Wajahnya yang lugu masih memberengut, kalau saja tidak malu pasti ia tak berhenti menangis. Kepala yang tampak lemas disandarkannya ke kusen jendela sembari menatap hampa halaman belakang yang keadaannya jauh berbeda dari tempat tinggal sebelumnya.
Sesekali mata kuyunya ia lemparkan ke orangtuanya, ia paham mereka jauh lebih terluka. Namun, seperti orang dewasa lainnya, mereka sangat pandai menyembunyikan perasaan. Kecewa dan amarah yang sempat memuncak di waktu belakangan, terpaksa mereka redam dengan kepasrahan.
Anak itu mulanya tidak tahu banyak tentang persoalan yang membuatnya harus pergi dari rumah. Anak-anak sepertinya dirinya, dikecualikan dari musyawarah, tidak dilibatkan dalam ketegangan yang mendadak mengusik ketenangan para orang dewasa.
Namun, jelas dalam ingatannya dua minggu sebelum terusir, ketika hendak turun ke desa untuk bersekolah, ada lima orang asing berbadan tegap yang dikomandoi lelaki bertopi koboi menemui segenap orang yang tinggal di sana. Pulang-pulang ia mendapati wajah anggota keluarganya suram, begitupun dengan para orangtua kawannya sebagaimana yang mereka ceritakan saat bermain bersama ke tepi sungai.
"Apa sebenarnya yang bakal terjadi pada kita?" tanya, Rimba, si anak itu.
Dul, Damar dan Aram, menggeleng murung, mereka seragam menghela napas berat. Rimba memandangi, Zaman, satu teman lainnya yang tak bereaksi apa-apa, melainkan hanya membisu. Mata Rimba seolah menuntut penjelasan, Zaman pun betul-betul peka akan itu.
"Kemungkinan besar kita bakal diusir dari sini," lirih Zaman. Dia menatap kawan-kawannya silih berganti dengan nanar.
Rimba dan tiga lainnya melongo tak percaya. Mengapa Zaman bisa berkata demikian? Ia mengaku tidak sengaja menguping obrolan kakeknya. Sejak hari itu mereka tenggelam dalam keresahan. Mengapa mereka menginginkan hutan kami yang sangat terjaga baik ini?Jerit batin lugu anak-anak itu.
Hari ke hari antusiasme yang kerap Rimba dan teman-temannya rasakan saat menyusuri hutan, mendadak redup disalip kesedihan. Mata-mata jernih itu tak lagi berbinar di kala menyaksikan hamparan hijau dari bukit tempat favorit mereka bermain. Kini tatapan mereka diburamkan oleh gelimang air mata dan sesak hebat di dada.
Di tengah kekhawatiran, Rimba dan lainnya tetap berharap besar hutan yang mereka jaga dapat bertahan, agar keberlangsungan hidup tetap seimbang. Dilahirkan menjadi anak-anak yang sejak dini diasuh oleh alam, membuat mereka sangat menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan.
"Jangan cepat-cepat bersedih, kita bisa menolak pergi dari sini!" tutur Dul menggebu-gebu.
Rimba tersenyum getir dan berkata, "Iya, tapi kalau sampai nggak bisa, bagaimana? Kupikir mereka bukan orang baik-baik."
Dul terbungkam, tak ada lagi yang bersuara. Mereka membiarkan diri terjatuh ke perenungan. Rimba sadar ia terkesan tak punya hati karena mematahkan semangat temannya. Namun, ia berkaca pada situasi hasil pengamatannya yang dinilai semakin pelik saja. Ia tak kenal orang-orang itu, semakin keras warga menolak, mereka pun akan membalasnya jauh lebih keras.
***
Deru peluru yang ditodongkan si koboi ke angkasa menjadi puncak pembungkaman suara-suara penolakan yang lantang digaungkan. Dengan sangat menyedihkan warga hutan adat terusir dari tanahnya yang tetap lestari itu. Rimba dan anak-anak lain yang di waktu kejadian belum sempat diamankan, ikut menjadi saksi tindakan represif segerombolan orang tak dikenal tersebut.
Tempat tinggal yang telah disediakan dan sejumlah uang sebagai kompensasi takkan pernah bisa melipur kepiluan. Rimba merasa separuh jiwanya meluruh hancur, ia kehilangan banyak hal yang dirasakan dan didapatkan sepanjang hidup berdampingan bersama alam.
"Nak, sekarang hidup kalian lebih enak, sekolah tidak jauh lagi dan rumah-rumah kalian lebih nyaman untuk ditinggali," seru si koboi pada anak-anak di saat mereka dan para orangtuanya berhasil disingkirkan dari hutan. Dia berkacak pinggang, berdiri membelakangi masin-mesin penghancur pohon yang rupanya telah matang disiapkan.
Di dalam diamnya yang sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak bersuara, Rimba menyanggah mentah-mentah. Ia sedikitpun tidak merasa lebih baik hanya karena dua hal yang disebutkan si koboi. Ia tidak pernah merasa keberatan menempuh perjalanan jauh apalagi untuk menimba ilmu. Dan tidak ada masalah dengan kesederhanaan tempat tinggalnya di dalam sana. Apa yang diberikan alam sudah lebih dari cukup membahagiakannya.
Tiga hari terlempar jauh dari kawasan hutan, Rimba masih terus-terusan dikoyak pilu. Ia amat rindu kanopi hijau yang menaungi kediamannya, juga gemerisik dedaunan yang memenangkan. Terbayang jelas di benaknya gemericik aliran sungai berair jernih yang dihuni ikan-ikan, ia ingin kembali ke sana untuk melihat dan mendengar suara-suara satwa liar, pun ingin merasakan udara sejuk yang melegakan.
Ia tahu mesin-mesin itu akan segera menumpas hutan dan kehidupan makhluk di dalamnya. Dadanya nyeri bukan main ketika akhirnya mengetahui alasan hutannya dibabat demi perkebunan yang bernama, kelapa sawit. Benak polosnya bertanya-tanya, demi kepentingan siapa saja perkebunan itu didirikan? Sampai-sampai hutan yang banyak manfaatnya harus disingkirkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI