Jika niatku keluar bukan untuk meminta lilin mengingat keadaannya begitu genting, sudah aku kejar kucing gendut itu dan menggelitik perutnya seperti tadi. Akan tetapi yang lebih penting saat ini adalah Tante Amara, baru saja dua langkah menuju kamar si pemilik rumah, perhatianku teralihkan oleh erangan Kuroi. Kembali kuarahkan flashlight ke tangga, di sana Kuroi mengerang sembari menatap ke atas, dia melihat apa? Aku bertanya-tanya dalam hati dengan sangat was-was.
Namun, tak ragu kuarahkan flashlight ke atas, seketika sekujur tubuhku gemetar hebat, sungguh mataku menangkap keganjilan tepat di anak tangga teratas. Sepasang kaki mungil pucat dengan gaun pink sebetis menggantung di udara tak menapaki tangga. Aku tak sanggup lagi menyinari lebih tinggi dari apa yang telah kulihat. Dengan cepat aku memalingkan wajah, dadaku seolah akan meledak sedangkan kakiku mendadak kaku tidak mau bergerak, mulutku kelu tak mampu berucap. Ketakutan yang memuncak membuatku kehilangan kendali atas tubuhku, beberapa detik aku masih mematung, kaku. Dan ajaibnya tepat gelegar guntur kembali berdentum aku mendapatkan kendali tubuhku lagi, seolah petir adalah mantra pengusir sihir yang menjadikanku sebuah batu. Tubuhku rasanya sangat lemas tapi aku masih punya sisa energi untuk berlari. Ya, berlari ke pintu kamar Tante Amara lalu mengetuknya keras-keras. "Tante Amara? Tante? Tolong buka pintunya!" panggilku tak karuan. Namun tak ada jawaban. Dengan sangat lancang kutekan gagangnya tanpa diduga langsung terbuka, di sana tidak ada siapa-siapa, jejak selimut yang tersibak meyakinkanku kalau Tante Amara pergi keluar. Mungkinkah ke atas? Aku menggeleng keras, tak sanggup jika harus menyusulnya.
Tanpa pertimbangan sedikitpun aku memilih turun ke lantai bawah siapa tahu Tante Amara ada di sana, selain itu aku pun ingin segera menuntaskan dahaga. Setelah sampai di bawah ketakutanku tak kunjung enyah, ternyata di sana sama lengangnya seperti di atas. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tante Amara. Dia pasti di loteng, aku semakin yakin. Dan yang paling aku takutkan dan membuatku penasaran siapa sosok sepasang kaki mungil tadi? Mendadak benakku mengingat, Rie, anak perempuan satu-satunya Tante Amara tetapi yang membuatku semakin bergidik, bocah berusia lima tahun itu meninggal setengah tahun yang lalu karena sakit. Jadi sosok itu? Mulutku otomatis menganga, sulit mempercayai hal-hal yang terlintas di kepala. Sungguh, aku merasa tengah terjebak di goa gelap berhantu. Bersamaan dengan perasaan ngeri, aku pun kesal kenapa listrik belum kunjung menyala? Menyadari tenggorokan semakin terasa perih, aku bergegas pergi ke dapur mengambil gelas lalu kutuang air dari dalam kulkas yang masih sangat dingin. Sekali teguk habis. Kucari lilin di sana, dipikir-pikir seperti maling saja mengobrak-abrik dapur orang lain demi sebuah lilin. Namun, nihil aku semakin frustasi, pikiran kacau, dada berdebar bertalu-talu, napas tersengal-sengal, peluh melumat sekujur tubuh, semua kurasakan secara bersamaan sungguh sangat gila.
Dalam hening yang mencekam, ketika suara yang mendominasi hanyalah gemericik hujan. Akhirnya aku menemukan tanda-tanda keberadaan seorang. Aku berbalik cepat lalu menatap pintu kamar mandi yang di dalamnya terdengar suara gelogok air. Aku arahkan flashlight ke sana yang hanya berjarak sekitar tiga meter saja.
"Tante? Tante ada di dalam?"
Sangat berharap mendapat jawaban tetapi yang didapat gebrakan keras dari dalam. Aku terlonjak ke belakang, tubuhku menegang. Gebrakan terus berlangsung lalu disusul dengan gagang pintunya yang bergerak-gerak seolah terkunci dari luar dan yang ada di dalam sedang berusaha minta tolong untuk dikeluarkan.
Ada dua opsi yang bisa aku pilih, buka pintu kamar mandi atau berlari. Tentu saja aku lari, melangkah sangat hati-hati mengingat suasananya yang gelap. Beberapa langkah menuju tangga, kakiku tersandung keset, kemalangan berlanjut ketika ponselku lepas dari genggaman. Flashlight hilang, semuanya gelap. Aku kepalang panik, mencoba meraba-raba lantai marmer mencari ponsel yang terlempar entah kemana. Saat masih berusaha mencari sumber peneranganku satu-satunya itu, sekonyong-konyong ada ketepak-ketepok langkah kaki dari luar, aku melongok ke asal arah lalu mendapati remang-remang cahaya dari jendela. Cahaya itu kian mendekati rumah, pintu utama bergerak, aku menelan ludah, takut. Tubuhku mengesot mundur, begitu suara pintu dibuka aku langsung mengatupkan mata. Saat itu aku berserah diri, selamat atau tidak kalau yang masuk adalah pencuri atau pembunuh nasibku ada di tangan mereka.
Beberapa detik napasku tertahan, mata pun tetap terpejam. Aku merasa getaran di lantai terasa semakin dekat, aku siap segala-galanya, Tuhan.
"Theia? Kenapa kau di sini?" Suara Tante Amara. Bukan pencuri atau pembunuh.
Aku membuka mata flashlight ponsel Tante Amara menyorotku, sangat menyilaukan. Dia melihatku dengan tatapan getir, pasti keadaanku terlihat sangat menyedihkan bukan hanya sudah sepucat mayat tapi tubuhku basah bermandikan keringat seperti baru saja menyelesaikan lari maraton berkilo-kilo meter. Kusadari keadaan dari arah dapur hening kembali, aku pun tidak punya kesempatan untuk menceritakan apa yang aku dengar di kamar mandi atau yang aku lihat di tangga loteng. Dengan suara bergetar, aku bilang padanya bahwa aku mencarinya untuk meminta lilin, aku juga bertanya kenapa dia datang dari luar.
"Maaf, Theia. Tante baru kembali dari klinik karena di rumah tidak ada lilin. Tante mengambilnya dari sana, sekalian untuk mengambil payung yang tertinggal di sana."