Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Loteng Tante Amara

3 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:59 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah berloteng (unsplash.com/@vonshnauzer)

Aku membetulkan karena menyadari juga. Bahkan di matanya itu seakan ada lubang hitam menganga memperlihatkan kesedihan yang begitu dalam juga kehampaan. Cobaan hidup Tante Amara begitu bertubi-tubi, anak meninggal akibat kurang pengawasannya, lalu diceraikan setelah sekian lama menunggu status perkawinan. Perasaan sakit yang tidak bisa kubayangkan, juga rasa penyesalan yang akan berdampak seumur hidup. Mentalnya semakin hancur. Sekali lagi aku berdukacita untuknya, aku sangat berempati dengan nasibnya. Aku menoleh ke arah rumah yang seolah dikerubungi kegelapan. Kehangatan rumah itu terbakar oleh keegoisan, pertengkaran dan diperkelam oleh duka yang mendalam.

Wajar sekali jika loteng selalu tertutup dan seakan sangat rahasia karena di sana ada kisah yang meninggalkan duka dan penyesalan besar. Aku juga paham kenapa begitu banyak suara-suara aneh, dikarenakan di loteng terdapat jejak kematian tragis. Semuanya telah diceritakan oleh Dianti, karenanya aku merasa hampa tidak pernah menduga dengan apa yang terjadi menimpa keluarga ini. 

"Lho kok gordennya terbuka?" Dianti berucap sangat pelan nyaris seperti gumaman. Tetapi aku masih bisa mendengarnya samar-samar. Dia berucap saat aku menunduk merenungkan semua yang telah diceritakannya.

Aku menegakkan kepala melihat wajahnya pias, lalu menoleh ke loteng dengan jendela masih tertutup. "Gorden yang mana?" tanyaku.

Dianti menggeleng keras, ekspresinya takut bercampur gugup. Aku tidak ingin memperpanjang soal itu, toh ini masih pagi. Masa iya ada kejadian horor barangkali Dianti salah melihat saja.

Aku memilih bangkit menurunkan Kurio dari pangkuan lalu meminta Dianti mengantarku ke makam Rie, aku ingin berdoa untuknya. Saat kabar kematiannya aku tidak ikut dengan keluarga Farhan ke sini dikarenakan sedang menjalani perawatan pasca operasi usus buntu.

Pekuburan Rie terletak tidak begitu jauh dari rumah, beberapa meter jauhnya dari beranda belakang terhalang tanaman pagar yang merambat membatasi kuburan dan halaman. Di sana aku berdoa singkat lalu buru-buru kembali ke klinik dan mendapati listrik telah menyala. Baterai ponselku sudah sekarat, mau tak mau aku harus bergegas ke rumah untuk mengisi daya. Kuroi ikut bersamaku, dia menemaniku selama di rumah. Ketika aku hendak keluar lagi, tiba-tiba Kuroi mengeong-mengeong tampak cemas, ekornya tidak berhenti bergerak. beberapa kali aku mengajaknya pergi tetapi dia terus mengeong. Seolah berbicara, "Ikutlah denganku ke atas!"

Aku menggeleng. Tidak mau. "Ayolah kau ini kenapa?" tanyaku keheranan.

Kuroi mengeong nyaris liar, sontak membuatku takut. Dia jadi aneh. Dia naik ke tangga lantai dua, aku mengisi daya di lantai bawah meminjam charger Tante Amara yang ada di sana. Di tengah-tengah anak tangga dia kembali menatapku mengeong-mengeong tanpa henti, menatapku dengan sorot mata lebih bersahabat di matanya seperti ada kesedihan. Eongannya melemah terdengar pilu, aku menjadi tak tega. "Oke oke," aku mengikutinya. Kupikir dia akan berhenti di lantai atas tetapi dugaanku salah. Dengan masih mengeong-mengeong seakan sedang memanduku dia mengajakku ke loteng. Sontak aku menggeleng, "Tidak, Kuroi! Tante akan marah padaku jika aku ke sana."

Kuroi mengeong-mengeong keras lagi, wajah legam berkumisnya begitu memelas. "Sebenarnya Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" tanyaku mulai takut.

Kuroi mengeong semakin mendesak. Entah mendapat dorongan dari mana sehingga merasa begitu yakin untuk mengikuti Kuroi masuk ke loteng. Tak ada keraguan lagi aku berjalan penuh keyakinan. Aku terkesiap pintu loteng tidak terkunci. Lho kok bisa? Tidak mungkin Tante seceroboh ini. Aku menatap Kuroi, "Apa kau yang membuka kuncinya?" tanyaku seperti orang tak waras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun