Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Loteng Tante Amara

3 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:59 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah berloteng (unsplash.com/@vonshnauzer)

Sejenak kami diam, barulah aku merasa kasihan pada Tante Amara melupakan sedikit kekesalan oleh abainya dia saat semalam yang menakutkan itu.

"Di titik paling ekstrim, Bu Amara bisa sampai menyeret dan mengunci Rie di kamar mandi, sementara itu dia menangis frustasi di balik pintu mengabaikan gedoran Rie dari dalam."

Aku menelan ludah, dadaku berdegup kencang seolah baru saja mendengar kalimat berisi ancaman. Benakku mundur kembali ketika gedoran misterius dari pintu kamar mandi di malam kemarin yang gelap. Jadi Rie benar-benar bergentayangan. Sulit dipercaya, seharusnya dia sudah tenang di alam sana. Hatiku memelas memikirkan betapa malangnya anak itu. Dianti tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke loteng, aku pun mengikuti kemana tatapannya berlabuh.

Di menjelaskan, pada akhirnya Tante Amara menempatkan Rie di loteng, menguncinya di sana setiap hari. Seabrek mainan dan tempat tidur ada untuknya. Gorden putih itu mulanya selalu dibuka agar Tante yang sedang bekerja di klinik bisa memantaunya. Rie hanya ditemani Kuroi di dalam sana. Rie sangat menyukai bunga peony dan taman di bawahnya dibuat oleh Pak Hiaso khusus untuknya. Dari jendela, Rie sering menunjuk-nunjuk ke bawah, ingin diambilkan peony dari taman miliknya. Tetapi Tante jarang mengabulkan permintaannya dan hanya berakhir memberi gelengan kepala dari bawah sini. Baru setelah Rie meninggal Tante merasa sangat bersalah dan menyesal karena pernah mengunci anak itu di kamar mandi, menempatkannya di loteng dan sering mengabaikan keinginannya berupa bunga peony. Sampai di situ aku pun paham, empat tangkai peony yang dipetiknya saat malam itu mungkin ada kaitannya dengan rasa penyesalannya. Dengan kepergian Rie, keadaan mental Tante Amara tampaknya semakin buruk, aku jadi sangat kasihan padanya.

Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan dan ini mungkin akan jadi klimaksnya. Tentang kematian Rie. "Saat itu keluarga suamiku diberi kabar, Rie meninggal karena demam tinggi dan tidak diperkenankan melihat jenazah. Aneh, bukan? Apa tidak ada riwayat penyakit serius selain ADHD?" 

Dianti cukup lama termangu mendengar pertanyaanku, setelah terlihat mempertimbangkan sesuatu dia pun menatapku lamat-lamat dan menggeleng, "Tidak ada, Mbak. Demam juga tidak, pada intinya Rie meninggal bukan karena sakit."

"J---adi karena ap---a?" Aku bertanya dengan perasaan terguncang.

"Rie meninggal karena tubuhnya terlilit gorden sampai mencekik lehernya sendiri. Ibuku yang menemukan Rie dengan keadaan seperti itu ketika dia dimintai tolong untuk mengambil sesuatu di kamar Bu Amara dan saat itu Kuroi mengeong-mengeong sangat keras. Ibuku memutuskan untuk melihat ke loteng, kebetulan kuncinya tergantung di knop. Ibuku shock luar biasa menemukan Rie sudah tidak bernyawa. Tetapi Bu Amara memilih menutupi kebenarannya."

Otomatis aku menganga itu fakta yang sangat gila. Aku menggeleng-geleng tak percaya. Wajahku mungkin sudah sepucat malam kemarin saat dihantui anak itu. Ya Tuhan, kepalaku mendadak berdenyut-denyut, dadaku sesak merasa hancur mengetahui kebenaran yang mengejutkan sekaligus miris. Aku yakin andai mental tanteku stabil, dia takkan sampai menempatkan Rie sendiri di loteng karena dia tahu anaknya sering berperilaku impulsif yang mana harus mendapatkan perhatian ekstra, bukan malah dibiarkan begitu saja. Dengan begitu, aku yakin penyesalan Tante Amara kian menggunung tak terbendung. Bagaimanapun juga jika Rie tidak sampai dipisahkan dengan dirinya seperti itu, kemungkinan hal tragis itu takkan pernah terjadi.

Dianti melanjutkan, karena hal itu pula Paman Hisao menalak Tante. Beberapa saat setelah Rie ditemukan meninggal, dengan sangat berat hati tanteku menelepon ke Jepang. Dalam kurun waktu kurang dari sehari Paman Hisao sudah sampai di rumah. Awalnya tanteku berkeras tidak mengizinkan suaminya melihat jenazah anaknya, setelah drama pemaksaan, Tante akhirnya pasrah. Setelah melihat kondisi tubuh putrinya yang lebam di bagian tangan dan leher, Paman Hisao sangat hancur dan meraung-raung di loteng di mana jenazah Rie ditempatkan. Dia awalnya mengira putrinya dianiaya tetapi Tante menolak keras tuduhan itu. Sebelum pemakaman dilakukan, mereka berdua tetap meredam amarah masing-masing dan merahasiakan kenyataan yang ada dari orang lain. Setelah jasad Rie dikebumikan dan rumah kembali sepi barulah mereka jatuh dalam pertengkaran hebat, keduanya saling melempar bola api, menyalahkan satu sama lain. Akhirnya Paman Hiaso menyelesaikan masalah itu dengan menceraikan Tante Amara, perempuan yang empat tahun lebih tua darinya itu.

"Sejak Rie tidak ada, Bu Amara seolah memiliki dua kepribadian berbeda. Saat bekerja dia tidak mengurangi keprofesionalannya, tetap bekerja dan melayani pasien sepenuh hati. Namun, ketika di rumah dia akan berubah menjadi sosok yang dingin, pendiam, perenung," jelas Dianti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun