Selain itu Teori konflik juga  membahas tentang otoritas yang berbeda-beda. Pada akhirnya otoritas yang berbeda-beda ini  menghasilkan subordinasi dan superordinasi. Perbedaan yang ada di antara subordinasi dan superordinasi dapat memunculkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga menilai bahwa konflik itu diperlukan untuk menciptakan  perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial  dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial dapat disebabkan karena munculnya konflik-konflik kepentingan.Â
Namun pada suatu situasi tertentu, masyarakat dapat menghasilkan sebuah kesepakatan bersama.Â
Di dalam konflik,  selalu ada negosiasi yang dilakukan yang tujuannya untuk tercipta suatu konsensus.  Menurut teori konflik, masyarakat dapat disatukan dengan "paksaan". Maksudnya,  keteraturan yang ada di masyarakat sebenarnya ada karena paksaan atau koersi. Oleh  karena itu, teori konflik erat hubungannya dengan koersi, dominasi, dan power.
Konflik Yang Terjadi Antara Etnis Tionghoa Dan Bugis   Â
Hubungan antara warga etnis Tionghoa yang berada di daerah Makassar dan Bugis Makassar sebenarnya harmonis. Tetapi apabila terjadi suatu masalah, baik itu bersumber dari etnis Tionghoa atau tidak, yang menjadi sasaran selalu warga etnis Tionghoa. Kecemburuan sosial yang terjadi merupakan salah satu masalah antara kedua etnis tersebut. Stereotip dan juga prasangka yang berkembang pada etnis Tionghoa dan Bugis Makassar lebih ke arah yang negatif.Â
Etnis Bugis Makassar beranggapan bahwa etnis Tionghoa dalam berbisnis sering melakukan kecurangan dan juga menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan kemudahan dalam bidang ekonomi sehingga membuat mereka cepat sukses.Â
Lalu apabila ada etnis Tionghoa datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka mereka juga segera membawa rekan-rekannya sesama etnis Tionghoa untuk berbisnis di daerah itu dan mematikan bisnis warga pribumi. Akibat dari tindakan tersebut, etnis Tionghoa dilarang melakukan perdagangan di banyak tempat.Â
Sebaliknya etnis Tionghoa menganggap mereka lebih tinggi dibanding komunitas pribumi dan mereka menganggap bahwa etnis pribumi bodoh, pemalas, dan tidak dapat menggunakan kesempatan dengan baik.
Selama ini, konflik etnik Tionghoa dan Bugis Makassar sering muncul juga dikarenakan adanya anggapan bahwa warga keturunan Tionghoa kebal hukum, terutama pada kalangan yang mapan.Â
Orang Tionghoa kebanyakan menyelesaikan persoalan hukum dengan membayar para aparat penegak hukum karena kaya dan memiliki banyak uang. Interaksi warga keturunan Tionghoa dengan etnik Bugis Makassar selama ini kurang intens, terutama di area tempat tinggal, karena masing-masing hidup secara berkelompok.Â