Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sukacita yang Semu

10 November 2024   11:18 Diperbarui: 10 November 2024   11:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pria dengan seperangkat alat musik tradisional (sumber pexels.com/@maxime-levrel)

"Lho, Simbok, kan, bukan tetangga dekat apalagi kerabat jadi nggak rewangan pun nggak apa-apa. Tapi, sebagai dukungan dan bentuk terima kasih, Simbok beri Pak Kades hasil panen seperti umbi-umbian dan sayuran."

Aku hampir tersedak teh hangat yang baru sekali teguk, apa yang ibu paparkan bikin terperanjat. Soal ini aku belum tau sama sekali. Dan aku buru-buru bertanya, "Apa itu inisiatif Ibu sendiri?" 

Ibu menggelengkan kepalanya mantap dan menjawab, "Bukan, tapi disuruh Pak RT. Toh bukan cuma Ibu saja, semua warga yang bercocok tanam ikut nyumbang bahan makanan. Kata Pak RT, Pak Kades, senang hati menerima pemberian warganya."

"Ya, benar saja, Simbok!?" tukas Mulan sama kagetnya.

Ibu menoleh ke arah Mulan, keningnya mengkerut. Ia terlihat keheranan mendengar respon temanku. Dan aku buru-buru meluruskan.

"Gini lho, Bu, sebetulnya apa yang Ibu dan warga lakukan itu nggak dibolehkan oleh hukum. Sepatutnya Pak Kades pun nggak boleh menerima apalagi sampai meminta," jelasku penuh kehati-hatian.

"Lho, masa sih, Nduk?"

Aku menelan ludah dan berusaha menampakkan gestur sopan alih-alih menunjukkan kejengkelan. "Nggih, Bu. Itu namanya tanam budi."

"Halah! Anak muda yang lama tinggal di kota bahasanya suka ketinggian!" sambar Bapak yang tanpa ketahuan nyelonong masuk entah dari pintu ruangan mana. 

Aku terkesiap Bapak menguping obrolan kami. Bapakku tipe orang yang jarang mengobrol, tapi sekalinya bicara acap kali langsung menusuk kalau ia memang sudah kadung tak suka. Sungguh, selain kata-katanya yang tak mengenakan hati, nadanya pun meninggi penuh ketidaksukaan. Sampai-sampai menarik perhatian Mas Firgi dan istrinya yang sedang menemani Sofyan main di teras depan. 

Tanggapan Bapak yang tidak ramah itu tentu saja menggebuk nyaliku yang tadinya ingin menjelaskan lebih banyak biar Ibu paham. Walaupun yang dilontarkannya ditujukan padaku, tetapi aku merasa malu dan tak enak oleh Mulan, sepertinya Ibu juga demikian. Ibu dan aku sudah bisa memaklumi, tapi orang lain belum tentu bisa. Aku berharap ia tidak kapok main ke rumah. Dalam diamku, tumbuh rasa kecewa pada Bapak yang tidak bisa menahan ucapannya setidaknya saat ada tamu. Detik itu juga tamatlah obrolan kami dan berakhir dengan ketidaknyamanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun