"Serius, Ndak mau ikut nih? Selain musik dan tarian tradisional, bakal ada biduan dangdut koplo terkenal lho, mending ikut saja, kapan lagi bisa lihat yang gratisan. Biar Mas dan Mbak Suri, tungguin deh," bujuk kakakku. Matanya menatapku lamat-lamat, tapi kutolak. Ia pun pasrah dan bergegas pamitan.
"Lah anak gadis satu ini, nggak ikut tho, Ras? Di sana bakal banyak pemuda-pemuda pegawai desa, siapa tahu ada yang nyantol, lho!" teriak salah satu tetangga, Mbak Tuyen, yang berangkat sambil menggendong bayinya.
"Ora, Mbak, matur nuwun," balasku lantang agar didengar jelas olehnya yang agak budeg meskipun masih muda.
Mbak Tuyen nyengir saja, lalu berbalik mengikuti langkah orang-orang di depannya. Aku masuk ke dalam, duduk tertekur menunggu giliran Mandi karena Mulan belum selesai. Suasana rumah hening bahkan lingkungan sekitar pun mendadak senyap, kosong melompong. Para penghuninya berbondong-bondong pergi ke pusat keramaian menyongsong sukacita yang semu.
Memang setiap pulang kampung tak selalu menghadirkan kesan yang menyenangkan saja. Rasa prihatin pun kerap muncul ketika melihat realita warganya yang sering dicap "wong ndeso" dengan konotasi negatif, yang keluguannya kerap dimanfaatkan dan mudah dipengaruhi.
***
Catatan
1. Ontang-anting: Anak tunggal laki-laki
2. Sowan: Berkunjung atau berpamitan
3. Rewangan: Tradisi gotong royong yang dilakukan masyarakat Jawa untuk membantu kerabat atau tetangga yang sedang hajatan
4. Mitoni: Upacara adat yang dilakukan saat kandungan calon ibu memasuki tujuh bulan