Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sukacita yang Semu

10 November 2024   11:18 Diperbarui: 10 November 2024   11:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pria dengan seperangkat alat musik tradisional (sumber pexels.com/@maxime-levrel)

Seminggu yang lalu aku diberi kabar oleh Ibu, katanya akan ada acara besar di desa. Awalnya aku tak menaruh perhatian lebih, tapi setelah tahu detailnya seperti apa kontan dibuat melongo. Dalam hal ini dengan kesadaran penuh, aku tidak menyepelekan apa yang menjadi kebahagiaan orang lain. Namun, yang kusoroti itu kesewenang-wenangan si punya hajat. Mirisnya, warga selalu memandang hal itu sesuatu yang wajar.

"Selamatan akbar atas kelahiran buah hati pertama kami, Narendra Putra. Harapan dan doa baik, mugi-mugi selalu menyertai."

Kurapal seuntai kalimat itu yang tercetak di baliho persegi panjang yang dibentangkan di bawah gapura pintu masuk desa. Di sana pun tertera foto bayi merah mengenakan blangkon dan surjan. Sisi kiri dan kanan baliho dihiasi janur kuning berjurai-jurai yang menari-nari dimainkan angin.

Baca juga: Khianat

"Astaga!" Orang di sebelahku ternganga. Ia teman kerja di perantauan yang ikut denganku pulang kampung.

Padanya aku tersenyum kecut, sebuah senyum yang didasari fakta pahit yang melekat di kehidupan warga desa yang lugu. Dari raut wajah dan gerak-gerik bola matanya, sepertinya ia siap mencemooh. Tapi Bapak dan sepupuku keburu datang menjemput, yang tadinya tampak dongkol, air mukanya menghangat lalu menyalami dua anggota keluargaku yang mana itu pertemuan ke-dua mereka.

***

Setelah lima bulan tidak pulang, akhirnya aku bisa mendapatkan cuti. Setiap mudik aku selalu menaiki bus dan kereta api. Ketika sudah sampai pintu masuk desa, barulah dijemput oleh motor agar sampai rumah lebih cepat. Tidak ada yang berubah, desa masih menyambut anak rantau sepertiku dengan damai dan tenang. Keberadaan rumah dan keluarga, juga lanskap alam yang masih perawan, budaya yang dirawat baik dan kepedulian sosial tinggi, semuanya kerap mengundang rindu dan haru.

Baca juga: Sekolah Berdarah

"Serius Simbok, iklan pemberitahuan hajatannya sudah kayak baliho kampanye saja," kelakar temanku, Mulan, kepada Ibu.

Baca juga: Anak Pejabat

Baru beberapa saat sampai rumah, Mulan langsung membuka topik hal yang paling menarik perhatiannya. 

Ibu yang sedang menata, getuk, brem dan wedang ronde di meja, lantas mengetuk bahu Mulan gemas, lalu berkata, "Lah iya tho, itu kan kelahiran ontang-anting mereka. Wajar Pak Kades jor-joran. Toh mereka orang nomor siji di sini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun