Sikap Bapak bisa dibilang representasi dari karakteristik mayoritas warga yang muskil diluruskan pola pikirnya. Nyatanya orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran empuk para pejabat niretika.
***
Suasana jam delapan pagi di minggu itu berbeda dari biasanya, riuh oleh antusias warga. Para tetangga termasuk orangtuaku sengaja meliburkan diri dari pekerjaannya. Syahdan gema musik gamelan mengalun mengudara dari arah balai desa. Hajatan akbar sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran anak pertama sang kepala desa setelah 20 tahun pernikahannya telah tiba.
Pak Mustar, namanya. Menantu pertama dari Kades dua periode sebelumnya. Berkat citra bapak mertuanya yang terbingkai baik di mata warga, Pak Mustar mudah saja mendapat simpati warga. Hajatan tersebut adalah penutup dari serangkaian tradisi yang dijalankan dari mulai anak bayinya masih dalam kandungan seperti Mitoni, berlanjut setelah lahir di antaranya medhem ari ari, brokohan, sepasaran, puputan, akikah dan selapanan. Dan kabarnya masih akan ada tradisi yang akan dilakukan kedepannya, seperti tedak siten.
Kata Ibu, penggunaan fasilitas desa untuk hajatannya tanpa ada kata izin kepada warga. Namun, tentu saja warga tak sampai mempersalahkannya. Ya, memang warga pun turut diundang untuk prasmanan tapi dipisahkan hanya diperkenankan di area luar karena balai desa yang luasnya tidak begitu besar hanya diperuntukkan bagi para tokoh penting saja.
Orangtuaku sudah mengenakan pakaian batik terbaiknya begitupun Mas Firgi, istirnya dan Sofyan. Raut-raut semringah terpancar dari wajah mereka yang tak sabar lagi ingin berangkat menghadiri hajatan dan menonton hiburan yang disediakan.
"Lho lho kok belum dandan, Nduk. Nggak ikut tho? Mana, Mulan?" tanya Ibu sembari memasang wajah kecewa melihatku yang masih kucel belum tersentuh sabun mandi.
"Nggak, Bu. Laras, capek. Mulih dilik pengennya istirahat. Toh besok sore harus ke kota lagi. Oh iya, Mulan, lagi di kamar mandi. Sepertinya dia juga nggak bakal ikut."
Ibu menghela napas panjang dan tampak sedikit lemas. "Oalah, kalau begitu jaga rumah sajalah. Kalau hujan angkat jemuran, jangan lupa!" pesan Ibu sebelum berangkat.
Ibu pasti mengira kepulanganku ingin ikut-ikutan menghadiri hajatan Pak Kades. Maaf, Bu, aku terlanjur masgyul dengan cara kotor Pak Mustar dan keluarga. Kuyakin Bapak juga makin gedek saja padaku, bisa-bisa ia menganggapku musuh pejabat desa. Sejak malam wajahnya masih masam, begitulah kalau ada yang tidak srek dengan hatinya, ia marah. Bapak gampang ambekan.
Aku masih berdiri memperhatikan keluarga dan para tetangga yang mulai bergerak menjauhi rumah-rumahnya. Tapi, tiba-tiba Mas Firgi lari ke arahku yang berdiri di ambang pintu.