Mohon tunggu...
Arinda Safira
Arinda Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang mudah penasaran ini tidak begitu tertarik dengan bakso dan mie ayam seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka jangan beri saya kedua itu untuk sebuah perayaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keputusannya adalah Tidak Mencintaiku

28 Januari 2023   04:30 Diperbarui: 28 Januari 2023   04:43 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak mengira akan bertemu dengannya di saat seperti ini. Saat wajahku lebih cerah dari aku yang dulu. Saat badanku tidak sekurus tahun lalu. Saat otakku tidak sekosong dulu. Aku bertemu dengannya lagi. Tibalah di sesi tanya jawab. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali berbincang dengannya.

“Saya Resti Anugerah Dini. Saya murid Pak Ramlan dulu, apa Pak Ramlan masih ingat saya?” tanyaku berbasa basi untuk membuka pertanyaan inti.

Pak Ramlan dengan senyum bangganya dan dengan mata yang berbinar itu mengambil microfon di atas meja depannya dan berkata. “Resti. Tentu saja saya ingat kamu. Kita sering ngobrol di perpustakaan tentang pelajaran dan kuliah. Wah, akhirnya kamu di sini!” serunya.

Akupun bangga dengan diriku, Pak. Akupun bangga bisa mengenal Bapak. Aku menanyakan banyak point yang memang sengaja kubuat panjang supaya jawabannya nanti juga panjang. Jujur saja aku merindukan percakapan ini. Aku rindu berdiskusi dengannya. Aku rindu dengan masukan-masukan indahnya.

Selesai menjadi pembicara, aku sengaja meninggalkan pembicara kedua untuk menemui Pak Ramlan di luar ruangan. “Resti, apa kabar kamu?” tanya Pak Ramlan sambil menepuk bahuku. “Bagaimana keadaan Ibu dan Adik? Bagaiamana kuliahnya?” pertanyaan ini dulu menyakitkan buatku. Tapi sekarang aku benar-benar senang ada yang menanyakan ini.

“Baik, Pak! Alhamdulillah, Ibu dan Adik juga baik! Ya, seperti mahasiswa pada umumnya, tugas saya banyak, Pak. Bisa minta bantuan?” tanyaku bercanda.

Pak Ramlan tertawa renyah. Hari itu kami benar-benar bernostalgia tentang diri kami yang setahun lebih tidak bertemu. Aku juga tidak mau melewatkan kesempatan. Aku tidak tahu apakah kami akan bertemu lagi atau tidak.

“Pak Ramlan sudah menikah?” tanyaku memberanikan diri.

Pak Ramlan tertawa. “Apa muka saya sangat Bapak-Bapak?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Belum?” tanyaku memastikan.

“Belum.” Katanya sembali membenarkan caranya berdiri. Pria jangkung ini benar-benar tahu caranya membuat orang lain nyaman untuk berada di sampingnya, dan dari itu aku ingin terus di sampingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun