Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terusir

26 Januari 2025   15:05 Diperbarui: 27 Januari 2025   08:29 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hutan (pixabay.com/oyso)

"Jangan cepat-cepat bersedih, kita bisa menolak pergi dari sini!" tutur Dul menggebu-gebu.

Rimba tersenyum getir dan berkata, "Iya, tapi kalau sampai nggak bisa, bagaimana? Kupikir mereka bukan orang baik-baik."

Dul terbungkam, tak ada lagi yang bersuara. Mereka membiarkan diri terjatuh ke perenungan. Rimba sadar ia terkesan tak punya hati karena mematahkan semangat temannya. Namun, ia berkaca pada situasi hasil pengamatannya yang dinilai semakin pelik saja. Ia tak kenal orang-orang itu, semakin keras warga menolak, mereka pun akan membalasnya jauh lebih keras.

***

Deru peluru yang ditodongkan si koboi ke angkasa menjadi puncak pembungkaman suara-suara penolakan yang lantang digaungkan. Dengan sangat menyedihkan warga hutan adat terusir dari tanahnya yang tetap lestari itu. Rimba dan anak-anak lain yang di waktu kejadian belum sempat diamankan, ikut menjadi saksi tindakan represif segerombolan orang tak dikenal tersebut.

Tempat tinggal yang telah disediakan dan sejumlah uang sebagai kompensasi takkan pernah bisa melipur kepiluan. Rimba merasa separuh jiwanya meluruh hancur, ia kehilangan banyak hal yang dirasakan dan didapatkan sepanjang hidup berdampingan bersama alam.

"Nak, sekarang hidup kalian lebih enak, sekolah tidak jauh lagi dan rumah-rumah kalian lebih nyaman untuk ditinggali," seru si koboi pada anak-anak di saat mereka dan para orangtuanya berhasil disingkirkan dari hutan. Dia berkacak pinggang, berdiri membelakangi masin-mesin penghancur pohon yang rupanya telah matang disiapkan.

Di dalam diamnya yang sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak bersuara, Rimba menyanggah mentah-mentah. Ia sedikitpun tidak merasa lebih baik hanya karena dua hal yang disebutkan si koboi. Ia tidak pernah merasa keberatan menempuh perjalanan jauh apalagi untuk menimba ilmu. Dan tidak ada masalah dengan kesederhanaan tempat tinggalnya di dalam sana. Apa yang diberikan alam sudah lebih dari cukup membahagiakannya.

Tiga hari terlempar jauh dari kawasan hutan, Rimba masih terus-terusan dikoyak pilu. Ia amat rindu kanopi hijau yang menaungi kediamannya, juga gemerisik dedaunan yang memenangkan. Terbayang jelas di benaknya gemericik aliran sungai berair jernih yang dihuni ikan-ikan, ia ingin kembali ke sana untuk melihat dan mendengar suara-suara satwa liar, pun ingin merasakan udara sejuk yang melegakan.

Ia tahu mesin-mesin itu akan segera menumpas hutan dan kehidupan makhluk di dalamnya. Dadanya nyeri bukan main ketika akhirnya mengetahui alasan hutannya dibabat demi perkebunan yang bernama, kelapa sawit. Benak polosnya bertanya-tanya, demi kepentingan siapa saja perkebunan itu didirikan? Sampai-sampai hutan yang banyak manfaatnya harus disingkirkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun