Aku tidak pernah berekspektasi mengalami suatu hal yang membawaku hingga sejauh ini. Itulah yang kupikirkan kali pertama saat kakiku menapaki alas parket sebuah ruangan dengan beberapa kursi tunggu yang lengang. Tempat berplang bahasa Swedia itu membuatku terkesima sekaligus gugup. Meskipun sebelumnya sudah mengetahui segala hal tentang tempat ini, tetapi masih saja tersempil rasa tak percaya terutama dengan kenyataan yang sebentar lagi akan aku alami.
Perempuan sebaya yang sedari tadi mendampingiku menepuk-nepuk pundakku dengan lembut, sorot matanya seolah mengatakan, "Semuanya akan baik-baik saja." Dia tahu betul yang aku rasakan dan dia pula yang memberiku kesempatan sangat langka nan mahal ini sehingga aku bisa berada di sini, di tempat yang sulit kuyakini "nyata". Rupanya teknologi dan pemikiran orang-orang di luar sana lebih gila majunya daripada yang kupikirkan.
Aku membisik padanya, "Thanks." Entah Itu ucapan terima kasih yang keberapa kali, sampai-sampai dia melontarkan protes karena bosan mendengarnya. Dia menarikku untuk duduk dan menyarankanku agar lebih rileks. Aku tersenyum padanya sembari mengenang betapa loyalnya dia sebagai seorang sahabat. Bagaimana tidak, dari sekian banyak kebaikannya, kali inilah yang paling membuatku tercengang.
Andien, dengan gilanya memboyongku secara khusus ke negeri perantauannya, Finlandia. Negara dengan predikat kualitas pendidikan terbaik dan paling bahagia di dunia itu akhirnya bisa kusambangi berkat tekad Andien yang menggebu-gebu.
"Aura, aku serius banget mau bawa kamu ke Finlandia. Tolong siapkan dokumen yang dibutuhkan. Seminggu lagi aku bakal pulang ke Indonesia!" seru Andien saat bertelepon sekitar dua minggu yang lalu.
Keningku mengerut lama. "Lho, kenapa tiba-tiba sekali?" aku bertanya antara senang dan bingung. "Ayolah, kamu nggak bakal pernah menyesal pergi ke sini," tuturnya tak panjang lebar. Tentu saja, mana ada penyesalan pergi ke salah satu negara impian. Hanya saja terkesan mendadak, di mana hal itu akan berimbas pada bisnis jasa titip barang yang sedang aku jalankan.
Namun, karena itu kesempatan yang mungkin hanya akan datang sekali seumur hidup, aku iyakan tanpa banyak pertimbangan. Selama aku berada di luar negeri, kuputuskan bisnis akan di-handle sepenuhnya oleh sepupuku. Barang tentu kunjungan ke Finlandia bakal kumanfaatkan juga dengan membuka jasa titip barang dari negara tersebut.
Sejak ada ajakan yang tak disangka-sangka itu, aku merasa sangat antusias mimpiku melihat aurora borealis di Lapland akan segera terwujud, barangkali memang itu alasan Andien mengajakku ke sana sebagai surprise ulang tahun. Namun, aurora bukan satu-satunya wishlist-ku yang ingin Andien realisasikan. "Sebenarnya ada hal yang lebih penting dari sekadar melihat fenomena alam menakjubkan itu," ucapnya setelah kami mendaratkan bokong di kursi pesawat, beberapa saat sebelum take-off.
Aku menatapnya lama, tapi tidak begitu menaruh peduli. "Apa itu?" Dia mengulum senyum, raut tengil yang khas menggurat di wajahnya. "Aku bakal kasih tahu setelah kita sampai di Finlandia." Andien tertawa pelan, seperti merasa puas sudah menjeratku ke dalam rencananya. Karena dari awal sudah sangat antusias melihat aurora, aku merasa tidak begitu penasaran dengan hal lain. Apa pun yang Andien lakukan pasti takkan aneh-aneh, jadi tidak perlu dipusingkan, pikirku saat itu.
Hampir sembilan belas jam kami mengudara sebelum akhirnya tiba di Bandara Internasional Vantaa, Helsinki. Setelah jeda beberapa saat di ibu kota, kami harus melanjutkan perjalanan ke kota Espoo, tempat di mana Andien tinggal dan bekerja, jaraknya sekitar 27 kilometer dari Helsinki. Aku yang belum terbiasa dengan perjalanan udara belasan jam alhasil diserang jet lag dan faktor cuaca semakin membuat tubuhku terasa lebih rapuh. Hampir dua hari kuhabiskan beristirahat agar kondisiku cepat membaik.
Rasanya betah walaupun hanya beraktivitas di dalam apartemen atau orang lokal menyebutnya dengan korrestalo, meskipun tidak begitu luas tapi masih oke ditinggali oleh dua orang setidaknya untuk sementara waktu. Uniknya di apartemen Andien terdapat sauna mini, kata Andien bahkan di semua apartemen biasanya memang dilengkapi sauna. Tempat umum dan rumah-rumah warga pun ada saunanya. Bagi orang Finlandia ternyata sauna sudah menjadi suatu kebutuhan.
Gedung apartemen di sana hanya setinggi empat lantai, tetapi berbentuk memanjang jadi terdapat banyak ruangan, Andien sendiri menyewa di lantai tengah. Sisa perjalanan hari sebelumnya dari Helsinki ke Espoo meninggalkan kesan luar biasa karena pemandangan arsitektur kotanya yang menarik.
Aku semakin tidak sabar mengeksplorasi lebih banyak tempat di negara Nordik tersebut. Namun, agak mengecewakan ketika Andien tidak merestui pergi jalan-jalan di keesokan harinya, dia menegaskan ada sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan sebelum berkeliling-keling kota dan melihat aurora. Mulanya aku merasa kesal sebelum mengetahui apa yang sebenarnya Andien rencanakan untukku.
***
Derit pintu menyusutkan fokusku kembali ke ruangan itu. Sesosok perempuan cantik nan jangkung, kulit putih dengan rambutnya pirang dikuncir kuda keluar dari sana. Refleks tubuhku menegang takut-takut disuruh segera masuk, tapi ternyata hanya menyampaikan pesan agar sabar menunggu dan sedikit berbincang bersama Andien dalam bahasa Swedia, bahasa yang banyak digunakan oleh orang Finlandia. Tentu saja aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Setelah wanita itu masuk lagi, Andien membisik memberitahuku dia asisten Tn. Ilmari, namanya Katariina, kekasih Joosep, teman Andien di perusahaan farmasi tempatnya bekerja yang mana merupakan ponakan Tn. Ilmari. Joosep adalah orang dalam yang membawa informasi penting kepada Andien yang membuatku sekarang ada di sini.
"Kau pasti punya fotonya kan? Masih saling berteman di Instagram? Juga saling menyimpan kontak?" Tiga pertanyaan sekaligus keluar dari mulutnya dalam beberapa detik saja. Anggukan pelan kuberikan sebagai jawaban.
"Hapus fotonya dan blokir semua akun yang tersambung dengan dia," titah Andien to the points.
"Kenapa baru sekarang?"
Ia mendesah syarat rasa sesal, dia lupa memberitahuku hal sepenting itu dan baru teringat ketika melihat Katariina barusan. "Masih ada waktu, cepat lakukan saja!" tambahnya tegas.
Andai aku tak pernah ada di sini pun semuanya akan berakhir tanpa arti apalagi hanya sebuah foto atau nomor telepon. Aku tidak memiliki benda-benda kenangan bersama, jadi tidak membawa apa pun ke sini. Nomor WhatsApp yang sekadar jadi koleksi jarang digunakan untuk saling komunikasi selama kurang lebih delapan tahun itu langsung kublokir, Instagram pun demikian.
Yang terakhir tiga potretnya yang tersimpan langgeng dalam galeri, pertama saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, kedua saat wisuda dengan toga dan ketiga saat berfoto di depan Stadion Santiago Bernabeu dengan mengenakan jersey klub bola kebanggaannya, Real Madrid. Dari SMA hingga dewasa dari yang tadinya akrab hingga berjarak dan aku masih dengan perasaan yang sama selama tiga fase kehidupannya. Dia? Mana peduli. Aku tetap terjebak dalam ketidakpastian itu hingga kini.
Tidak ada keengganan lagi melenyapkan ketiga foto itu. Namun, sekonyong-konyong sesak menghujam dada, padahal sebelumnya sudah mati-matian kuredam sejak awal kemunculannya dari sehari yang lalu ketika Andien mengangsurkan sebuah brosur berwarna biru tua, di bagian depan terdapat visual holografi otak. Di sana tertulis "Welcome to Minneslucka Inc" aku mengernyit, menatap Andien tak mengerti. "Apa ini?"
"Baca dulu saja. Itulah alasan utama kenapa aku mengajakmu kemari."
Aku melahap untaian kalimat demi kalimat yang tertera di brosur dan lamat-lamat memahami apa maksud yang disampaikan. Awalnya sulit dipercaya, berkali-kali aku bertanya meminta Andien serius menanggapiku. "Ya, itu nyata seratus persen. Bukan fiksi yang selalu kamu ceritakan itu. Kupastikan kamu akan menjalani prosedurnya secepat mungkin."
Pecahlah tangisku saat itu, perasaanku bisa dibilang campur aduk antara takjub, lega dan sedih. Aku sangat-sangat berterima kasih padanya atas semua kebaikan sampai di titik yang menurutku paling mustahil. Sering kali aku berceloteh padanya yang selalu setia mendengar curhatan dari yang paling remeh sampai kelewat penting.
Banyak kukatakan padanya andai di dunia ini ada teknologi untuk memodifikasi ingatan seperti yang ada dalam sebuah novel, film dan video musik yang pernah kulihat, maka aku ingin sekali mencobanya sekalipun bayarannya sangat mahal. Aku harus mencarinya kemana? Apa harus menunggu hingga 2050? Rasanya sudah tidak tahan lagi ingin mengakhiri perasaan yang tak kunjung menemui ujung, meskipun usaha untuk melupakan sudah berkali-kali kulakukan.
"Orang gila mana nge crush-in cowok sampai 11 tahun lamanya!" cibir Andien.
"Akulah orang gila itu," sahutku dengan hidung tersumbat ingus setelah reda menangis.
"Beruntungnya teknologi super canggih impianmu telah ditemukan dan kamu akan pulih dari gila," ledeknya sambil berjalan menuju kamar dan kembali dengan membawa laptop lalu menyodorkannya padaku.
Dia membuka website Minneslucka Inc, minneslucka berasal dari bahasa Swedia yang artinya "celah memori". Andien menyuruhku menyelesaikan registrasi agar permohonannya cepat di-acc. Sebenarnya satu nomor untukku sudah diamankan terlebih dahulu oleh Joosep, keponakan dari Ilmari Hesekiel, sang ilmuwan kenamaan Finlandia, penemu teknologi bernama Trauma Recovery Technology (TRT) yang memiliki fungsi menghapus ingatan secara permanen.
Andien dan Joosep berteman baik, mereka berkerja di perusahaan farmasi yang sama. Tanpa mereka berdua mana mungkin aku mendapat kesempatan ini. Setelah mengantongi izin dari pemerintah, klinik itu membuka pendaftaran tahap awal hanya untuk 12 orang saja. 5 untuk pecandu obat-obatan terlarang, 5 lagi untuk pengidap PTSD (post-traumatic stress disorder) dan 2 untuk orang yang memiliki masalah percintaan "kronis". Selain masih terbatas, biaya yang dikenakannya pun terbilang mahal.
Bagiku tidak masalah, aku memiliki cukup tabungan dan Andien tahu itu, oleh karenanya dia tidak segan mengajakku ke sini tanpa lebih dulu memberitahuku. Setelah indentitas lengkapku dikantongi pihak klinik, sehari berikutnya aku mendapat panggilan. Andien yang sengaja mengambil cuti tahunannya selama 10 hari yang sebagian sudah terpakai ketika liburan di Indonesia masih bisa mendampingiku ke klinik yang berada satu kompleks dengan Tapiola Health Center, pusat kesehatan masyarakat Espoo.
Derit pintu kembali terdengar lagi membuatku mengalihkan atensi pada siapa yang keluar yang ternyata masih tetap sama, Katariina. Kali ini dia memberiku informed consent beralaskan papan dada yang harus kusetuji. Tidak ada yang kukhawatirkan mengenai prosedur di Minneslucka Inc. Kebetulan akulah pasien terakhir, testimoni pasien-pasien sebelumnya pun bernada memuaskan. Teknologi tersebut mulai dikembangkan dari lima tahun lalu, yang mana sudah melewati banyak pengujian sampai di fase siap diaplikasikan pada manusia.
Aku sedikit mengulur waktu tidak cepat-cepat menyerahkan informed consent pada Katariina yang sudah kutandatangani. Dan dalam waktu singkat itu ingatan tentangnya kembali memutar singkat, untuk kali terakhir aku ingin mengenang bagaimana rupa dan segala tingkah polahnya. Jangkung, tampan, hidung mancung, mata belo dan rambut yang selalu tertata rapi.
Tanpa bisa kucegah segala hal menarik dirinya pun ikut riuh merecoki benak yang sebentar lagi akan kehilangan ingatan tentangnya. Selama sebelas tahun namanya sering kuseret dalam doa hingga rasanya sudah lelah meminta. Harapan dan ekspektasi tumbuh menggunung, luka dan kecewa tak lagi terukur dan tangis pun tak terhitung. Capek dan getir. Lebih baik melenyapkan ingatan daripada harus selalu terjebak oleh perasaan yang tak kunjung terbalaskan.
Ketika proses melupakan secara alamiah tak kunjung ada hasil, maka aku memilih Jalan Pintas untuk melupakannya hingga ke akar-akarnya. Ketidaksanggupanku melihatnya bersanding dengan orang lain, takkan pernah terjadi berkat adanya teknologi ini. Aku tidak pernah berani mengakui perasaan dan lebih memilih menghapus ingatan. Itu sudah final.
"Besok kalau kamu nggak merasa capek, kita terbang ke Lapland buat lihat aurora," cicit Andien sambil tersenyum seolah sedang menghibur anak kecil yang sedih karena mainannya rusak.
"Ya," sahutku, balas tersenyum.
Andien adalah sahabat yang sangat pengertian, dia rela mengajakku kemari bukan karena dia sudah bosan mendengar keluhan-keluhanku melainkan merasa kasihan dan khawatir dengan masa depanku. Umurku sudah lebih dari cukup untuk menikah, dia sendiri tidak lama lagi akan bertunangan. Aku masih kesulitan membuka hati untuk orang lain, juga berkali-kali gagal menjalani proses perjodohan. Hatiku menolak disusupi orang lain karena di sana ada satu nama yang telah menetap sebegitu lamanya.
"Miss Aura, come in, please!" Katariina memanggil dari balik pintu.
Deg. Dadaku rasanya terhentak hebat, sensasi dingin merambati sekujur tubuh. Sebelum bangkit dari duduk kuambil napas panjang. Tangan Andien mengelus-elus punggungku dan itu membuatku sedikit lebih tenang. Masih sulit dipercaya sebentar lagi akan ada yang merengsek masuk ke dalam bagian otak bernama hipokampus, melumat seluruh ingatan yang ditargetkan. Aku mengira-ngira bentuk teknologi canggih itu, apa akan seperti dalam film Eternal Sunshine of the Spotless Mind atau video musik Ariana Grande, we can't be friends? Entahlah, meskipun menyesakkan yang jelas aku sudah siap kehilangan seluruh ingatan tentang Willy, orang yang paling aku sukai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H