Seminggu yang lalu aku diberi kabar oleh Ibu, katanya akan ada acara besar di desa. Awalnya aku tak menaruh perhatian lebih, tapi setelah tahu detailnya seperti apa kontan dibuat melongo. Dalam hal ini dengan kesadaran penuh, aku tidak menyepelekan apa yang menjadi kebahagiaan orang lain. Namun, yang kusoroti itu kesewenang-wenangan si punya hajat. Mirisnya, warga selalu memandang hal itu sesuatu yang wajar.
"Selamatan akbar atas kelahiran buah hati pertama kami, Narendra Putra. Harapan dan doa baik, mugi-mugi selalu menyertai."
Kurapal seuntai kalimat itu yang tercetak di baliho persegi panjang yang dibentangkan di bawah gapura pintu masuk desa. Di sana pun tertera foto bayi merah mengenakan blangkon dan surjan. Sisi kiri dan kanan baliho dihiasi janur kuning berjurai-jurai yang menari-nari dimainkan angin.
"Astaga!" Orang di sebelahku ternganga. Ia teman kerja di perantauan yang ikut denganku pulang kampung.
Padanya aku tersenyum kecut, sebuah senyum yang didasari fakta pahit yang melekat di kehidupan warga desa yang lugu. Dari raut wajah dan gerak-gerik bola matanya, sepertinya ia siap mencemooh. Tapi Bapak dan sepupuku keburu datang menjemput, yang tadinya tampak dongkol, air mukanya menghangat lalu menyalami dua anggota keluargaku yang mana itu pertemuan ke-dua mereka.
***
Setelah lima bulan tidak pulang, akhirnya aku bisa mendapatkan cuti. Setiap mudik aku selalu menaiki bus dan kereta api. Ketika sudah sampai pintu masuk desa, barulah dijemput oleh motor agar sampai rumah lebih cepat. Tidak ada yang berubah, desa masih menyambut anak rantau sepertiku dengan damai dan tenang. Keberadaan rumah dan keluarga, juga lanskap alam yang masih perawan, budaya yang dirawat baik dan kepedulian sosial tinggi, semuanya kerap mengundang rindu dan haru.
"Serius Simbok, iklan pemberitahuan hajatannya sudah kayak baliho kampanye saja," kelakar temanku, Mulan, kepada Ibu.
Baru beberapa saat sampai rumah, Mulan langsung membuka topik hal yang paling menarik perhatiannya.
Ibu yang sedang menata, getuk, brem dan wedang ronde di meja, lantas mengetuk bahu Mulan gemas, lalu berkata, "Lah iya tho, itu kan kelahiran ontang-anting mereka. Wajar Pak Kades jor-joran. Toh mereka orang nomor siji di sini."
Aku terkesan mendengar pembelaan Ibu yang segitunya sampai temanku mati kutu seketika. Selama perjalanan menuju rumah, terlihat baliho itu ada di mana-mana, mungkin di setiap ke RT-an.
"Justru nggak wajar, Bu. Bisa-bisanya seheboh itu seperti agenda penting desa saja," protesku.
"Tapi kami nggak mempermasalahkan itu, Nduk!" pungkas Ibu. Pernyataan singkat yang kesannya ingin menyudahi argumen.
Aku dan Mulan tak lagi bercakap, memilih mengalah, sejenak ada ketegangan yang merebak di antara kami. Namun, untung saja aroma sedap suguhan di depan kami bisa sedikit mencairkan suasana. Manisnya getuk warna-warni, keasam-asaman brem yang meninggalkan sensasi dingin di mulut dan kuatnya rasa jahe yang menghangatkan dari wedang ronde, mengiringi obrolan kami selanjutnya dengan bahasan yang lebih ringan.
***
Menjelang senja di kala matahari mulai meredup dan kesibukan mereda, kakakku, Mas Firgi dan keluarga kecilnya sampai rumah juga. Kali ini di momen selain lebaran, Ibu berhasil membujuk anak-anaknya pulang. Sejak menikah sekitar tiga tahun yang lalu, kakakku menetap di daerah asal istrinya yang jauhnya puluhan kilo meter dari desa. Akhirnya kami pun bisa menghabiskan waktu meluapkan rasa kangen yang terkatung-katung selama berbulan-bulan.
Ibu dan Bapak yang selalu menanti-nanti kepulangan anak-anaknya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kami. Kamar-kamar kosong yang kami tinggalkan sudah bersih dan rapi kembali. Beberapa hidangan spesial kesukaan kami seperti gudeg dan tongseng siap dicicipi. Sungguh tiada yang lebih hangat dari rumah orangtua dan tiada yang lebih enak dari masakan Ibu.
Seusai makan bersama, kami bergegas bersilaturahmi ke tetangga. Ritual wajib saat pulang kampung agar tali persaudaraan tetap terjalin erat. Lebih-lebih kalau pulang membawa buah tangan sekalian saja kami membagikannya pada mereka. Jarak dan waktu yang memisahkan, rentang pertemuan yang jarang, jangan sampai membuat hubungan bertetangga renggang. Malam adalah waktu yang tepat untuk bersilaturahmi, karena saat hari masih terang mereka sibuk bekerja di sawah dan ladang.
Sepulang sowan dari tetangga ada pertanyaan yang kubawa ke rumah. Satu tetangga yang dikenal sebagai pembuat kue wajik yang manis dan legit tidak ada di kediamannya. Ibu yang tengah menonton tv di ruang tengah sambil menunggu anak cucunya, langsung kutanyai ke mana Pak Satmoko, si pembuat makanan khas Jawa itu.
Ibu refleks menganga dan menepuk jidatnya yang tak lagi kencang. Gesturnya mengisyaratkan ada yang luput diberitahukan sebelumnya. Dan dia pun mengaku lupa mengatakan kalau Pak Satmoko lagi rewangan di Pak Kades.
"Kenapa Simbok nggak ikut juga toh?" Sekonyong-konyong mulan ikut nimbrung. Ia datang dari dapur sambil membawa beberapa gelas teh hangat beralas nampan stainless.
"Lho, Simbok, kan, bukan tetangga dekat apalagi kerabat jadi nggak rewangan pun nggak apa-apa. Tapi, sebagai dukungan dan bentuk terima kasih, Simbok beri Pak Kades hasil panen seperti umbi-umbian dan sayuran."
Aku hampir tersedak teh hangat yang baru sekali teguk, apa yang ibu paparkan bikin terperanjat. Soal ini aku belum tau sama sekali. Dan aku buru-buru bertanya, "Apa itu inisiatif Ibu sendiri?"
Ibu menggelengkan kepalanya mantap dan menjawab, "Bukan, tapi disuruh Pak RT. Toh bukan cuma Ibu saja, semua warga yang bercocok tanam ikut nyumbang bahan makanan. Kata Pak RT, Pak Kades, senang hati menerima pemberian warganya."
"Ya, benar saja, Simbok!?" tukas Mulan sama kagetnya.
Ibu menoleh ke arah Mulan, keningnya mengkerut. Ia terlihat keheranan mendengar respon temanku. Dan aku buru-buru meluruskan.
"Gini lho, Bu, sebetulnya apa yang Ibu dan warga lakukan itu nggak dibolehkan oleh hukum. Sepatutnya Pak Kades pun nggak boleh menerima apalagi sampai meminta," jelasku penuh kehati-hatian.
"Lho, masa sih, Nduk?"
Aku menelan ludah dan berusaha menampakkan gestur sopan alih-alih menunjukkan kejengkelan. "Nggih, Bu. Itu namanya tanam budi."
"Halah! Anak muda yang lama tinggal di kota bahasanya suka ketinggian!" sambar Bapak yang tanpa ketahuan nyelonong masuk entah dari pintu ruangan mana.
Aku terkesiap Bapak menguping obrolan kami. Bapakku tipe orang yang jarang mengobrol, tapi sekalinya bicara acap kali langsung menusuk kalau ia memang sudah kadung tak suka. Sungguh, selain kata-katanya yang tak mengenakan hati, nadanya pun meninggi penuh ketidaksukaan. Sampai-sampai menarik perhatian Mas Firgi dan istrinya yang sedang menemani Sofyan main di teras depan.
Tanggapan Bapak yang tidak ramah itu tentu saja menggebuk nyaliku yang tadinya ingin menjelaskan lebih banyak biar Ibu paham. Walaupun yang dilontarkannya ditujukan padaku, tetapi aku merasa malu dan tak enak oleh Mulan, sepertinya Ibu juga demikian. Ibu dan aku sudah bisa memaklumi, tapi orang lain belum tentu bisa. Aku berharap ia tidak kapok main ke rumah. Dalam diamku, tumbuh rasa kecewa pada Bapak yang tidak bisa menahan ucapannya setidaknya saat ada tamu. Detik itu juga tamatlah obrolan kami dan berakhir dengan ketidaknyamanan.
Sikap Bapak bisa dibilang representasi dari karakteristik mayoritas warga yang muskil diluruskan pola pikirnya. Nyatanya orang-orang seperti itulah yang menjadi sasaran empuk para pejabat niretika.
***
Suasana jam delapan pagi di minggu itu berbeda dari biasanya, riuh oleh antusias warga. Para tetangga termasuk orangtuaku sengaja meliburkan diri dari pekerjaannya. Syahdan gema musik gamelan mengalun mengudara dari arah balai desa. Hajatan akbar sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran anak pertama sang kepala desa setelah 20 tahun pernikahannya telah tiba.
Pak Mustar, namanya. Menantu pertama dari Kades dua periode sebelumnya. Berkat citra bapak mertuanya yang terbingkai baik di mata warga, Pak Mustar mudah saja mendapat simpati warga. Hajatan tersebut adalah penutup dari serangkaian tradisi yang dijalankan dari mulai anak bayinya masih dalam kandungan seperti Mitoni, berlanjut setelah lahir di antaranya medhem ari ari, brokohan, sepasaran, puputan, akikah dan selapanan. Dan kabarnya masih akan ada tradisi yang akan dilakukan kedepannya, seperti tedak siten.
Kata Ibu, penggunaan fasilitas desa untuk hajatannya tanpa ada kata izin kepada warga. Namun, tentu saja warga tak sampai mempersalahkannya. Ya, memang warga pun turut diundang untuk prasmanan tapi dipisahkan hanya diperkenankan di area luar karena balai desa yang luasnya tidak begitu besar hanya diperuntukkan bagi para tokoh penting saja.
Orangtuaku sudah mengenakan pakaian batik terbaiknya begitupun Mas Firgi, istirnya dan Sofyan. Raut-raut semringah terpancar dari wajah mereka yang tak sabar lagi ingin berangkat menghadiri hajatan dan menonton hiburan yang disediakan.
"Lho lho kok belum dandan, Nduk. Nggak ikut tho? Mana, Mulan?" tanya Ibu sembari memasang wajah kecewa melihatku yang masih kucel belum tersentuh sabun mandi.
"Nggak, Bu. Laras, capek. Mulih dilik pengennya istirahat. Toh besok sore harus ke kota lagi. Oh iya, Mulan, lagi di kamar mandi. Sepertinya dia juga nggak bakal ikut."
Ibu menghela napas panjang dan tampak sedikit lemas. "Oalah, kalau begitu jaga rumah sajalah. Kalau hujan angkat jemuran, jangan lupa!" pesan Ibu sebelum berangkat.
Ibu pasti mengira kepulanganku ingin ikut-ikutan menghadiri hajatan Pak Kades. Maaf, Bu, aku terlanjur masgyul dengan cara kotor Pak Mustar dan keluarga. Kuyakin Bapak juga makin gedek saja padaku, bisa-bisa ia menganggapku musuh pejabat desa. Sejak malam wajahnya masih masam, begitulah kalau ada yang tidak srek dengan hatinya, ia marah. Bapak gampang ambekan.
Aku masih berdiri memperhatikan keluarga dan para tetangga yang mulai bergerak menjauhi rumah-rumahnya. Tapi, tiba-tiba Mas Firgi lari ke arahku yang berdiri di ambang pintu.
"Serius, Ndak mau ikut nih? Selain musik dan tarian tradisional, bakal ada biduan dangdut koplo terkenal lho, mending ikut saja, kapan lagi bisa lihat yang gratisan. Biar Mas dan Mbak Suri, tungguin deh," bujuk kakakku. Matanya menatapku lamat-lamat, tapi kutolak. Ia pun pasrah dan bergegas pamitan.
"Lah anak gadis satu ini, nggak ikut tho, Ras? Di sana bakal banyak pemuda-pemuda pegawai desa, siapa tahu ada yang nyantol, lho!" teriak salah satu tetangga, Mbak Tuyen, yang berangkat sambil menggendong bayinya.
"Ora, Mbak, matur nuwun," balasku lantang agar didengar jelas olehnya yang agak budeg meskipun masih muda.
Mbak Tuyen nyengir saja, lalu berbalik mengikuti langkah orang-orang di depannya. Aku masuk ke dalam, duduk tertekur menunggu giliran Mandi karena Mulan belum selesai. Suasana rumah hening bahkan lingkungan sekitar pun mendadak senyap, kosong melompong. Para penghuninya berbondong-bondong pergi ke pusat keramaian menyongsong sukacita yang semu.
Memang setiap pulang kampung tak selalu menghadirkan kesan yang menyenangkan saja. Rasa prihatin pun kerap muncul ketika melihat realita warganya yang sering dicap "wong ndeso" dengan konotasi negatif, yang keluguannya kerap dimanfaatkan dan mudah dipengaruhi.
***
Catatan
1. Ontang-anting: Anak tunggal laki-laki
2. Sowan: Berkunjung atau berpamitan
3. Rewangan: Tradisi gotong royong yang dilakukan masyarakat Jawa untuk membantu kerabat atau tetangga yang sedang hajatan
4. Mitoni: Upacara adat yang dilakukan saat kandungan calon ibu memasuki tujuh bulan
5. Medhem ari ari: Tradisi mengubur ari-ari
6. Brokohan: Tradisi yang dilakukan setelah bayi lahir untuk memohon berkah dan keselamatan. Serta sebagai rasa syukur kepada Tuhan
7. Sepasaran: Upacara Adat yang dilakukan pada hari kelima setelah bayi lahir
8.Puputan: Upacara adat yang dilakukan ketika tali pusar bayi putus
9. Selapanan: Upacara adat yang dilakukan 35 hari setelah bayi lahir
10. Tedak siten: Upacara adat ketika seorang anak menginjakkan kaki ke tanah untuk pertama kalinya
11. Mulih dilik: Pulang sebentar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H