Sebelum memulai menulis, saya akan menggunakan istilah Gestapu daripada G30S/PKI. Mengapa? Tidak ada alasan khusus apalagi alasan politik. Tidak! Saya memilih istilah Gestapu karena lebih mudah diketik saja. Oke clear, ya?
Baik saya mulai remeh-temeh kali ini.
Kisah di balik pengganyangan PKI pasca Gestapu masih selalu menyimpan banyak pertanyaan. Pertanyaan siapa dalang di balik tragedi genosida ini masih belum menemukan jawaban yang kuat. Meskipun serangkaian kesaksian dari para ahli telah menunjukkan keterbukaan sejarah yang menjawab kegelisahan tersebut.
Menurut sejarah versi ORBA, partai terbesar ketiga di dunia itu telah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Indonesia. Sehingga harus dibubarkan dengan pemberangusan hingga ke akar-akarnya--sampai rakyat di bawah yang tidak tahu-menahu urusan politik 'di atas' ikut diberantas.
Di samping sejarah versi pemerintah yang seakan menjadikan PKI sebagai 'kambing hitam', terdapat pula banyak penelitian akademik yang mengungkap fakta berbeda. Berbagai versi sejarah muncul untuk menganalisis kembali kisah pembantaian kepada jutaan rakyat yang 'dianggap' komunis tersebut.
Salah satu fakta sejarah berhasil diungkap oleh Profesor Salim Said, yang menulis desertasi gelar doktornya tentang 'Peran Politik Militer Indonesia pada Periode Revolusi Kemerdekaan'. Ia menyebutkan rencana awal penculikan para jenderal sebenarnya adalah untuk pendaulatan, bukan untuk pembantaian.
Lantas bagaimana bisa rencana pendaulatan--yang digagas Soekarno dan didukung Biro Khusus PKI--itu kemudian berubah menjadi pesta pembantaian para jenderal?
Ah, benarkan Soekarno terlibat dalam Gestapu??!
Tradisi Pendaulatan
Nah, aksi Gestapu diawali dengan penculikan para jenderal dari kediamannya. Mari sejenak kita menyegarkan ingatan untuk kembali kepada tradisi daulat, mendaulat dan pendaulatan yang pada saat Revolusi sering muncul dalam bentuk penculikan.
Kisah yang paling menonjol untuk diingat adalah peristiwa Rengasdengklok menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945. Kedua pemimpin Indonesia saat itu Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda Jakarta mendesak untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Kedua pemimpin itu dibawa dengan setengah dipaksa oleh para pemuda ke Rengas Dengklok (Jawa Barat) untuk didaulat mengumumkan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin.
Di kemudian hari, juga terjadi penculikan Pendana Menteri Syahrir di Solo oleh elemen pemuda dan tentara yang antidiplomasi. Penculikan Syahrir itu diharapkan perundingan dengan Belanda bisa dicegah.
Setelah didaulat, kabinet Syahrir malah bubar, namun Perdana Menteri selamat. Lalu kabinet digantikan oleh Amir Syarifuddin yang akhirnya tetap melakukan perundingan dengan pihak Belanda atas restu dari Soekarno.
Syahrir, Soekarno, dan Hatta diculik tanpa dianiaya secara fisik. Namun berbeda dengan penculikan Dr Muwardi, sang pemimpin Barisan Benteng di Solo. Nasibnya berakhir dengan kematian. Hingga saat ini pun siapa dalang di balik penculikan Dr Muwardi dan bagaimana ia tewas masih belum terungkap. Tidak ada kejelasan apakah ia diculik untuk dibunuh, ataukah kematiannya disebabkan oleh sesuatu hal yang di luar rencana.
Yang jelas, kasus pendaulatan ternyata sering terjadi pada zaman revolusi. Konon penculikan untuk pendaulatan menjadi modus operandi untuk melakukan perubahan elite sekaligus kebijakannya. Bahkan dalam organisasi tentara pada awal revolusi, saat sistem pergantian komandan belum dibuat, daulat-mendaulat sering menjadi jalan tempuh untuk mengganti pemimpin pasukan.
Perlu digaris bawahi, tradisi culik-menculik pada awal revolusi dijadikan sebagai modus penting untuk mengubah kebijakan di tingkat elit. Ternyata penculikan sebagai cara mendaulat sepertinya sudah mengendap rapi dalam kebudayaan politik Indonesia.
Tradisi mendaulat ini juga dibuktikan dengan pidato Presiden Soeharto dalam rapat Pimpinan ABRI di Pekan Baru pada 1980 yang berbicara tentang penculikan anggota sebagai cara pencegahan terjadinya kesepakatan MPR jika muncul usaha mengubah UUD'45.
"Ambisi Soekarno Kuasai Militer"
Ternyata tidak semudah itu menjawab pertanyaan dari judul utama di atas. Kita perlu memahami rencana Pemimpin Besar Revolusi Soekarno dalam hal menanggapi Angkatan Darat yang sudah tidak sepaham lagi dengannya, menolak NASAKOM.
Soekarno semakin kewalahan menghadapi Angkatan Darat yang terus menolak NASAKOM, tidak serius melakukan konfrontasi, dan sibuk menggerakkan barisan anti-komunis. Hal inilah yang membuat Soekarno berkesimpulan untuk mengganti Panglima Angkatan Darat Nasution, digantikan oleh Letjen Ahmad Yani.
Nasution pun akhirnya pasrah menerima jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) yang tidak memiliki garis komando ke pasukan. Ternyata para pimpinan angkatan lain tidak siap berada di bawah pimpinan seorang jenderal Angkatan Darat.
Kemudian Soekarno membentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti) pada Juli 1963 sebagai upaya menguasai militer dengan dirinya menjadi Panglima Besar.
Melalui Koti, otomatis Soekarno menjadi panglima ABRI yang memimpin tentara dengan dibantu oleh seorang wakil panglima besar AH Nasution, dan seorang kepala staf Letjen Ahmad Yani serta 4 deputi (Intelijen, Operasi, Pengerahan Tentara, Logistik, dan Politik Sosial Ekonomi).
Perlu diketahui, deputi Intelijen dipimpin oleh Dr Subandrio yang saat itu berpangkat sebagai Laksamana Udara. Dari posisi itulah kemudian Dr Subandrio juga menjadi kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Istana secara otomatis telah menjadi Mabes ABRI, jauh kemudian hari pada 1969, Soeharto mengintegrasikan tantara dan membangun Mabes ABRI yang kini berlokasi di Cilangkap, Jakarta Timur.
Suhu politik domestik semakin mendidih saat 1965. Angkatan Darat tetap tidak mau melaksanakan konfrontasi dan sibuk mengurusi kaum anti-komunis sekaligus mengganjal agenda 'Nasakomisasi', maka Soekarno hanya memiliki satu jalan untuk menghentikan Jenderal Ahmad Yani dan para pendukungnya, yaitu menempuh jalan daulat.
Nah, dari titik inilah sebaiknya kita memahami keputusan Soekarno sebagaimana dikisahkan oleh Kolonel Bambang Widjanarko dalam buku The Devious Dalang yang menyebut akan mengganti Ahmad Yani dengan cara daulat.
Diceritakan, pada 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno memanggil komandan pengawalnya, Letnan Kolonel Untung, untuk menerima dan melaksanakan rencananya itu.
Meskipun kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko disangsikan, namun ada argumen yang melihat kebenaran dalam kesaksiannya. Kesaksian itu ia berikan pasca meninggalnya Soekarno pada Juni 1970.
Hasil interogasi Tim Pemeriksaan Pusat atas diri Bambang Widjanarko tidak pernah dipublikasikan, tidak juga digunakan untuk menuduh Soekarno terlibat Gestapu, bahkan tidak pernah dipergunakan di pengadilan. Namun akhirnya dokumen interogasi itu akhirnya bocor ke luar negeri dan ditebitkan di Belanda.
Sumber-sumber dekat Soeharto dan AH Nasution pada awal-awal pasca Gestapu meyakini bahwa sejak Kolonel Untung ditangkap dalam pelariannya, mereka sebenarnya sudah mencium keterlibatan Soekarno dalam Gestapu.
Kecurigaan ini muncul karena saat ditangkap, Untung meminta untuk dihadapkan langsung ke Presiden Soekarno, dan bukan ke kostrad. Cerita ini dilaporkan dalam koran yang terbit di Boston, AS, oleh wartawan The Christian Science Monitor, John Hughes.
"Bocornya Rencana Pendaulatan"
Atas kecurigaan itu, Nasution menginginkan Soekarno diadili, sementara Soaharto bertekad menyelesaikannya secara politis, bukan hukum. Alasan Soeharto adalah karena pengaruh Soekarno dalam ABRI dan masyarakat saat itu masih sangat kuat.
Sehingga, jika Soekarno diadili, akan terjadi perang saudara yang sulit dihindari. Akhirnya Kolonel Untung diadili dengan diarahkan supaya tidak mengungkap keterlibatan Soekarno.
Tentang Kolonel Untung sendiri, ia adalah komandan pengawal presiden yang sudah lama berada dalam pembinaan Syam Kamaruzzaman, Ketua Khusus Biro PKI. Hal ini membuat rencana daulat gubahan Soekarno mudah sekali bocor.
Analisis sejumlah pakar terhadap Mahmillub dan sejumlah buku catatan pengalaman para pelaku, hampir bisa diyakini bahwa Soekarno, Soeharto, Kolonel Untung, DN Aidit, dan juga Omar Dhani mengenai penculikan direncanakan bukan untuk pembantaian, namun untuk pendaulatan.
Jika analisis itu benar, maka wajar kalau Soeharto membiarkan gerakan daulat tersebut. Sebab itu merupakan keputusan politik presiden yang tidak bisa dihalangi olehnya. Lagipula rencana Soekarno itu tidak merugikan Soeharto.
Bahkan, DN Aidit kemungkinan juga mengerti Gestapu sebagai pendaulatan pemimpin Angkatan Darat. Sebab Aidit dan PKI berharap pemimpin AD setelah Ahmad Yani bisa lebih bisa dikendalikan oleh Soekarno. Dengan demikian, AD bisa membantu dan mendukung gagasan Nasakom dan bersahabat dengan PKI.
Namun bagaimana rencana pendaulatan gagasan Soekarno yang didukung Biro Khusus PKI itu bisa berubah menjadi pembantaian para jenderal?
Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara dan penelitian khusus yang dilakukan oleh Salim Said dalam buku "Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H