmu, Nak?" tanya ibu setelah mempersilakan Bono -nama pria itu- duduk.