Judulnya mungkin agak berlebihan, namun sebenarnya dibuat begitu agar bisa langsung dicerna kemana arah tulisan ini akan menuju. Berdasarkan isu yang tengah hangat diperbincangkan oleh masyarakat di sosial media maupun pemberitaan oleh pers, ada wacana dari kubu pasangan Prabowo-Sandi untuk mengadakan debat dalam bahasa Inggris. Tujuan utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah ingin melihat kepandaian beretorika dengan bahasa international tersebut. Bahasa Inggris adalah media untuk berkomunikasi yang digunakan dibanyak negara saat ini.
Di tambah lagi adalah bahwa seorang presiden adalah cerminan suatu bangsa. Ada sebuah streotipe yang akan diwujudkan jika seorang presiden mempunyai bahasa Inggris yang buruk maka rakyatnya pun banyak yang ga pandai bahasa tersebut.Â
Begitupula sebaliknya, dengan kefasehan seorang presiden beretorika dengan bahasa asing, akan menimbulkan kesan baik bagi bangsa lain bahwa rakyat Indonesia jago berbahasa Inggris atau paling tidak nyaris menyamai presiden yang jago tadi. Sehingga gagasan ini sebenarnya cukup baik dan saat ini saya termasuk orang yang setuju dengan adanya debat dalam bahasa Inggris untuk menilai kualitas bahasa calon presiden. Jelas kita boleh dong tau seberapa jago berbicara bahasa Inggris untuk setiap calon presiden kita?
Namun tentu saja tidak semua orang setuju, banyak pihak yang mengatakan usulan ini dianggap mempunyai unsur politis seolah-olah ingin menjatuhkan citra pasangan calon sebelah (of course mereka lagi perang strategi gitu).
Pihak Jokowi-Amin banyak memunculkan argumen-argumen untuk usulan tersebut. Pertama adalah isu nasionalisme. Penggunaan bahasa Indonesia dalam debat capres atau forum tingkat nasional maupun international yang berada di Indonesia memang diharuskan menggunakan bahasa Indonesia.Â
Hal ini sebagai wujud kecintaan dan kebanggaan akan jati diri sendiri sebagai bangsa Indonesia. Sebagai analogi bahwa negara Amerika tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia didalam debat capres mereka, kena Indonesia harus menggunakan bahasa mereka?
Selanjutnya adalah klaim bahwa penggunaan bahasa Inggris didalam debat capres ini salah tujuan. Tujuan dari forum debat diskusi pasangan calon presiden adalah untuk mengetahui integritas, visi, misi, program, dan pertanggungjawaban mereka. Sehingga bukan adu kehebatan berbahasa maupun beretorika namun adalah adu isi konten. Saya sangat setuju dengan ini, kita tidak mungkin hanya memilih presiden berdasarkan kepandaian berbicara.
Untuk argumen berikutnya adalah rakyat Indonesia mayoritas tidak terbiasa menggunakan bahasa Inggris setiap hari. Sehingga bisa dibayangkan seorang ibu rumah tangga diharuskan menonton duel bahasa Inggris pasangan calon presiden, apa yang dia akan dapat? Apa yang akan dia pahami? Saya kira jelas tidak ada.Â
Bahkan terkadang jika dilakukan dalam bahasa Indonesia saja, dengan bahasa yang tinggi khas politikus sudah cukup menyulitkan ibu ini untuk mencerna, bagaimana dengan bahasa om Trump ini. Jelas membuat masyarakat males untuk menonton acara debat, padahal tujuan acara ini adalah untuk keseluruh rakyat agar mengetahui visi misi dan karakter dari calon orang nomer 1 di negeri ini.
Okeh, jadi mungkin ini adalah argumen terakhir yang mau saya bawa dari kubu Jokowi adalah ayo perang bahasa asing. Semacam adu strategi, kubu prabowo cerdas dengan mengajukan usulan ini, maka kubu Jokowi ga kalah cerdas dengan usulan mereka. Jadi kubu Jokowi mengklaim mereka siap debat menggunakan bahasa Inggris, namun mereka juga mengusulkan penggunaan bahasa arab dan bahkan tes mengaji pada ajang debat kandidat presiden nanti. Bahasa Arab di klaim juga merupakan bahasa international. Sedangkan mengaji adalah cerminan bahwa negeri ini adalah mayoritas islam.
Yahh, akhirnya statement ini juga malah membawa ajang debat kandidat presiden ini menjadi semrawut. Sudah cukup semrawut ide pelaksanaan debat kandidat dengan usulan menggunakan bahasa Inggris, dan sekarang di usulkan bahasa Arab dan tes mengaji. Seolah-olah mau tes seleksi masuk perguruan tinggi Islam saja. Hehe
Sebenarnya seperti yang saya sampaikan sebelumnya, penggunaan bahasa Inggris dalam debat calon presiden itu ada nilai positifnya, sebagai promo untuk meningkatkan motivasi rakyat belajar bahasa Inggris. Maksudnya adalah untuk mencegah para siswa untuk nanti bilang, "Untuk menjadi presiden aja kita ga perlu jago bahasa Inggris, jadi kenapa harus belajar bahasa Inggris." Sebagai guru pasti bingung deh bagaimana memotivasi murid nantinya.
Jalan keluarnya adalah jika di dalam pelaksaan debat presiden nanti akan dilaksanakan beberapa kali. Panitia KPU bisa mengusung tema bahasa ini sekali di salah satu kegiatan debat tersebut, sehingga di dalam debat atau diskusi bertemakan bahasa ini, para kandidat atau calon presiden diharuskan beretorika dalam bahasa Inggris sepenuhnya dan boleh juga dengan bahasa lain. Hal ini hanya sekedar pemuas dahaga kita, untuk melihat kualitas calon pemimpin bangsa dari segi bahasa.
Namun demikian, yang perlu di ingat sekali lagi adalah pertama syarat menjadi presiden bukanlah ahli bahasa asing seperti Inggris, Arab, atau bahkan Mandarin. Para presiden bisa menunjuk juru bicara ataupun penerjemah dalam urusan penggunaan bahasa asing saat menjalankan tugasnya sebagai presiden. Sekali lagi, ingat ya! Kita mencari presiden bukan juru bahasa.
Mari selamatkan bahasa Inggris dari kepentingan politik dan perdebatan di media sosial. Saat ini mungkin sangat banyak di media sosial yang bentuk komen-komennya adalah seperti mengatakan bahwa "bahasa Inggris itu ga penting sama sekali", Â "bahasa Inggris tu bahasa kafir", "kalau debat dengan bahasa Inggris itu ga cinta bahasa sendiri".Â
Hal ini jelas membuat motivasi mempelajari bahasa Inggris dikalangan masyarakat menjadi turun. Perlu kita pahami bahwa cinta dengan bahasa sendiri itu adalah kewajiban kita rakyat Indonesia, saya yakin sudah pasti tidak ada yang meragukan itu. Namun jago berbahasa asing adalah sebuah sunnah. Sehingga dapat dikatakan mengamalkan sunnah itu berpahala alias ada poin plusnya pada kualitas pribadi seseorang.Â
Sehingga jika seorang presiden bagus dalam berbahasa asing tentu itu nilai plus untuk memilihnya. Tetapi tentu saja menilailah bukan hanya dari kemampuan beretorika atau bahasa para pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, tetapi nilailah sepenuhnya dari integritas, kesungguhan, tanggung jawab, dan ketangkasan mereka dalam menjawab pertanyaan terkait permasalahan-permasalahan bangsa. Hal ini lebih objektif dan tepat sasaran. Jadi, mari stop perdebatkan hal ini, mari tunggu keputusan KPU saja bagaimana mereka akan menyelenggarakan nanti.
Selamatkan bahasa Inggris, bung!
Salam dari seorang guru bahasa Inggris
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H