Om Tama sudah lama bersekutu dengan penghuni beringin di belakang rumah itu. Pantas saja di dalam kain hitam selain onggokan tulang belulang juga bergeletakan banyak bekas sesajen. Gala meyakini, korban tumbal ayahnya sudah cukup banyak. Ia sendiri sangat menyesali perbuatan ayahnya yang keji demi mendapatkan kekayaan duniawi yang semu.
"Bagaimana bisa kamu tahu, Nak?" tanya Ayah.
"Sebenarnya kalau diceritakan dari awal, saya sampai tahu rumah itu karena ketidaksengajaan. Suatu hari ketika Papa dan Om mengobrol di telepon, saya tidak sengaja menguping. Saya maksa Papa buat ikut mengantarkan keluarga Om. Papa sempat menolak keras, tapi karena mungkin saya sudah tahu semuanya, pada akhirnya Papa mengiyakan. Selepas pulang dari sana, saya ngerasa penasaran kok rumahnya terkesan dirahasiakan. Saya pun mencari informasi diam-diam dan mendapatkan fakta sesat itu."
Mama menatap Gala penuh kasih seperti pada anaknya sendiri. "Gimana kalau ayahmu tahu kalau kamu yang membawa kami pergi, Nak?"
Pertanyaan Mama mewakili perasaanku yang menghawatirkan keselamatan Gala.
"Tenang saja Tante, sebetulnya sekarang ini saya seharusnya pergi reuni bersama teman-teman ke pantai Parangtritis. Papa tahunya saya pergi berlibur, teman-teman saya bisa diajak kerjasama. Mereka bisa menjaga rahasia. Tapi kalau boleh saya minta, tolong doakan saya. Karena saya yakin akan ada konsekuensi besar yang dihadapi keluarga saya dari gagalnya penumbalan ini."
Hatiku nyeri seperti teriris pisau, aku tidak bisa berbuat banyak hanya bisa berdoa semoga Gala dilindungi, selamat dari apa pun bahaya yang mengintai. Ayah dan Mama tampak terpukul, demi keluargaku ia mengambil resiko besar. Aku salah menilainya, juga tidak menyangka Om Tama ternyata penjahat sesat kelas kakap.
"Maafin kami ya, Nak," tutur Ayah lemas.
Gala tersenyum sembari menggeleng-geleng. "Tidak perlu minta maaf, Om. Saya tulus, saya tidak mau sampai terjadi sesuatu pada Om, Tante dan Agni. Sudah jadi kewajiban setiap orang buat tolong menolong."
"Terima kasih banyak." Ucapan itu silih berganti terucap dari kami bertiga.
Gala merespon dengan senyum, lalu ia merogoh sesuatu dari tas kecil yang tersampir di badannya. Amplop. Ia mengangsurkan benda itu kepada kami.