Mohon tunggu...
Fitri Arini
Fitri Arini Mohon Tunggu... Freelancer - Amor Fati

Job seeker, part time writer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepucuk Dunia untuk Gi

1 Juli 2020   17:38 Diperbarui: 1 Juli 2020   17:40 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by Pinterest

 Malam itu, menjelang pagi. Aku masih teguh tinggal di sini, di tempat yang sama seperti waktu itu. Waktu dimana tangan ini lepas dari genggaman yang menyamankan, tubuh ini lepas dari pelukan yang menghangatkan, dan seluruh kesepian ini, berasal dari raga dan seluruh isinya yang telah ditiadakan dari sebuah ingatan seseorang.

Girindra, bagi semesta, tak butuh waktu lama untuk mengubah alur cerita di dalamnya, sedangkan kita sebagai salah satu tokohnya, hanya berperan sebagai boneka dengan narasi yang tak terduga. Aku, adalah salah satu tokoh di antara sekian banyak cerita cinta dalam semesta, yang sudah benar-benar jatuh cinta dengan peranku sendiri, dengan semua yang direncanakan semesta, semenjak bertemu denganmu beberapa waktu silam.

Pertemuan tidak akan pernah sederhana Gi, jika kita hanya bertemu selayaknya dua orang asing yang sedang secara sengaja dipertemukan semesta di tempat dan waktu yang sama, berpapasan, dan bertatapan mata beberapa detik, atau malah tidak sadar sama sekali, kemudian saling melupakan. Sayangnya, cerita itu tidak berlaku bagi kita, pertemuan di kedai kopi sudut kota itu, hanya kebetulan yang tak bisa dihindari oleh kita, mampu mempertemukan kita dalam pertemuan yang tak sederhana.

Di meja nomor lima, seorang pria yang sama asingnya seperti pria-pria lain yang tak kukenal, duduk seorang diri sambil membaca sebuah buku, sesekali tangan kanannya mengaduk-aduk cangkir kopi di hadapannya. Entahlah, bukannya apa-apa, tapi sepertinya semesta membiarkan aku menikmati melakukan hal yang membuang-buang waktu ini, ya, mengamati seseorang yang sama sekali belum pernah kukenal sebelumnya. 

Tak ada yang istimewa, dia hanya seorang pria, yang terlihat sedang tenggelam di dalam dunianya sendiri, ya, aku bisa merasakannya, dia sangat asyik dengan apa yang dia lakukan, seolah dia sedang berada di lautan yang tenang, dan membiarkan tubuhnya ditenggelamkan oleh airnya, dan dia menikmatinya, pun aku. Ah, aneh sekali memang, tidak pernah aku sepeduli ini terhadap orang asing, mungkin memang aku terlalu lelah dengan pekerjaan menulisku dan deadline yang membuatku stres karena otakku seakan tumpul tiba-tiba. Kau tahu? Bagi seorang penulis, sepertinya harus ada teori abstrak yang mengaitkan ketumpulan otak secara tiba-tiba dengan isi pena. 

Hmm, ya, semakin tumpul dan habis ide dalam otakku, penaku seperti gagu, ia seperti kehabisan tinta, tak ada kalimat, kata, bahkan abjad yang sudi mengeluarkan diri dengan ikhlas dari penaku.

Dua jam berlalu dan aku hanya menyibukkan diri dengan memandangi pria itu dan mengabaikan sesuatu yang lebih penting di depanku, ah, aku kacau. Dua jam, ya, waktu yang cukup lama untuk dihabiskan hanya membaca buku di tempat umum tanpa peduli sekeliling. Seperti yang tetap dilakukan oleh pria itu.

Beberapa scene saat kita pertama kali bertemu dan aku menyadari keberadaanmu, tiba-tiba berputar di ingatanku Gi, seperti yang kukatakan tadi, semesta tidak akan kesulitan membolak-balikkan keadaan, kenyataan, dan yang senyata-nyatanya harus dijalani. Waktu yang bekerjasama dengan baik, telah membuatku mengenalmu, pria yang duduk di meja nomor lima itu, waktu telah berhasil membuat pria itu menjadi salah satu alasanku yang tepat untuk menertawai kesepian, sehingga tawa dan suka cita hampir tak pernah absen di hari-hariku yang tiba-tiba menjadi pelangi.

Girindra Anantyo, nama yang tak cukup sulit untuk diabadikan memori otakku, semesta memang telah merencanakan cerita ini, itulah sebabnya pada pertemuan pertama, ia membuat pandanganku tak lepas dari sosokmu, ia memberiku rasa penasaran, dan secara tidak langsung menyuruh naluriku untuk mencari tahu, siapakah kau.

Gi, izinkan memori otakku memutar waktu sedikit mundur ke belakang, sepertinya ia memang tahu baik caranya untuk mengenang. Sedangkan aku sebagai media yang menanggung kesedihannya. Gi, harusnya aku meminta pertanggung jawaban semesta, yang telah menambahkanmu dalam salah satu dari hal-hal penting yang harus aku jaga dalam hidupku. 

Tapi bagaimana jika semesta juga yang menjauhkanmu dariku? Apa aku harus protes? Aku tidak tahu Gi, yang aku tahu hanya aku sudah terlalu dalam, terjatuh dalam duniamu, dunia yang yang dulu kaunikmati seenaknya sendiri, aku telah terseret lautanmu yang tenang, dan membiarkanku menikmati tenggelam bersamamu. Aku merasakan keasyikan itu Gi, dan aku harap waktu tidak akan menyudahi semua itu.

Gi, kau tahu? Penaku sudah tidak gagu lagi saat itu, mungkin sampai sekarang juga, hanya saja bedanya, ia menuliskan dua hal yang berbeda. Dulu, ia gemar menuliskan warna-warni dunia yang penuh dengan gulali dan kembang gula, tapi sekarang yang ada hanya tulisan tentang sebuah tempat yang gelap, sunyi, dan dingin, hanya ada ayunan tua yang dibiarkan sendiri dinikmati olehku. Satu hal lagi yang kupelajari, tidak hanya rasa senang yang bisa membuatnya lancar menulis Gi, tapi juga rasa kedukaan yang amat dalam, mampu membuat kalimat-kalimat ini diam-diam menangisimu.

Waktu juga yang telah (berpura-pura) menguatkanku, sampai hari ini, aku masih kesulitan mengeluarkanmu dari kepalaku, sedangkan aku sudah lama pergi dari kepalamu. Sampai sekarang aku masih tak habis pikir, bagaimana bisa kau dengan mudah menggantikan pelukan ini dengan tubuh yang lain, dan genggaman ini dengan tangan yang lain.

Ah, semesta memang telah lama merencanakannya, lalu aku bisa apa? Mana ada pemeran yang protes kepada sutradaranya karena tidak ingin ceritanya habis dan digantikan pemeran yang lain? Cerita tetap saja cerita, ia memiliki episode yang berapapun banyaknya, pasti akan menemui ujung kisahnya, hanya saja ia akan berakhir dengan tertawa atau menangis, kita tidak tahu. Aku akan menjadi sangat egois jika aku hanya berpikir tentang peranku, mungkin ibaratnya, kau dan aku sama-sama mengorbit, namun peranmu lebih digemari oleh semesta, sehingga peranku akan redup, mati, dan digantikan dengan yang lebih menggembirakan semesta. Ini tentang keterkaitan seluruh hati yang mendiami mayapada, tinggal di jagad, bukan hanya tentang aku, aku, dan aku yang mencintaimu.

Mungkin, cerita tentang hanya aku dan kau, hanya akan ada di duniaku sendiri Gi, di dalam tulisanku ini, yang berasal dari kedukaan sebuah pena yang tak henti menuliskan mengenai segala yang tak pernah bisa didefinisikan akal pikiran. Sebab kau, hanya bisa didefinisikan degup-degup yang mendiami dada kiriku, dan denyut-denyut yang mengalir di sela nadiku. Kau akan tetap jadi pemeran utama, walaupun bukan aku yang mendampingimu.

Tertanda :

Risia Talita Diba

Nb: Nama dan alur cerita hanya fiktif, jika terdapat kesamaan maka merupakan hal yang tidak disengaja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun