_
Tiga orang anak membuntut di belakang ibu itu, aku mau menamai sang ibu Masnah Wati. Sejujurnya aku teringat nama ibunya temanku, tapi tidak apalah semoga temanku itu tidak tahu. Bisa gawat aku. Tiga anak tadi riuh kembali membongkar-bongkar keranjang belanjaan ibunya, atau tantenya, tapi aku mendapati Bu Masnah Wati menua, dan sepertinya, anak-anak itu adalah cucunya.
Oh sial aku menebak-nebak, membuatku semakin lapar, lututku gemetar.
Barang yang pertama kuambil alih kendalinya adalah selusin deodorant sachet, menyatu dalam plastik bening tak kuning. Dapat ditebak, barang-barang yang ia beli sekarang peredarannya tidak akan dihentikan, akan mau saja itu belanjaan dia salurkan kepada orang-orang, para tetangga, piri titinggi, warga setempat, wirgi sitimpit, asalkan, ya asalkan, uang yang mereka tukarkan memenuhi nominal yang dia syaratkan.
Bu Masnah Wati tidak hanya berbelanja bersama cucu-cucunya, di belakangku, waktu kuambil serentet sabun cair aroma bawang putih, ada seorang ibu-ibu---kalau boleh kutebak--- lebih tua tujuh tahun dari Bu Masnah Wati berdiri menunggu. Di muka pintu keluar keranjang belanjaan.Â
Dia diam saja, tidak sedang mengantri, tidak juga mengusulkan Bu Masnah Wati tentang oren jus warna apa yang mau mereka ambil sebagai bonus karena telah membeli tujuh buah oren jus warna oren. Bu Masnah wati juga tidak mengajak berdiskusi, dia langsung meminta salah seorang cucunya cepat mengambilkan oren jus bonus.
Menunggu anak tadi, kupikir aku mulai tidak sadarkan diri. Sebelumnya, tidak pernah aku separah ini. Selain sarapan kurang, agaknya, payahnya hari ini disponsori oleh pertandingan sepakbola yang kutonton hingga larut semalam. Asalnya karena sampai wasit meniup pluit panjang, aku tidak menyaksikan sebuah gol di pertandingan itu.Â
Jadi ketika ada pertandingan klub sepak bola lain, di channellain, di belahan dunia yang lain, tidak ragu kutonton kotak televisiku. Aku kebelet berselebrasi. Jam setengah empat baru kudapati sebuah gol bunuh diri mengguncangku. Aku senang, tapi tidak tenang. Besok hari kerja.
Tapi sekarang tenang saja, masih tergapai olehku belanjaan Bu Masnah Wati. Ini yang terakhir, tiga buah agar-agar lima ribuan untuk ketiga cucunya. Nah selesai. Plastik besar-besar siap dibawa pergi Bu Masnah wati dan keluarga. Dia membayar belanjaannya dengan uang banyak, aku mengembalikan sisanya, tidak sebanyak yang ia berikan tadi.
Ketiga cucu Bu Masnah Wati tergopoh-gopoh kebagian masing-masing plastik belanjaan. Sedang seorang ibu yang dari tadi berdiri di belakangku malah bergeming sama sekali. Dia santai-santai saja membiarkan adiknya---Bu Masnah wati kesusahan begitu.
Bu Masnah Wati lenyap dari ekor mata. Ibu itu masih di sini. Waduh aku salah sangka, dia bukan kakak-adiknya Bu Masnah Wati. Posisi Bu Masnah Wati tadi disubtitusi dengan bapak-bapak necis berkumis. Yang ia beli hanya sebungkus peniti merk beauty. Aku bernapas lega. Kantuk dan lapar menyerangku tiada kasihan, rasanya aku semakin tidak sadar.