Mohon tunggu...
Arini Saadah
Arini Saadah Mohon Tunggu... Penulis - Suka nulis, tapi tidak tahu apa yang hendak ditulis.

Pernah menjadi mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Balik Gestapu, Rencana Pendaulatan Berubah Jadi Pesta Pembantaian?

28 September 2020   07:27 Diperbarui: 28 September 2020   07:38 2711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui Koti, otomatis Soekarno menjadi panglima ABRI yang memimpin tentara dengan dibantu oleh seorang wakil panglima besar AH Nasution, dan seorang kepala staf Letjen Ahmad Yani serta 4 deputi (Intelijen, Operasi, Pengerahan Tentara, Logistik, dan Politik Sosial Ekonomi).

Perlu diketahui, deputi Intelijen dipimpin oleh Dr Subandrio yang saat itu berpangkat sebagai Laksamana Udara. Dari posisi itulah kemudian Dr Subandrio juga menjadi kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Istana secara otomatis telah menjadi Mabes ABRI, jauh kemudian hari pada 1969, Soeharto mengintegrasikan tantara dan membangun Mabes ABRI yang kini berlokasi di Cilangkap, Jakarta Timur.

Suhu politik domestik semakin mendidih saat 1965. Angkatan Darat tetap tidak mau melaksanakan konfrontasi dan sibuk mengurusi kaum anti-komunis sekaligus mengganjal agenda 'Nasakomisasi', maka Soekarno hanya memiliki satu jalan untuk menghentikan Jenderal Ahmad Yani dan para pendukungnya, yaitu menempuh jalan daulat.

Nah, dari titik inilah sebaiknya kita memahami keputusan Soekarno sebagaimana dikisahkan oleh Kolonel Bambang Widjanarko dalam buku The Devious Dalang yang menyebut akan mengganti Ahmad Yani dengan cara daulat.

Diceritakan, pada 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno memanggil komandan pengawalnya, Letnan Kolonel Untung, untuk menerima dan melaksanakan rencananya itu.

Meskipun kesaksian Kolonel Bambang Widjanarko disangsikan, namun ada argumen yang melihat kebenaran dalam kesaksiannya. Kesaksian itu ia berikan pasca meninggalnya Soekarno pada Juni 1970.

Hasil interogasi Tim Pemeriksaan Pusat atas diri Bambang Widjanarko tidak pernah dipublikasikan, tidak juga digunakan untuk menuduh Soekarno terlibat Gestapu, bahkan tidak pernah dipergunakan di pengadilan. Namun akhirnya dokumen interogasi itu akhirnya bocor ke luar negeri dan ditebitkan di Belanda.

Sumber-sumber dekat Soeharto dan AH Nasution pada awal-awal pasca Gestapu meyakini bahwa sejak Kolonel Untung ditangkap dalam pelariannya, mereka sebenarnya sudah mencium keterlibatan Soekarno dalam Gestapu.

Kecurigaan ini muncul karena saat ditangkap, Untung meminta untuk dihadapkan langsung ke Presiden Soekarno, dan bukan ke kostrad. Cerita ini dilaporkan dalam koran yang terbit di Boston, AS, oleh wartawan The Christian Science Monitor, John Hughes.

"Bocornya Rencana Pendaulatan"

Atas kecurigaan itu, Nasution menginginkan Soekarno diadili, sementara Soaharto bertekad menyelesaikannya secara politis, bukan hukum. Alasan Soeharto adalah karena pengaruh Soekarno dalam ABRI dan masyarakat saat itu masih sangat kuat.
Sehingga, jika Soekarno diadili, akan terjadi perang saudara yang sulit dihindari. Akhirnya Kolonel Untung diadili dengan diarahkan supaya tidak mengungkap keterlibatan Soekarno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun