Mohon tunggu...
arini salmarafifah
arini salmarafifah Mohon Tunggu... Diplomat - mahasiswa

enjoy the moment

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penegakan Hukum Laut terhadap Illegal Fishing

3 November 2019   16:15 Diperbarui: 3 November 2019   16:20 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Laut beserta isinya adalah suatu hal yang sangat vital untuk bangsa Indonesia. Total jurisdiksi nasional Indonesia, diperkirakan seluas hampir 7,8 juta km2 yang terdiri dari 1,9 juta km2 luas daratan, 2,8 juta km2 luas perairan nusantara (archipelagic waters), 0,3 juta km2 luas perairan territorial laut dan 2,7 juta km2 luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Luas perairan dan sumberdaya yang berada didalamnya dapat memberikan implikasi positif bagi perekonomian Indonesia.

Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negera yang kaya akan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi, baik yang sumberdaya alam yang terbarukan (renewable resources) maupun yang tidak dapat terbarukan (un-renewable resources), Potensi ekonomi yang sangat besar yang terkandung di perairan laut dan pesisir Indonesia, antara lain berupa perikanan, baik tangkap maupun budidaya, industri bioteknologi laut, industri pertambangan laut yaitu minyak bumi, mineral dan energi; parawisata laut, perhubungan laut dan sumberdaya laut lainnya.

Namun sayangnya keunggulan kompetitif tersebut belum dapat dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Seperti halnya negaranegara berkembang lainnya di dunia, Indonesia juga masih menghadapi kendala dalam pengelolaan, konservasi dan perlindungan kawasan laut beserta ekosistem dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.

Menurut H.Supriadi dan Alimuddin, produk perikanan tangkap di Indonesia pada Tahun 2007 adalah 4.924.430 ton.1 Meningkatnya eksploitasi hasil perikanan, menyebabkan para nelayan maupun perusahaan perikanan dalam melakukan proses eksploitasi sering terjadi persaingan yang tidak saja dilakukan secara legal, namun terkadang jugadilakukan secara ilegal. Salah satu bentuk tindakan eksploitasi hasil perikanan yang ilegal yaitu penggunaan bahan peledak atau yang dikenal dengan istilah "bom ikan" dalam menangkap. Penggunaan bahan peledak atau Bom ikan  untuk menangkap pada prinsipnya merupakan suatu tindak pidana yang bertentangan dengan   Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

 Akibat dari tindakan pemboman ikan juga dapat merusak kehidupan ekosistem laut sehingga menghambat upaya konservasi dan perlindungan lingkungan laut termasuk perlindungan perikanan daerah. Menurut Muhamad Erwin, pencemaran pantai, sedimen yang tebal akibat penebangan hutan di hulu, penangkapan ikan dengan racun dan bom, penggalian batu karang, dan penangkapan ikan yang berlebihan di beberapa tempat juga mengancam keanekaragaman hayati pantai dan laut Indonesia yang tidak ada tandingnya di dunia.2 Maka penegakan terhadap pelaku pemboman ikan merupakan suatu hal  yang  sangat  mendesak.

Hampir semua praktek penangkapan secara illegal yang terjadi di Indonesia sebagian besar dilakukan di Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini sejalan dengan pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas pencurian ikan. Ketidakjelasan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan menimbulkan penafsiran yang berbeda pada hakim dalam menangani perkara. Konsekuensi meratifikasi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) menghasilkan tanggung jawab baru bagi pemerintah untuk menerapkan aturan yang ada didalam UNCLOS 1982 menjadi hukum nasional yang berlaku di Indonesia

. Termasuk ketentuan penegakan hukum terhadap kapal penangkap ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif. Tipe penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Larangan penjatuhan hukuman badan terhadap Nahkoda atau Kepala Kamar Mesin kapal berbendera asing tidak boleh dikenai hukuman badan tapi dijatuhi hukuman denda.

Ketentuan ini menimbulkan permasalahan baru, yaitu, syarat-syarat yang menyatakan denda harus dibayar, tidak dipatuhi. Hal ini menyebabkan kerugian baru bagi negara. Dalam prakteknya, terdapat perbedaan penerapan pemidanaan oleh hakim dengan dasar pertimbangan demi keadilan dan kepastian hukum.

Tinjauan Tindak Pidana Pencurian Ikan di Wilayah ZEEI menurut UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 

Undang-undang perikanan sebagai payung hukum masalah perikanan di Indonesia tentunya membahas mengenai persoalan pencurian ikan yang terjadi di Indonesia. Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diperhatikan bahwa undang-undang ini memiliki ruang lingkup yang membatasi pemberlakuannya. Ruang lingkup tersebut diatur dalam Pasal 4. Dalam rangka melakukan pengelolaan perikanan, negara pantai wajib tunduk terhadap UNCLOS 1982, khususnya bila negara yang bersangkutan telah meratifikasi UNCLOS 1982 ke dalam perundang-undangan nasionalnya. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 ke dalam bentuk UndangUndang Nomor 17 Tahun 1958, tentu harus memperhatikan substansi dari UNCLOS 1982 dalam membentuk perundang-undangan nasionalnya yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan. Salah satu contoh perwujudan ditaatinya ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 adalah dengan menyelaraskan ketentuan pidana yang ada di dalam undang-undang perikanan agar berkesesuaian dengan ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Pada dasarnya, tindak pidana perikanan dapat terjadi karena beberapa hal, yakni:

 (1) Penggunaan metode dan teknologi produktif yang destruktif;

(2) Kejahatan penggunaan teknologi;

(3) Kejahatan dalam hal perizinan usaha dan izin penangkapan ikan (SIUP dan SIPI);

(4) Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan;

(5) Perusakan lingkungan perikanan;

(6) Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan; dan

(7) Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.

            Sanksi Pidana bagi Warganegara Asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah ZEEI

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum di ZEE, pidana yang dijatuhkan pada pelaku pencurian ikan di ZEE merupakan pidana denda, yang notabenenya merupakan pidana yang dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, seperti pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda memiliki kemiripan dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata, hanya saja kedudukan antara keduanya yang berbeda. Pada pidana denda, uang dibayarkan kepada negara atau masyarakat. Mengacu pada penegakan hukum perikanan di ZEE, UNCLOS 1982 pada Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa:

"Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini".

Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa walaupun ZEE bersifat sui generis, negara pantai tetap memiliki kewenangan untuk memberlakukan peraturan perundang-undangannya terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara asing di wilayah ZEE-nya,22 akan tetapi, pada Pasal 73 ayat (3) UNCLOS 1982, menyatakan bahwa warga negara asing yang melakukan pelanggaran di wilayah ZEE suatu negara tidak boleh diberikan hukuman badan. Pasal tersebut berbunyi:

"Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negaranegara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya."

Substansi dari peraturan di atas bertolak belakang dengan Pasal 93 ayat (2) undang-undang perikanan yang menyatakan bahwa warga negara asing yang melakukan pelanggaran di wilayah ZEEI harus dipenjara paling lama 6 (enam) tahun dan didenda maksimal sejumlah Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Adapun pasal tersebut berbunyi:

"Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

" Walaupun demikian, pernyataan pasal ini dibantah secara tegas oleh Pasal 102 yang menyatakan bahwa pidana penjara tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana di wilayah ZEE melainkan sudah ada perjanjian terlebih dahulu dengan negara bersangkutan. Adapun pasal tersebut berbunyi:

 "Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan."

Oleh karena itu, warga negara asing yang melakukan tindak pidana di wilayah ZEEI hanya dapat dikenai denda maksimal Rp. 20.000.000.000.

Namun, tindakan menggantikan pidana denda dengan pidana kurungan tentu menciderai amanat yang telah diberikan dalam UNCLOS 1982, khususnya Republik Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nation Convention on The Law of The Sea.

Pidana Denda bagi Pelaku WNA yang mencuri ikan di ZEEI

Mengacu pada Pasal 102 undang-undang perikanan, tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh warga negara asing di wilayah ZEEI dalam undang-undang perikanan pada dasarnya tidak boleh dikenai pidana kurungan apapun karena apabila menelaah kembali pada UNCLOS 1982, pelaku hanya dapat diberikan pidana denda. Ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Perikanan yang mengecualikan penerapan pidana badan bagi warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat pengupayaan yang terdapat di dalam pasal tersebut mengutamakan pidana denda dan melarang hukuman badan.

Kesimpulan 

Dalam melakukan penegakan hukum terkait tindak pidana pencurian ikan di wilayah ZEEI, pelaku tindak pidana pencurian ikan di wilayah ZEEI pada dasarnya tidak dapat membayarkan denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Oleh karena itu, hakim dapat mengacu pada aturan Pasal 30 KUHP yang menyatakan bahwa pidana denda dapat digantikan dengan pidana kurungan. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan nestapa pada pelaku. Selain itu, pemberlakuan pidana kurungan juga mewujudkan bentuk penegakan kedaulatan negara oleh pemerintah. Untuk mewujudkan sanksi yang sistematis, Indonesia harus menegaskan perjanjian yang telah dibuatnya dengan negara lain perihal kewajiban pengelolaan perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun