Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Mengapa Aku Miskin?

9 Mei 2024   15:40 Diperbarui: 7 Juli 2024   16:51 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kecil memanggul karung (pixabay.com/billycm)

Tepat kelas tiga, Esti, sang ibu, menyerah pada penyakitnya dan ketika semester dua kelas empat, kakeknya ditemukan meninggal secara mengenaskan karena terjatuh dari pohon enau. Pondasi keluarganya semakin pincang, dalam banyak kesempatan ia sengaja berusaha menyabotase ingatan akan sang ayah yang tidak tahu di mana juntrungnya. Kabar hasil menguping diam-diam dari obrolan neneknya bersama kakek semasa hidup, ayahnya tega meninggalkan dirinya selepas dilahirkan. Ibu dan anak itu dicampakkan begitu saja, entah apa alasannya, Anwar tidak pernah tahu. Hal itu membuat statusnya membingungkan, tercatat seorang piatu, padahal sejak bayi hingga kini ayahnya pun tak pernah muncul lagi. "Bukankah kita ini miskin dalam segala hal?" Pertanyaan itu pernah ia lontarkan pada Mirah, sebagai respon dari perkataan neneknya yang mengatakan bahwa mereka sebenarnya kaya karena sehat walafiat. Namun, definisi kaya untuk Anwar ada dua yang bisa diartikan keluarga dan harta. Sayang, ia tak memiliki keduanya. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah neneknya. Meskipun masih ada yang bisa disebut kerabat, tetapi karena miskin, Mirah dan Anwar enggan diakrabi. Mereka sasaran empuk dari pahitnya diskriminasi sosial. Sekonyong-konyong Anwar terperanjat, tetes-tetes air menembus batang dan dedaunan di atasnya lalu disusul oleh rintik yang semakin ramai. Hujan. Ia kembali sepenuhnya sadar dari lamunan, lalu bangkit memanggul karung rumput, melepas tali kambing lalu dituntun dan tak lupa menjinjing rantang. Pundak mungilnya tak setara dengan beban yang dipikul, anak sekecil itu harus dikangkangi nasib kurang mujur. Sementara kakinya terus melangkah, ia keheranan kenapa bisa turun hujan padahal sebelumnya cerah sekali. Namun, ia ingat guru sekolah pernah mendaraskan tentang krisis iklim yang berakibat tak menentunya siklus cuaca.

***

Hampir semalaman Anwar tidak bisa tidur, rasa cemas dan khawatir menyelubungi sepanjang waktu. Benar, neneknya sakit. Suhu tubuh Mirah sangat tinggi membuatnya meriang hebat. Kepalanya diserang migrain, hidung dan tenggorokan perih dan panas. Anwar kelabakan, yang ia lakukan hanya mengompres dan memberi obat warung, tetapi sampai pagi menjelang kondisi neneknya belum juga membaik. Anwar ingin sekali membawa Mirah ke klinik di kampung sebelah, tetapi ia yakin neneknya tak ada uang. Upah hasil kerja kemarin pun ia tahu telah dibayarkan untuk melunasi tunggakan listrik. Juga rongsokannya belum siap jual, masih sedikit. Lagi-lagi ia terjepit oleh peliknya finansial.

Rasa takut kehilangan mengusik ketenangannya lagi. Ia sulit berpikir jernih malah mengawang terlampau jauh. Anwar membantin takut neneknya semakin parah jika hanya mengandalkan obat warung saja. Ia tak ingin nasib neneknya sama seperti sang ibu. Pikiran buruk itu berusaha ia buyarkan, dialihkan dengan meminta neneknya bangun untuk makan dan minum obat. Selepas menyuapi neneknya yang hanya masuk beberapa sendok bubur, Anwar belum juga bangkit padahal beberapa menit lagi ia harus berangkat sekolah. Ia memainkan jari-jemarinya resah lalu dengan enggan meminta izin agar hari itu tidak masuk sekolah karena ingin menjaganya. Namun, Mirah menegaskan, "Mak, sudah tua bisa merawat sendiri. Kamu sudah melakukannya hampir sepanjang malam. Mak, tidak ridho kalau kamu sampai membolos," tuturnya bersuara parau. Sulit untuk membantah, Anwar pun berangkat sekolah dengan membekal kekalutan. 

Tengah hari lewat seperempat menit, Anwar belum juga pulang padahal Mirah sudah sangat menanti, kepalanya ingin dipijat dikarenakan pusingnya yang tak kunjung reda. "Kemana dulu, Cu?" Pada akhirnya pukul satu siang anak itu muncul dengan tampilan lebih kucel dan berkeringat tak seperti biasanya. Alih-alih menjawab pertanyaan Mirah, Anwar langsung menghampirinya dan mengajak berobat. Kening panas Mirah mengerut, bingung dengan ajakan cucunya yang di luar dugaan. Tanpa menunggu jawaban, Anwar mengeluarkan setumpuk uang kertas seribu hingga lima ribu dan recehan dari tas sekolah yang sudah beberapa kali Mirah jahit. Mata perempuan berusia 50-an itu membeliak. "Uang siapa? Dari mana?" tanyanya lirih, seolah suaranya habis dilibas perih karena radang tenggorokan. Wajah dan matanya yang memerah karena demam itu kian masak. Anwar bungkam, kebimbangan menggurat di wajahnya yang berpeluh. Tanpa jawaban pun, Mirah sudah bisa menebak. Ia yakin cucunya bolos sekolah lalu uang itu? Ada dua kemungkinan antara hasil mengamen atau mengemis di terminal sana. Dulu Anwar pernah melakukan hal itu ketika masih umur sembilan tahun karena dipengaruhi para pemuda terminal. Mengemis bermodalkan mengobral kisah hidup melaratnya.

Napas Mirah seketika memburu, kepalanya semakin berdenyut lalu berkata, "Mak, nggak minta berobat apalagi uang. Mak, cuma minta kamu sekolah, War!" 

Meskipun sakit dan suaranya tampak lemah, tetapi dari penekan tiap kata yang diucapkannya, ia tahu neneknya marah besar. Sebelum melakukan tindakan tak terpuji itu, Anwar sudah siap segala-galanya, kena marah pun tak mengapa asal neneknya bisa berobat. Anwar tidak merespon hanya menunduk menahan tangis. 

"Mak, sudah berkali-kali bilang meskipun kita nggak punya harta jangan merendahkan diri dengan meminta-minta. Kita hidup banyak diberi orang, sudah kenyang dipandang rendah. Kamu malah membuat kita lebih rendah lagi di mata mereka. Cukup kita bekerja dan dapat uang dari hasil keringat kita sendiri." Kali ini Mirah bertutur dengan suara nyaris hilang dilahap emosional yang bergumul di dalam dadanya.

Anwar mengusap air matanya menggunakan pergelangan tangan dan berucap pelan nan bergetar, "Maaf, Mak. Sekali lagi maafkan Anwar, ya. Anwar pengen Mak minum obat yang bagus biar cepat sembuh. Anwar t---akut, Mak---" Lidah anak itu mendadak kelu, tenggorokannya seolah tak menghendaki bersuara. Ia malah ambruk di pangkuan neneknya, menangis sedu sedan. Andai terasa lebih mudah dilafalkan, ia ingat berkata bahwa ia takut sekali kehilangan, takut ditinggalkan, takut harus hidup sebatang kara. Saat itu juga dalam pangkuan Mirah yang terasa begitu panas karena suhu tubuhnya yang belum turun, Anwar memohon pada Sang Pencipta jangan ambil neneknya lebih dulu dibanding dirinya. Tangis Mirah juga pecah, migrain kian parah, hidung dan tenggorokan yang terasa tak nyaman itu semakin tak karuan. Ia mengelus-elus kepala Anwar, memang ia marah dan kecewa tapi tak sedikitpun menyurutkan lautan kasih sayangnya. 

***

Keesokan harinya tepat pukul delapan pagi ketika pekerjaan rumah tuntas dikerjakan, Anwar pamit mulung. Pada awalnya Mirah ragu memberi izin, hari itu akhir pekan ingin sekali rasanya banyak menghabiskan waktu dengan cucunya. Kondisi Mirah agak membaik, rupanya obat-obatan warung cukup mempan meredam penyakit yang bersarang di tubuhnya. Anwar sebenarnya pundung meski ia sudah tak mengungkit masalah yang kemarin. Uangnya pun tak sampai dipakai berobat, entah akan diapakan uang itu nantinya. Adzan dzuhur telah berlalu sekitar sepuluh menit, tetapi Anwar masih belum kembali. Memang jika sedang pundung cucuknya sering menghabiskan waktu di luar rumah, tetapi hari itu tidak biasanya sampai belum pulang ketika waktu salat telah berlalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun