Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pelarian-Pelarian [Part 4 Tamat]

5 Januari 2025   06:24 Diperbarui: 5 Januari 2025   09:07 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rumah di tengah hutan yang berebut (pexels.com/@fidan-nazim-qizi)

Malam yang penuh kecemasan dan tekanan, setidaknya itu untukku. Mama dan Ayah tidak mencurigaiku meskipun gelagatku kentara resah lebih dari hari-hari sebelumnya. Aku masih tidak berani bercerita soal apa yang kulihat di balik kain hitam. Aku punya keyakinan bukti yang kutemukan di sana akan jadi klimaks dari semua misteri yang terjadi pada kami di rumah ini. Aku bodoh bisa-bisanya lebih takut kena marah Ayah, sementara nyawa kami bisa saja terancam. 

Toh kalaupun aku bercerita, kami mau pergi pakai apa? Jalan kaki? Sangat tidak memungkinkan. Dadaku sakit dihantam bingung, malam ketiga ini terasa lebih mencekam padahal waktu masih terbilang muda, baru pukul delapan. Yang menjadi pembeda dari malam-malam sebelumnya, malam ini kami dikepung angin kencang. Gemuruh dedaunan yang diombang-ambingkan angin menggulung rumah kayu tua ini, aku khawatir sewaktu-waktu ada ranting atau pohon tumbang menimpa rumah. Habislah riwayat kami.

Kemunculan angin yang terasa tidak wajar, apa bentuk hukuman atas kelancanganku? Aku merinding ketar-ketir, takut terjadi hal-hal yang lebih fatal menimpa keluargaku. Kami bertiga duduk berjejer di kursi bambu sambil menghadap lampu minyak.

Di tengah penerangan remang-remang mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang mereka bisa. Aku pun sesekali mengikuti bacaannya.

Di saat kami masih khusyu membaca doa, angin lambat laun mereda. Kami pun bisa bernapas lega, beberapa saat kemudian di luar sana terdengar deru mesin mobil dan tak lama ada derap langkah yang kian mendekati rumah.

Pintu diketok keras. Kami kompak menoleh ke pintu, jantungku berdebar kencang takut itu orang yang berniat jahat. Siapa pula yang berkunjung ke tempat sejauh ini mana malam-malam, apa itu Om Tama? Aku menelan ludah. Hal yang datang antara pertolongan atau malah sebaliknya.

"Om, Tante, Agni? Apa kalian sudah tidur?"

Pintu masih diketok brutal. Hah itu suara Gala! Ayah beranjak mendekati pintu.

"Om, Tante, Agni, buka pintunya! Ini saya Gala!"

Tangan Ayah sudah memegang slot pintu tinggal menariknya saja, tapi tanganku lebih dulu menahannya.

"Nggak Ayah, jangan dibuka!" pekiku.

Benakku kadung dipengaruhi pikiran negatif terhadap Gala dan Ayahnya.

"Kenapa Agni? Kok kamu aneh begitu!" desis Ayah.

Tenaga Ayah lebih kuat, ia menarikku ke belakang dan pintu cepat dibukanya. Tampaklah Gala di ambang pintu, ekspresinya memperlihatkan kegentingan.

"Ada apa, Nak Gala, malam-malam ke sini?" tanya Mama panik.

"Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Saya mohon cepat kemasi barang-barang kalian. Kita harus cepat pergi dari sini, saya mohon!" pinta Gala sangat serius.

Aku tidak mengerti kenapa ia ingin membawa kami pergi! Kulihat Ayah bengong begitupun Mama.

"Tapi, Nak G---" 

"Saya mohon dengan sangat, Om! Ini darurat. Saya akan jelaskan kalau kita sudah ada di desa bawah sana," jelas Gala memotong ucapan Ayah.

"Tapi bagaimana dengan Tama!" imbuh Mama.

"Jangan pikirkan Papa Saya. Sekarang keselamatan kalian yang paling penting!" tegas Gala sungguh-sungguh.

Setelah Gala mengatakan demi "keselamatan" tidak ada alasan lain bagi kami melontarkan lebih banyak tanya lagi. Kami bergegas mengemasi barang-barang yang jumlahnya tidak seberapa. Kami keluar beringin, Ayah menuntun Mama, aku dituntun Gala.

Kami berlarian dengan bantuan cahaya senter yang dibawa Gala. Mobil yang sudah diparkiran ternyata jenisnya pick up.

"Saya minta maaf, karena waktu yang sangat mendesak, saya cuma bisa mencari orang dengan mobil pick up."

Kami menggeleng tak mempersalahkan. Sehubungan Mama masih demam aku meminta pada Gala, agar orangtuaku yang di dalam bersama sopir. Gala tidak keberatan, ia menemaniku di bak belakang. Aku menaiki bak dengan bantuannya. Ini akan jadi perjalanan paling menguji nyaliku.

Aku duduk bersisian bersama Gala, punggung kami bersandar ke kepala mobil dan tangan kiri memegang palang besi di belakang. Mobil mulai bergerak lampunya membelah gelap yang pekat. Di bak terbuka aku dan Gala bisa melihat leluasa alam bebas yang gelap nan menyeramkan.

"Jangan takut, ada gue," bisik Gala.

"Makasih," sahutku pelan.

Menempuh perjalanan di malam hari menyusuri hutan, selain dihantui takut dan ngeri, juga diserang dingin yang membekukan. Peka aku kedinginan, tiba-tiba saja tangan Gala menggenggam tanganku sangat erat. Suhu tubuhnya yang masih terasa hangat, seolah mengalirkan ketulusan. Sentimen negatif yang sempat aku sematkan, buyar begitu saja seakan terbawa angin lalu ditelan gulita malam.

***

Untuk sampai ke desa terdekat butuh kurang lebih satu jam setengah perjalanan. Kami dibawa agak ke dalam pemukiman dan singgah di rumah pemilik mobil. Di tengah keterbatasan waktu, Gala menceritakan semuanya. Sederet fakta yang dibeberkan sangat mencengangkan dan mengiris hati.

Intinya, kami hendak ditumbalkan oleh Om Tama dengan melewati ritual khusus. Ritual itu akan berlangsung besok tepat pukul 11.00 malam, Gala tidak menjelaskan detail ritualnya karena ia pun tidak mendapatkan informasi lebih banyak. Om Tama kerap muncul sebagai pahlawan bagi orang-orang yang ditargetkannya. Orang-orang itu yang bernasib seperti kami, jika kami hilang ditelan bumi sekalipun, orang-orang tidak akan menaruh peduli.

Om Tama sudah lama bersekutu dengan penghuni beringin di belakang rumah itu. Pantas saja di dalam kain hitam selain onggokan tulang belulang juga bergeletakan banyak bekas sesajen. Gala meyakini, korban tumbal ayahnya sudah cukup banyak. Ia sendiri sangat menyesali perbuatan ayahnya yang keji demi mendapatkan kekayaan duniawi yang semu.

"Bagaimana bisa kamu tahu, Nak?" tanya Ayah.

"Sebenarnya kalau diceritakan dari awal, saya sampai tahu rumah itu karena ketidaksengajaan. Suatu hari ketika Papa dan Om mengobrol di telepon, saya tidak sengaja menguping. Saya maksa Papa buat ikut mengantarkan keluarga Om. Papa sempat menolak keras, tapi karena mungkin saya sudah tahu semuanya, pada akhirnya Papa mengiyakan. Selepas pulang dari sana, saya ngerasa penasaran kok rumahnya terkesan dirahasiakan. Saya pun mencari informasi diam-diam dan mendapatkan fakta sesat itu."

Mama menatap Gala penuh kasih seperti pada anaknya sendiri. "Gimana kalau ayahmu tahu kalau kamu yang membawa kami pergi, Nak?" 

Pertanyaan Mama mewakili perasaanku yang menghawatirkan keselamatan Gala.

"Tenang saja Tante, sebetulnya sekarang ini saya seharusnya pergi reuni bersama teman-teman ke pantai Parangtritis. Papa tahunya saya pergi berlibur, teman-teman saya bisa diajak kerjasama. Mereka bisa menjaga rahasia. Tapi kalau boleh saya minta, tolong doakan saya. Karena saya yakin akan ada konsekuensi besar yang dihadapi keluarga saya dari gagalnya penumbalan ini."

Hatiku nyeri seperti teriris pisau, aku tidak bisa berbuat banyak hanya bisa berdoa semoga Gala dilindungi, selamat dari apa pun bahaya yang mengintai. Ayah dan Mama tampak terpukul, demi keluargaku ia mengambil resiko besar. Aku salah menilainya, juga tidak menyangka Om Tama ternyata penjahat sesat kelas kakap.

"Maafin kami ya, Nak," tutur Ayah lemas.

Gala tersenyum sembari menggeleng-geleng. "Tidak perlu minta maaf, Om. Saya tulus, saya tidak mau sampai terjadi sesuatu pada Om, Tante dan Agni. Sudah jadi kewajiban setiap orang buat tolong menolong."

"Terima kasih banyak." Ucapan itu silih berganti terucap dari kami bertiga.

Gala merespon dengan senyum, lalu ia merogoh sesuatu dari tas kecil yang tersampir di badannya. Amplop. Ia mengangsurkan benda itu kepada kami.

"Ini ada sedikit uang untuk ongkos dan biaya hidup barangkali cukup buat semingguan. Saya sarankan kalian pergi ke luar pulau, lebih baik ke Kalimantan. Pastikan di jam 11 malam yang seharusnya ritual itu dilakukan, kalian sudah tidak ada di pulau Jawa. Maaf, saya tidak bisa mengantar sampai bandara, tapi tenang saja, kata Bapak pemilik pick up, saudaranya bersedia mengantarkan kalian ke bandara menggunakan mobil yang lebih memadai."

Kami menghaturkan banyak terima kasih pada Gala yang pertolongannya begitu beresiko dan berarti. Gala dipeluk hangat oleh Ayah, Mama mengelus-elus punggungnya dengan sayang. Kami berempat terjebak dalam momen singkat yang sangat emosional. Sebelum berangkat, Ia meminta izin ke Mama dan Ayah untuk membawaku ke luar sebentar.

Di dekat motor RX-KING-nya yang terparkir di halaman, kami berdiri berhadapan. Gala merogoh sesuatu dari sakunya dan memasangkannya ke pergelangan tanganku. Gelang tali. Serupa dengan yang ia pakai.

"Gue mau kasih ini pas kelulusan SMA, cuma lo judes banget sih," kekehnya.

Berlanjut ia menanyakan ponselku, kukeluarkan benda pipih itu dari saku jaket yang terakhir kulihat baterainya sudah sekarat. Gala mengetikkan sesuatu yang kuyakini nomor telepon.

Ia mengembalikan ponselku sambil berkata, "Nomor lama dan semua sosmed lo udah nggak aktif. Gue jadi kesulitan ngehubungi lo. Nomor gue udah ada di hp lo. Tolong hubungi gue kalau posisi lo udah aman. Jarak boleh jauh, komunikasi jangan terputus."

Aku mengangguk tangis yang kutahan membuat tenggorokan serasa ada yang menjegal.

"Jaga diri lo baik-baik," katanya sok tegar.

"Lo juga," lirihku. 

Tangannya yang besar mengelus-elus lembut pucuk kepalaku. Ia menatapku sendu, kesedihan di matanya berusaha dimanipulasi oleh senyuman manisnya. Senyuman yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Gala yang kukenal sangat menjengkelkan itu raib, di depanku adalah Gala versi terbaiknya. Ia beranjak menaiki tunggangannya, aku membantu menguncikan chin strap helmnya.

"Gue yakin secepatnya kita bakal ketemu lagi," katanya. "Gue pamit, ya. Bye Agni!"

Ia benar-benar pergi, rasanya sesak air mataku akhirnya bergelinding mengiringi kepergiannya. Perasaan semacam apa ini? Aku tidak boleh terhanyut lebih dalam. Yang terpenting saat ini adalah pelarian selanjutnya. Kalimantan. Aku berharap terbang dengan selamat, di sana bisa memulai hidup baru dan bangkit supaya dapat menamatkan tanggung jawab yang masih banyak tertunggak.

Selesai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun