Mohon tunggu...
Arin
Arin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Loteng Tante Amara

3 Maret 2024   16:13 Diperbarui: 21 Maret 2024   20:59 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah berloteng (unsplash.com/@vonshnauzer)

Gelitikan jari-jemariku pada perut buncit Kuroi seketika terhenti, sedari tadi aku tak berhenti terkikik karena Kuroi begitu lucu, tetapi setelah mendengar sesuatu dari atas, semuanya berubah menjadi mendebarkan. Kuroi tak lagi meronta manja, pandangannya sama denganku tertuju ke langit-langit. Kuroi mengeong berkali-kali sembari tetap melihat ke atas, mataku turun naik antara Kuroi dan langit-langit. Aku menelan ludah seturut dengan itu darahku berdesir hebat, suara derap langkah yang bersumber dari loteng semakin tak terbendung. Kuroi tiba-tiba melompat dari kasur lari terbirit-birit keluar kamar dan aku pun mengikutinya. Kucing Persia berbulu sepekat arang itu naik ke tangga dengan cepat. Belum juga kakiku menapaki anak tangga pertama, suara Tante Amara lebih dulu menghentikanku.

"Mau apa ke atas?" 

Napasku tercekat. Astaga! Kenapa dia tiba-tiba muncul seperti itu? Jantungku serasa menggelosor, shock. "M---engejar Kuroi," kataku agak tersendat-sendat.

Dia datang dari balik tangga yang gelap, tangannya membawa empat tangkai bunga peony segar berwarna putih dan pink muda. Kusadari rambut sebahu dan piyama satin putih panjang yang dikenakannya ternyata basah. Di luar tengah hujan dan tangannya menggenggam bunga. Ah, rupanya dia menerobos hujan untuk mengambil peony di taman depan. Pertanyaannya, buat apa dia repot-repot memetik bunga saat hujan dan hari sudah gelap? Bagiku itu hal yang aneh, tapi sayang aku tak cukup nyali untuk menanyakannya.

"Tidak perlu dikejar. Kuroi pasti ingin memburu tikus yang bersarang di loteng," pungkasnya. 

Tante Amara melemparkan tatapan peringatan padaku. Aku mundur dan kembali masuk kamar. Memangnya tikus-tikus di atas sebesar apa? Sampai-sampai suaranya tidak mengindikasikan bahwa itu berasal dari binatang. Tanteku memberi pernyataan seolah aku ini anak TK yang senang menyimak dongeng sebelum tidur. Jika anak kecil akan tidur nyenyak setelah dibacakan dongeng, aku malah dihantui kegelisahan. Lagian itu loteng berisi apa? Sejenis gudang yang diisi dengan benda-benda usang, kah? Sehingga tikus beranak-pinak tumbuh menjadi spesies sebesar tapir? Apa pun yang ada di atas dan bagaimanapun keadaannya, aku sangat penasaran, terlepas dengan suara-suara aneh itu.

Sebelum duduk di ranjang kusempatkan menengadah, suara itu hilang tapi tak lantas membuatku tenang. Hujan semakin deras saja, gemuruhnya sesekali terbelah oleh petir yang mengkilat-kilat merobek gelapnya angkasa. Karena cuaca begitu buruk rasanya sia-sia berharap bisa memperoleh sinyal dan barang tentu aku tak bisa menelpon Farhan, suamiku. Malam kedua di sini aku harus tidur sendirian, Farhan benar-benar sibuk. 

Sepertinya hanya tiga jam aku terlelap, berharap terbangun saat hari sudah terang, ini malah pukul sebelas malam. Kesalnya harus terjaga dibangunkan paksa oleh gelegar guntur dahsyat. Perasaanku kalut, peluh mendadak banjir melumat tubuh yang mulai gemetar. Sebelumnya aku tak pernah mendengar guntur sekeras itu, aku menyesal ikut Farhan bekerja ke luar kota. Malam kemarin ketika ada suara-suara aneh dari atas, Farhan ada bersamaku tapi saat ini aku sendirian. Aku duduk memeluk lutut berbalut selimut di ranjang, mata ini tak bisa dipaksakan terpejam, rasa haus muncul begitu mendesak sampai tenggorokanku terasa sakit. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke dapur setelah sayup-sayup langkah naik-turun tangga menebus dinding kamar dan terekam jelas oleh telingaku yang mendadak tajam bak seekor kelelawar. Aku melirik pintu enggan, mungkinkah itu Tante Amara? Kuniatkan untuk memanggilnya tetapi sebelum mulutku bersuara, tiba-tiba listrik mati. Gelap dan engap, semuanya hitam. Berbarengan dengan rasa takut yang meletup-letup tanganku sibuk meraba-raba sekitar mencari ponsel dan setelah meraihnya, langsung kuhidupkan flashlight. Begitu ruangan agak terang pernapasanku kembali lega. Aku paling tidak bisa tidur dalam kondisi gelap. Keinginan tetap di kamar berbekal penerangan flashlight ponsel rupanya tidak bisa dipaksakan dikarenakan baterainya tersisa kurang dari setengahnya. Kalau dipakai sampai pagi, ponselku bisa-bisa mati, dengan sangat berat hati aku harus meminta lilin ke Tante Amara. Meskipun digerayangi rasa takut namun apa daya aku harus berani keluar. Sebelum kakiku menyentuh lantai aku menghela napas dalam untuk mengumpulkan keberanian. Pertama, aku berhasil melewati pintu kamar lalu mencoba menyinari setiap sudut lantai dua dengan flashlight yang penerangannya sangat terbatas. Lengang sekali sewajarnya malam hari, tetapi suasana rumah ini begitu beda, anyep. Entah karena aku seorang tamu tapi kurasa memang rumah ini agak aneh, auranya sulit untuk dijelaskan. Di ujung sana, pintu kamar Tante Amara tertutup rapat. Lalu siapa yang naik-turun tangga tadi? Aku menelan ludah, rasa takut kembali menggoyahkanku. Perlahan kualihkan pandangan ke tangga loteng yang berjarak beberapa meter di sampingku.

"ARGHHHH!" Spontan aku menjerit dengan tubuh langsung terhenyak ke belakang. Hampir terjengkang.

Dadaku terasa begitu sakit saking terkejutnya. Apa itu? Sepasang bola kecil menyala mengambang di kegelapan. Buru-buru kuarahkan flashlight ke tangga, sial sungguh sial aku merasa masuk ke dalam jebakan batman tuan muda, Kuroi, yang tengah berdiri anggun seolah sedang mengintai tikus diam-diam. Namun, untukku itu tak lebih dari sebuah permainan cilukba menjengkelkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun