Meninggal nya nabi Muhammad menimbulkan kevakuman pemimpin yang hamper tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin Negara (sebagai pemimpin Negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang nabi,pembuat undang-undang,guru spiritual dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.
Dalam bahasa Arab kuno, terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil pelaksana. Jadi makna ini menunjukan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk melaksanakan sesuatu.Â
Dari kata dasar pengganti atau wakil atau pembantu inilah khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman serta Ali akhirnya menyandang gelar sebagai khalifah al Rasyidin yang mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melaksanakan tugas sebagai pengganti Nabi Muhammad menjadi kepala Negara Madinah al Munawwaroh dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Baca juga : Sistem Manajemen Khulafaur Rasyidin
Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Abu Bakar Al Shidiq: Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at tamimi. Pada zaman sebelum Islam, ia bernama Abdul Ka'bah, kemudian oleh Nabi diganti dengan Abdullah.Â
Ia mempunyai julukan Abu Bakar (pelopor pagi hari) sehingga nama ini yang banyak digunakan, karena ia menjadi pelopor masuk islam saat masyarakat Makkah masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama tentang peristiwa Isra' Mi'raj.
Masa kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama 2 tahun,11-13 H (632-634 M0,diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin umat Islam sebagai khalifah rasulillah,yaitu menggantikan Rasul melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan agama dan kepemimpinan pemerintahan.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. Ada dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar, yaitu:
- Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam ekspansi ini (thn 634 M),pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah,sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di Persia.
- Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil.
- Ketika pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian Damascus,Baalbek,Homs,Hama,Yerussalem,Mesir dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia,Senin 23 Agustus 634 M, setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11 hari, Abu Bakar mengedepankan aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan, sehingga secara internal kondisi pemerintahnnya stabil.
Baca juga : Menghidupkan Semangat "Khulafaur Rasyidin" dalam Kehidupan Masa Kini
Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari 'Adi, salah satu suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun dari Rasulullah di Makkah.Â
Umar dibesarkan dalam lingkungan yang meskipun kecil dan tidak kaya, tapi menonjol di bidang ilmu,karena itu kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dalam suku Quraisy.
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun,dari tahun 13-23 H (634-644 M). Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang paling populer selama pemerintahan Umar.Â
Langkah ini harus dilakukan karena pasukan Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan Abu Bakar penyatuan antara kedua aspek dakwah,nomad dan suka berperang dari pasukan Islam,akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan dengan cepat dapat menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.Â
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan pasukan Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia disebabkan pula oleh ;Â
(1). Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara militer telah lemah akibat peperangan di antara mereka,atau perang melawan pasukan Islam sebelumnya.Â
(2). Perilaku kedua kerajaan ini terhadap rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan Islam bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.
Baca juga : Khulafaur Rasyidin Bukanlah Pengganti Kenabian Rasulullah
Langkah politik kedua  mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya digunakan untuk menjalankan penaklukan dan untuk membentengi wilayah yang telah ditundukkan.
Langkah politik ketiga adalah pasukan islam tidak diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama Islam.
Langkah politik keempat didasari oleh keberhasilan meluaskan jajahan yang membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta,baik rampasan,upeti,pajak dan lainnya.Â
Untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan,maka dalam pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga dan dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara), pengadilan dan pengangkatan hakim,jawatan pajak,penjara,jawatan kepolisian juga membuat aturan pembagian gaji kepada tentara dan tentara cadangan,pemberian gaji kepada guru-guru,muadzin dan imam,pembebanan bea cukai,pemungutan pajak atas kuda yang diperdagangkan,pungutan pajak atas orang-orang kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.
Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan Nepotisme
Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah. Beliau berasal dari bani Umayyah, walaupun tidak dimaksudkan dalam dinasti Umayyah yang berkuasa setelah khalifah Ali. Beliau lahir di Makkah dari trah bangsawan Makkah yang sangat dihormat, dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M), merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa pemerintahan Usman terbagi atas dua periode,yaitu : 6 tahun pertama merupakan pemerintahan yang baik,dan 6 tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang dilakukan Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan,dimana hasil rampasan, serta pajak dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara serta kesejahteraan umat Islam.
 Langkah politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan pemerintah dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan juru hitung safawi.Â
Langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk menata administrasi kenegaraan karena makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin banyak pegawai dan pasukan yang mendapat gaji,bahkan pendapatan negara ia bagi-bagikan untuk kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-daerah pendudukan yang jumlahnya semakin meningkat.Â
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi penting dalam pemerintahan Usman,dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah menjadi titik kelemahan.
Ali bin Abi Thalib
Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad dan menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Beliau merupakan sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah masuk Islam dan mengakui risalah.Â
Sebagai anak Abu Thalib yang secara materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang berakhlak mulia dan terhormat,telah membentuk Ali mempunyai watak yang lebih mementingkan aspek spiritual sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih bnerkosentrasi pada perjuangan menegakkan Islam,keagamaan dan keilmuan tanpa menoleh sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661 M). Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya,hal ini disebabkan karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk dewan formatur untuk memilih khalifah.
Menurut Munawir Syadzali,setelah pembunuhan Usman,kota Madinah dalam kondisi yang sepi dan kosong karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru ditaklukkan diperparah oleh tidak amannya kota,sehingga keamanan dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari.Â
Sedikit para sahabat yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali,seperti Sa'ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn Umar. Mu'awiyah Amr ibn 'Ash serta Aisyah menganggap tidak sah dengan pembai'atan Ali sebagai khalifah karena tidak semua ahli al halli wa al aqdi hadir saat pembai'atannya.
Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan di antara kaum Muslim,namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan Mu'awiyah membuat kedudukan Mu'awiyah sejajar dengan khalifah Ali dan menyulut pertikaian baru,dengan munculnya kelompok khawarij,orang-orang yang keluar dari barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim,bahkan berusaha membunuh Ali dan Mu'awiyah,karena keduanya tidak berhukum pada hukum Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H