Aku terkesan mendengar pembelaan Ibu yang segitunya sampai temanku mati kutu seketika. Selama perjalanan menuju rumah, terlihat baliho itu ada di mana-mana, mungkin di setiap ke RT-an.
"Justru nggak wajar, Bu. Bisa-bisanya seheboh itu seperti agenda penting desa saja," protesku.
"Tapi kami nggak mempermasalahkan itu, Nduk!" pungkas Ibu. Pernyataan singkat yang kesannya ingin menyudahi argumen.
Aku dan Mulan tak lagi bercakap, memilih mengalah, sejenak ada ketegangan yang merebak di antara kami. Namun, untung saja aroma sedap suguhan di depan kami bisa sedikit mencairkan suasana. Manisnya getuk warna-warni, keasam-asaman brem yang meninggalkan sensasi dingin di mulut dan kuatnya rasa jahe yang menghangatkan dari wedang ronde, mengiringi obrolan kami selanjutnya dengan bahasan yang lebih ringan.
***
Menjelang senja di kala matahari mulai meredup dan kesibukan mereda, kakakku, Mas Firgi dan keluarga kecilnya sampai rumah juga. Kali ini di momen selain lebaran, Ibu berhasil membujuk anak-anaknya pulang. Sejak menikah sekitar tiga tahun yang lalu, kakakku menetap di daerah asal istrinya yang jauhnya puluhan kilo meter dari desa. Akhirnya kami pun bisa menghabiskan waktu meluapkan rasa kangen yang terkatung-katung selama berbulan-bulan.
Ibu dan Bapak yang selalu menanti-nanti kepulangan anak-anaknya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kami. Kamar-kamar kosong yang kami tinggalkan sudah bersih dan rapi kembali. Beberapa hidangan spesial kesukaan kami seperti gudeg dan tongseng siap dicicipi. Sungguh tiada yang lebih hangat dari rumah orangtua dan tiada yang lebih enak dari masakan Ibu.
Seusai makan bersama, kami bergegas bersilaturahmi ke tetangga. Ritual wajib saat pulang kampung agar tali persaudaraan tetap terjalin erat. Lebih-lebih kalau pulang membawa buah tangan sekalian saja kami membagikannya pada mereka. Jarak dan waktu yang memisahkan, rentang pertemuan yang jarang, jangan sampai membuat hubungan bertetangga renggang. Malam adalah waktu yang tepat untuk bersilaturahmi, karena saat hari masih terang mereka sibuk bekerja di sawah dan ladang.
Sepulang sowan dari tetangga ada pertanyaan yang kubawa ke rumah. Satu tetangga yang dikenal sebagai pembuat kue wajik yang manis dan legit tidak ada di kediamannya. Ibu yang tengah menonton tv di ruang tengah sambil menunggu anak cucunya, langsung kutanyai ke mana Pak Satmoko, si pembuat makanan khas Jawa itu.
Ibu refleks menganga dan menepuk jidatnya yang tak lagi kencang. Gesturnya mengisyaratkan ada yang luput diberitahukan sebelumnya. Dan dia pun mengaku lupa mengatakan kalau Pak Satmoko lagi rewangan di Pak Kades.
"Kenapa Simbok nggak ikut juga toh?" Sekonyong-konyong mulan ikut nimbrung. Ia datang dari dapur sambil membawa beberapa gelas teh hangat beralas nampan stainless.